Minggu, 30 Maret 2014

ASAS PENETAPAN HALAL DAN HARAM.




يَا أَيُّهَا النَّاسُ كُلُوا مِمَّا فِي الْأَرْضِ حَلَالًا طَيِّبًا وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ ۚ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ ﴿١٦٨﴾ إِنَّمَا يَأْمُرُكُمْ بِالسُّوءِ وَالْفَحْشَاءِ وَأَنْ تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ مَا لَا تَعْلَمُونَ

Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu. Sesungguhnya syaitan itu hanya menyuruh kamu berbuat jahat dan keji, dan mengatakan terhadap Allâh apa yang tidak kamu ketahui. [al-Baqarah/2:168-169]

PENJELASAN AYAT:
KAUM MUKMININ DIPERINTAH UNTUK MENGKONSUMSI YANG HALAL DAN BAIK
Melalui ayat ini, Allâh Azza wa Jalla memanggil seluruh umat manusia, baik yang beriman ataupun manusia yang kufur kepada-Nya. Allâh Azza wa Jalla mengingatkan mereka akan anugerah berupa perintah kepada mereka untuk memakan apa saja yang ada di bumi, baik yang berupa biji-bijian, sayuran, dan buah-buahan, serta daging hewan dan binatang dengan dua kriteria: حَلاَلاً (yang dihalalkan bagi mereka), bukan barang yang diharamkan atau didapatkan melalui cara yang haram seperti ghashab, mencuri dan lainnya. Kedua, طَيَّباً (yang baik), maksudnya bukan barang yang khabîts (buruk) seperti bangkai, darah, daging babi dan barang-barang bersifat buruk lainnya. [1]

Maksud sesuatu yang halal adalah segala yang diizinkan oleh Allah. Sementara makna thayyib, yaitu segala yang suci, tidak najis dan tidak menjijikkan yang dijauhi jiwa manusia. Dengan demikian, dzat makanan (dan minuman) tersebut baik, tidak membahayakan tubuh dan akal mereka. [2] 

Pada ayat lain, Allâh Azza wa Jalla mengarahkan perintah semakna secara khusus kepada kaum Mukminin semata dengan berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ وَاشْكُرُوا لِلَّهِ إِنْ كُنْتُمْ إِيَّاهُ تَعْبُدُونَ 

Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezeki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allâh, jika benar-benar hanya kepada-Nya kamu beribadah [al-Baqarah/2:172]. 

Di sini, Allâh Azza wa Jalla mengarahkan perintah ini secara khusus kepada kaum Mukminin karena mereka sajalah pada hakekatnya yang dapat mengambil manfaat dari perintah-perintah dan larangan-larangan-Nya, didorong keimanan mereka kepada-Nya. Allâh Azza wa Jalla memerintahkan mereka untuk mengkonsumsi yang baik-baik dari rezeki yang diberikan kepada mereka dan bersyukur kepada Allâh Azza wa Jalla atas kenikmatan yang tercurahkan dengan cara mempergunakannya dalam ketaatan kepada Allâh Azza wa Jalla dan bekal untuk tujuan itu. 

Bila pandangan kita arahkan pada ayat ini, perintah mengkonsumsi makanan yang tertuang di dalamnya hanya mempersyaratkan makanan yang baik-baik saja, tidak menyinggung status halalnya. Hal ini dikarenakan keimanan yang tertanam pada kalbu seorang Mukmin akan menghalanginya mengambil sesuatu yang tidak halal.[3] 

Demikianlah semestinya seorang Mukmin, selalu memastikan apa yang masuk ke perutnya adalah barang-barang halal, menghindari sesuatu yang masih meragukan dan mencurigakan agar terhindar dari yang diharamkan Allâh Azza wa Jalla . Dan jangan pernah berpikir untuk memakan makanan haram atau mencarinya dengan cara-cara yang terlarang. Syaikh Abu Bakar Jâbir al-Jazâiri berpesan, “(Ayat ini menunjukkan) kewajiban (seorang Mukmin) mencari rezeki halal dan membatasi diri dengannya saja dalam hidup meskipun dalam kondisi sulit”.[4] 

Dengan rahmat dan kasih-Nya, Allâh Azza wa Jalla memberi ruang gerak yang lebih luas bagi manusia untuk memilih makanan dan minuman. Ini lantaran makanan yang diharamkan jauh lebih sedikit ketimbang yang dihalalkan. Di pasar tradisional misalnya, bila dibandingkan jumlah dagangan yang halal dengan jualan yang dilarang, tentu lebih banyak yang pertama, bahkan jauh lebih banyak. Walillâhil hamd.

ASAS PENGHALALAN DAN PENGHARAMAN DALAM ISLAM
Syariat Islam dalam menghalalkan dan mengharamkan makanan selalu mempertimbangkan kemaslahatan dan madharat (bahaya). Segala yang diharamkan pastilah mengandung seratus persen bahaya atau memuat unsur bahaya yang dominan.[5] Demikianlah diantara keistimewaan syariat Islam, karena bersumber dari Allâh Azza wa Jalla , Dzat Yang Maha Bijaksana (al-Hakîm) dan Maha Mengetahui (al-‘Alîm) akan segala kemaslahatan bagi hamba. 

Selain dua ayat yang telah dikemukakan di atas, ada beberapa ayat lain yang menggariskan dan menerangkan asas dan manhaj Islam dalam penetapan halal dan haramnya satu makanan. Allâh Azza wa Jalla berfirman: 

اللَّهُ الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ الْأَرْضَ قَرَارًا وَالسَّمَاءَ بِنَاءً وَصَوَّرَكُمْ فَأَحْسَنَ صُوَرَكُمْ وَرَزَقَكُمْ مِنَ الطَّيِّبَاتِ

Allâhlah yang menjadikan bumi bagi kamu tempat menetap dan langit sebagai atap, dan membentuk kamu lalu membaguskan rupamu serta member kamu rezeki dengan sebagian yang baik-baik [al-Mukmin/40:64]. 

Allâh Azza wa Jalla berfirman: 

وَيُحِلُّ لَهُمُ الطَّيِّبَاتِ وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبَائِثَ 

Dan di (Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam) menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk [al-A’râf/7:157]. 

Mari kita perhatikan kaedah yang telah disimpulkan Syaikh Shaleh al-Fauzân mengenai manhaj Islam dalam menghalalkan dan mengharamkan yang menunjukkan salah satu keindahan Islam : 'Setiap barang yang thâhir (suci lawan dari najis), yang tidak mengandung bahaya sama sekali, seperti biji-bijian, buah-buahan, hewan-hewan hukumnya halal. Dan setiap barang najis, seperti bangkai dan darah, atau barang yang mutanajjis (terkena najis) dan setiap barang yang mengandung madharat (bahaya) semisal racun dan lainnya hukumnya haram (dikonsumsi)' (al-Ath'imah hlm. 28).

Tampak bahwa yang halal adalah hal-hal yang baik, dan yang diharamkan adalah hal-hal yang buruk dan berbahaya. 

Dalil yang menunjukkan diperhitungkannya kesucian (tidak najisnya) barang yang dikonsumsi firman Allâh Azza wa Jalla: 

حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ 

Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah daging babi [al-Mâidah/5:3]

Bangkai darah dan daging babi merupakan barang najis secara dzat, dan barang najis adalah khabîts (buruk).[6] 

Sementara di antara dalil yang mengharuskan bebasnya barang konsumsi dari unsur yang berbahaya firman Allâh Azza wa Jalla.

وَلَا تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ 

Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan [al-Baqarah/2:195]

Allâh Azza wa Jalla berfirman: 

وَلَا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ 

Dan janganlah kamu membunuh dirimu [an-Nisâ/4:29]

Ayat-ayat ini menunjukkan bahwa segala yang khabîts atau membahayakan diharamkan dikonsumsi dan dimanfaatkan. [7] 

Demikian manhaj penghalalan dan pengharaman sesuatu seperti manhaj Islam dalam seluruh aspek kehidupan yang mengedepankan kemaslahatan dan perlindungan terhadap jiwa, badan, akal. Sementara di masa Jahiliyah, penetapan halal dan haram merujuk hawa nafsu dan taklid buta terhadap ajaran nenek moyang. Begitu pula yang terjadi pada agama Nasrani, halal dan haram berdasarkan kehendak pemuka agama mereka. 

Dari sini, seorang Mukmin harus mengutamakan dan mendahulukan ketetapan Allâh Azza wa Jalla dan Rasul-Nya saat berhadapan dengan ketetapan adat atau budaya yang mengharamkan sesuatu yang dihalalkan oleh Islam, atau sebaliknya menghalalkan sesuatu yang diharamkan oleh Islam. Sebab secara prinsip, penetapan halal dan haram adalah hak Allâh Azza wa Jalla . Barang siapa mengharamkan yang halal dan menghalalkan yang haram pada hakekatnya telah memposisikan diri sebagai sekutu Allâh Azza wa Jalla dalam hak tasyrî' (penetapan syariat). Karenanya, Allâh Azza wa Jalla mencela kaum Yahudi dan Nasrani karena ketaatan mereka yang berlebihan terhadap para pemuka agama mereka, sampai menghalalkan dan mengharamkan apa yang dikatakan oleh pemuka agama mereka. Dengan ini, mereka telah menjadikan para pendeta itu sebagai tandingan-tandingan Allâh. 

Allâh Azza wa Jalla berfirman: 

اتَّخَذُوا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ

Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allâh [at-Taubah/9:31]

Begitu pula, Allâh Azza wa Jalla mencela kaum musyrikin pada masa Jahiliyah yang menghalalkan bangkai yang telah diharamkan Allâh Azza wa Jalla dan mengharamkan beberapa jenis binatang ternak yang dihalalkan oleh Allâh Azza wa Jalla , karena mengikuti warisan budaya nenek moyang dan hawa nafsu mereka. 

Allâh Azza wa Jalla berfirman: 

مَا جَعَلَ اللَّهُ مِنْ بَحِيرَةٍ وَلَا سَائِبَةٍ وَلَا وَصِيلَةٍ وَلَا حَامٍ ۙ وَلَٰكِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا يَفْتَرُونَ عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ ۖ وَأَكْثَرُهُمْ لَا يَعْقِلُونَ﴿١٠٣﴾وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ تَعَالَوْا إِلَىٰ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَإِلَى الرَّسُولِ قَالُوا حَسْبُنَا مَا وَجَدْنَا عَلَيْهِ آبَاءَنَا ۚ أَوَلَوْ كَانَ آبَاؤُهُمْ لَا يَعْلَمُونَ شَيْئًا وَلَا يَهْتَدُونَ

Allâh sekali-kali tidak pernah mensyariatkan adanya bahirah, sâibah, washîilah dan hâm, akan tetapi orang-orang kafir membuat-buat kedustaan terhadap Allâh , dan kebanyakan mereka tidak mengerti. Apabila dikatakan kepada mereka: “Marilah mengikuti apa yang diturunkan Allâh dan mengikuti Rasul, mereka menjawab, Cukuplah untuk kami apa yang kami dapati bapak-bapak kami mengerjakannya”. Dan apakah mereka mengikuti juga nenek moyang mereka walaupun nenek moyang itu tidak mengetahui apa-apa dan tidak (pula) mendapat petunjuk? [al-Mâidah/5:103-104]. 

BAHAYA KONSUMSI HARAM 
Konsumsi barang halal dan baik berpengaruh positif pada kejernihan hati dan dikabulkannya doa dan diterimanya ibadah oleh Allâh Azza wa Jalla . Sebaliknya, makanan haram akan menghalangi diterimanya doa dan ibadah. Allâh Azza wa Jalla berfirman tentang kaum Yahudi.

أُولَٰئِكَ الَّذِينَ لَمْ يُرِدِ اللَّهُ أَنْ يُطَهِّرَ قُلُوبَهُمْ ۚ لَهُمْ فِي الدُّنْيَا خِزْيٌ ۖ وَلَهُمْ فِي الْآخِرَةِ عَذَابٌ عَظِيمٌ﴿٤١﴾سَمَّاعُونَ لِلْكَذِبِ أَكَّالُونَ لِلسُّحْتِ 

Mereka itu (orang Yahudi) adalah orang-orang yang Allâh tidak hendak mensucikan hati mereka. mereka beroleh kehinaan di dunia dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar. Mereka itu adalah orang-orang yang suka mendengar berita bohong, banyak memakan yang haram [al-Mâidah/5:41-42]. 

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Wahai manusia, sesungguhnya Allâh itu Maha Baik, tidak menerima kecuali yang baik (saja), dan sesungguhnya Allâh memerintahkan kepada kaum mukminin dengan yang diperintahkanNya kepada para rasul. Allâh berfirman : {“Hai rasul-rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik, dan kerjakanlah amal yang saleh. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”} (al-Mukminûn/23:51). Allâh berfirman: {“Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu”} . Selanjutnya, beliau menceritakan seorang lelaki yang menempuh perjalanan jauh, dalam keadaan rambut acak-acakan, berdebu, ia menengadahkan dua tangannya ke arah langit (seraya berdoa) ya rabbi, ya rabbi, ya rabbi, sementara makanannya haram, minumannya haram, dan pakaiannya haram serta dirinya dinutrisi dengan haram, bagaimana doanya dikabulkan?”. [HR. Muslim no. 1015]

LARANGAN MENGIKUTI LANGKAH SETAN 
Setelah memerintahkan para hamba-Nya untuk mematuhi perintah-Nya karena akan mendatangkan kebaikan bagi mereka, Allâh melarang mereka mengikuti langkah-langkah setan. Yang dimaksud langkah-langkah setan adalah segala cara dan upaya setan untuk menyesatkan para pengikutnya, seluruh maksiat yang ia perintahkan seperti kekufuran, perbuatan fusûq )keluar dari ketaatan kepada Allâh Azza wa Jalla ) dan perbuatan kezhaliman yang bertentangan dengan ketaatan kepada Allâh Azza wa Jalla.[8] Di antara contoh langkah setan adalah mengharamkan bahîrah, sâibah dan washîlah[9] serta lainnya. 

Ini berdasarkan hadits ‘Iyâdzh bin Himâr al-Mujâsyi Radhiyallahu anhu dari Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , beliau bersabda: 

كُلُّ مَا نَحَلْتُهُ عَبْدًا حَلَالٌ وَإِنِّيْ خَلَقْتُ عِبَادِيْ حُنَـفَاءَ كلَّهُمْ وَإِنَّهُمْ أَتَتْهُمُ الشَّيَاطِيْنُ فَاجْتَالَتْهُمْ عَنْ دِيْنِهِمْ وَحَرَّمَتْ عَلَْيْهِمْ مَا أَحْلَلْتُ لَهُمْ

Allâh berfirman: “Sesungguhnya setiap harta yang Aku berikan kepada hamba-Ku, maka itu adalah halal bagi mereka. Dan Aku menciptakan hamba-hamba-Ku dalam keadaan hanif (lurus). Lalu setan mendatangi mereka, dan menyeret (menyimpangkan) mereka dari agama mereka (yang lurus), serta mengharamkan atas mereka yang Aku halalkan bagi mereka”. [HR. Muslim hadits no.2865]

Selanjutnya, Allâh Azza wa Jalla memberitahukan alasan agar kita semua menjauhi langkah-langkah setan karena merupakan musuh yang nyata kaum Mukminin. Permusuhan setan kaum Mukminin sangat jelas. Setan tidak menghendaki kecuali menipu dan menjadikan mereka penghuni neraka Sa’ir. Di sini, Allâh Azza wa Jalla tidak hanya melarang mengikuti langkah-langkah setan, akan tetapi juga menyebutkan permusuhannya yang sangat besar agar kita mewaspadainya serta menerangkan bahwa segala yang diperintahkan dan dibisikkan setan adalah perkara-perkara yang paling buruk dan mendatangkan kerusakan paling parah. [10] 

Imam Ibnu Katsîr rahimahullah mengatakan, “Sesungguhnya setan , musuh kalian itu, menyuruh kalian melakukan perbuatan-perbuatan buruk. Yang lebih keji (parah dari itu), menyuruh berbuat faahisyah (perbuatan keji) seperti perzinaan dan lainnya. Dan (menyuruh) yang lebih buruk lagi dari itu, yaitu mengatakan sesuatu tentang Allâh Azza wa Jalla tanpa dasar ilmu (dari-Nya). Termasuk orang yang berkata mengenai Allâh Azza wa Jalla tanpa dasar ilmu (sembarangan) adalah setiap orang kafir dan orang yang berbuat bid’ah”. [11] 

RENUNGAN 
Syaikh 'Abdur Rahmân as-Sa’di rahimahullah mengajak kita sekalian untuk melakukan introspeksi diri. Setelah menyebutkan bahwa Allâh Azza wa Jalla hanya memerintahkan kepada keadilan, kebaikan, dan memberi kaum kerabat dan melarang dari perbuat keji, mungkar dan kezhaliman beliau berkata, “Hendaknya seseorang melihat dirinya, apakah ia mengikuti seruan Allâh yang menghendaki kebaikan dan kebahagiaan abadi bagi dirinya di dunia dan akherat, atau mengikuti ajakan setan yang merupakan musuh manusia yang hanya menginginkan keburukan baginya dan berusaha dengan sekuat tenaganya untuk membinasakannya di dunia dan akherat? ”.[12] 

BEBERAPA PELAJARAN DARI AYAT: 
1.Kewajiban mencari rezeki halal dan membatasi diri dengannya saja dalam hidup.

2. Hukum asal makanan dan minuman adalah ibâhah (diperbolehkan) untuk dikonsumsi maupun dimanfaatkan, sampai ada larangan khusus. 

3. Yang halal adalah segala yang dihalalkan oleh Allâh Azza wa Jalla dan yang haram adalah yang diharamkan oleh Allâh Azza wa Jalla. Dalam masalah ini, akal tidak berperan sama sekali.

4. barang haram ada dua jenis: barang yang memang diharamkan dzatnya, sesuatu yang khabiits (jelas keburukannya), lawan dari thayyib, atau diharamkan karena berhubungan dengan pelanggaran terhadap hak Allâh Azza wa Jalla karena didapatkan melalui cara yang haram atau melanggar hak sesama manusia karena diambil dari orang lain dengan paksa misalnya.

5. Wajib menjauhi segala hal yang buruk dan keji yang dibisikkan oleh setan. 

6. Haramnya mengikuti langkah-langkah setan yang mencakup setiap keyakinan, perbuatan dan perkataan yang dilarang syariat. Wallâhu a’lam. 

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 02/Tahun XVI/1433H/2012M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Tafsir Ibnu Katsir 1/482, Tafsir as-Sa’di hlm.68
[2]. Lihat Tafsir Ibnu Katsir 1/482, Aisarut Tafâsir 1/70
[3]. Lihat Tafsir as-Sa’di hlm.70
[4]. Aisarut Tafâsir 1/71
[5]. Adapun larangan mengkonsumsi sebagian yang baik-baik pada bangsa Yahudi, itu merupakan hukuman bagi mereka atas tindak kezhaliman yang mereka perbuat. Lihat QS. an-Nisâ`:/4:160 , al-An'âm/6:146
[6]. Lihat juga QS. al-A’raf:157
[7]. Al-Ath'imah hlm. 28
[8]. Tafsir Ibnu Jarir ath-Thabari 1/102, Tafsir Ibnu Katsir 1/482, Tafsir as-Sa’di hlm. 68
[9]. Bahîrah ialah unta betina yang telah beranak lima kali dan anak yang kelima itu jantan, lalu unta betina itu dibelah telinganya, dilepaskan, tidak boleh ditunggangi lagi dan tidak boleh diambil air susunya. Sâibah adalah unta betina yang dibiarkan pergi ke mana saja lantaran sesuatu nazar. Washîlah yaitu seekor domba betina melahirkan anak kembar yang terdiri dari jantan, dan betina, maka yang jantan ini disebut washîlah, tidak boleh disembelih dan diserahkan kepada berhala.. 
[10]. Lihat Tafsir as-Sa’di hlm. 68
[11]. Tafsir Ibnu Katsir 1/483
[12]. Tafsir as-Sa'di hlm. 69 secara ringkas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar