Minggu, 10 November 2013

seputar nasehat

Anak-Anak adalah nikmat dari Allah Ta’ala dan pemberian dari-Nya

Anak-Anak adalah nikmat dari Allah Ta’ala dan pemberian dari-Nya
Oleh asy-Syaikh Abdussalam bin Abdullah as-Sulaimani
Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
لِلَّهِ مُلْكُ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ يَخْلُقُ مَا يَشَاءُ يَهَبُ لِمَنْ يَشَاءُ إِنَاثًا وَيَهَبُ لِمَنْ يَشَاءُ الذُّكُورَ. أَوْ يُزَوِّجُهُمْ ذُكْرَانًا وَإِنَاثًا وَيَجْعَلُ مَنْ يَشَاءُ عَقِيمًا إِنَّهُ عَلِيمٌ قَدِيرٌ
“Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi, Dia menciptakan apa yang Dia kehendaki, Dia memberikan anak-anak perempuan kepada siapa yang Dia kehendaki dan memberikan anak-anak lelaki kepada siapa yang Dia kehendaki, atau Dia menganugerahkan kedua jenis laki-laki dan perempuan (kepada siapa yang dikehendaki-Nya), dan Dia menjadikan mandul siapa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui lagi Maha Kuasa.” (asy-Syura: 49-50)
Anak-anak adalah perhiasan dunia sekaligus fitnah dunia
1. Anak-anak sebagai perhiasan dunia sebagaimana firman Allah Subhanahu wata’ala,
الْمَالُ وَالْبَنُونَ زِينَةُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَالْبَاقِيَاتُ الصَّالِحَاتُ خَيْرٌ عِنْدَ رَبِّكَ ثَوَابًا وَخَيْرٌ أَمَلًا
“Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amalan-amalan yang kekal lagi shalih adalah lebih baik pahalanya di sisi Rabbmu serta lebih baik untuk menjadi harapan.” (Al-Kahfi: 46)
Di dalam ayat lain Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوَاتِ مِنَ النِّسَاءِ وَالْبَنِينَ
“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita dan anak-anak.” (Ali ‘Imran: 14)
2. Anak-anak sebagai fitnah dunia sebagaimana firman Allah Subhanahu wata’ala,
إِنَّمَا أَمْوَالُكُمْ وَأَوْلادُكُمْ فِتْنَةٌ وَاللَّهُ عِنْدَهُ أَجْرٌ عَظِيمٌ
“Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu): di sisi Allah-lah pahala yang besar.” (at-Taghabun: 15)
Demikian pula yang diriwayatkan oleh Buraidah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata:
“Suatu ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkhutbah di hadapan kami. Tiba-tiba datang Hasan dan Husain radhiyallahu ‘anhuma yang keduanya sedang memakai gamis berwarna merah dan keduanya terjatuh. Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam turun dari mimbarnya dan menggendong keduanya, lalu meletakkan keduanya di hadapannya. Lalu beliau berkata: “Maha benar Allah Subhanahu wa Ta’ala ketika berfirman: ‘Sesungguhnya harta-harta dan anak-anak kalian adalah fitnah (ujian)’. Aku melihat dua anak kecil ini berjalan dan terjatuh, maka aku tidak bersabar, sehingga aku memutus khutbahku dan menggendong keduanya.” Kemudian beliau melanjutkan khutbahnya. (Diriwayatkan oleh Ashabus Sunan, Ahmad, Ibnu Hibban dan yang lainnya, dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’)
3. Sungguh anak-anak bisa menyibukkan (melalaikan) orangtuanya dari ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagaimana firman-Nya,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تُلْهِكُمْ أَمْوَالُكُمْ وَلا أَوْلادُكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah harta-hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barang siapa yang membuat demikian maka mereka itulah orang-orang yang rugi.” (al-Munaafiquun: 9)
Dan Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّ مِنْ أَزْوَاجِكُمْ وَأَوْلادِكُمْ عَدُوًّا لَكُمْ فَاحْذَرُوهُمْ
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya di antara istri-istrimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu, maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka;” (at-Taghaabun: 14)
Demikian pula tentang anak, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ الْوَلَدَ مَبْخَلَةٌ مَجْبَنَةٌ
“Sesungguhnya anak bisa menyebabkan bakhil (kekikiran) dan pengecut (ketakutan).” (HR. lbnu Majah no. 3666, Al-Hakim dalam Mustadrak, 3/179, Al-Baihaqi, 10/202, Ibnu Abi Syaibah 6/378, Ath-Thabarani, 3/32, dishahihkan Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Al-Jami’)
Anak bisa menyebabkan bakhil manakala orangtuanya menahan (tidak mau) shadaqah karena lebih menyegerakan untuk menafkahi anak-anaknya yang masih kecil. Sedangkan anak bisa menyebabkan pengecut manakala orangtuanya takut berjihad karena takut mati.
Permohonan doa para nabi dan orang-orang shalih demi meminta keturunan
Inilah doa nabi Zakariya Alaihissalam,
هُنَالِكَ دَعَا زَكَرِيَّا رَبَّهُ قَالَ رَبِّ هَبْ لِي مِنْ لَدُنْكَ ذُرِّيَّةً طَيِّبَةً إِنَّكَ سَمِيعُ الدُّعَاءِ
“Di sanalah Zakaria mendoa kepada Tuhannya seraya berkata: “Wahai Rabbku, berilah aku dari sisi Engkau seorang anak yang baik. Sesungguhnya Engkau Maha Pendengar doa.” (Ali Imran: 38)
Dan inilah doanya orang-orang shalih,
وَالَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا
“Dan orang-orang yang berkata: “Wahai Rabb kami, anugerahkanlah kepada kami istri-istri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa.” (al-Furqaan: 74)
[Dinukil dari Kitab Tarbiyatul Aulad fii Dhaui al-Kitabi wa as-Sunnati, Penulis Abdussalam bin Abdullah as-Sulaimani, Taqdim Syaikh Shalih Fauzan, hal. 11-14]
Artikel Blog Akh Abu Harun as-Salafy

Daqwah tauhid adalah daqwah para Nabi dan Rasul

Dakwah Tauhid Dakwah Para Nabi Dan Rasul
Dakwah Tauhid Dakwah Para Nabi Dan Rasul
DAKWAH TAUHID DAKWAH  PARA  NABI DAN RASUL[1]
Disusun oleh: Abu Zahrah al-Anwar
HIKMAH PENCIPTAAN JIN DAN MANUSIA
Alloh Ta’ala berfirman:
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
Dan tidaklah Aku (Alloh) dptakan jin dan manusia kecuali agar mereka beribadat (semata-mata) kepada-Ku. (QS. adz-Dzariyat [51]: 56)
Ayat yang mulia ini menjelaskan bahwa hikmah[2] diciptakan jin dan manusia adalah agar beribadah semata-mata kepada Alloh Ta’ala dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu pun.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
Allah Tabaraka wa Ta’ala berfirman kepada ahli neraka yang paling ringan adzabnya: “Jikalau engkau mempunyai dunia seisinya apakah engkau akan menebus (siksaan neraka) dengannya?” la menjawab: “Ya (aku akan menebus dengannya).” Alloh berfirman: “Sungguh Aku menginginkan darimu sesuatu yang lebih ringan darinya sedangkan engkau (ketika itu) berada di tulang sulbi Adam (yaitu): ‘Janganlah engkau berbuat kesyirikan.’” Dan aku (Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu menyangka bahwasanya beliau (Rasulullah dari Alloh Ta’ala) mengatakan: “Dan tidaklah Aku akan memasukkanmu ke dalam neraka, namun kamu enggan (untuk menerima dan melakukannya) kecuali kesyirikan.” (Hadits shahih riwayat Muslim 2805)
Berkata Ibnu Katsir: “Ibadah yang dimaksud adalah ketaatan kepada Alloh dengan melaksanakan perintah-Nya dan meninggalkan larangan-Nya. Itulah hakikat agama Islam, karena makna Islam adalah berserah diri kepada Alloh disertai dengan segala puncak kepatuhan, ketundukan, dan perendahan diri.”
Dan beliau mengatakan pula: “Makna ayat ini adalah bahwa Alloh menciptakan makhluk agar beribadah semata-mata kepada-Nya. Barangsiapa taat akan dibalas dengan balasan yang sempurna dan barangsiapa menentang akan disiksa dengan siksaan yang amat pedih.”
TAUHID ADALAH AGAMA SELURUH NABI DAN RASULALLOH
Alloh Ta’ala berfirman:

شَرَعَ لَكُم مِّنَ الدِّينِ مَا وَصَّى بِهِ نُوحاً وَالَّذِي أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ وَمَا وَصَّيْنَا بِهِ إِبْرَاهِيمَ وَمُوسَى وَعِيسَى أَنْ أَقِيمُوا الدِّينَ وَلَا تَتَفَرَّقُوا فِيهِ كَبُرَ عَلَى الْمُشْرِكِينَ مَا تَدْعُوهُمْ إِلَيْهِ اللَّهُ يَجْتَبِي إِلَيْهِ مَن يَشَاءُ وَيَهْدِي إِلَيْهِ مَن يُنِيبُ

Dia telah mensyari’atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa, dan Isa yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya. Amat berat bagi orang-orang musyrik agama yang kamu seru mereka kepadanya. Alloh menarik kepada agama itu orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada (agama)-Nya orang yang kembali (kepada-Nya). (QS. asy-Syura [42]: 13)
Juga dalam ayat lain:

وَإِنَّ هَذِهِ أُمَّتُكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً وَأَنَا رَبُّكُمْ فَاتَّقُونِ

Sesungguhnya (agama tauhid) ini adalah agama kalian semua dan Aku adalah Rabb kalian, maka bertaqwalah kalian semua kepada-Ku. (QS. al-Mu’minun [23]: 52)
Dua ayat yang mulia ini menjelaskan bahwa agama seluruh rasul Alloh adalah agama tauhid, (yaitu) mengesakan Alloh semata dalam peribadatan.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
Sesungguhnya kami para nabi, agama kami adalah satu[3]. (HR. Bukhari 3443, Muslim 2365)
Berkata Syaikhul Islam Ahmad bin Abdul Halim: “Agama para nabi adalah satu walaupun syari’at mereka berlainan.”
Berkata Syaikh Muhammad at-Tamimi: “Ketahuilah -semoga Alloh merahmati anda-, bahwa tauhid adalah pengesaan Alloh dalam peribadatan dan ia merupakan agama para rasul Alloh yang diutus kepada hamba-hamba-Nya.”
PENYELEWENGAN MANUSIA DARI TAUHID
Ketahuilah wahai saudaraku -semoga Alloh menunjuki jalan-Nya yang lurus-, bahwa seluruh manusia yang dilahirkan di muka bumi ini, dilahirkan di atas fithrah. Alloh Ta’ala berfirman:

فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفاً فِطْرَةَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا لَا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ

Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Alloh; (tetaplah atas) fithrah Alloh yang telah menciptakan ma.nusia menurut fithrah itu. Tidak ada peubahan pada fithrah  Alloh. (QS. ar-Rum [30]: 30)
Berkata Ikrimah: “Fithrah Alloh yang telah menciptakan manusia menurut fithrah itu: (yaitu) Islam.” (Tafsir ath-Thabari juz 10 hal. 182)
Berkata Mubarakfuri: Berkata Ibnu Abdil Barr: “Yang terkenal di sisi salaf dan disepakati ahlu ilmi, bahwa makna fithrah Alloh yang telah menciptakan manusia menurut fithrah itu, adalah: Islam.” (Tuhfatul Ahwadzi juz 6 hal. 287)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
Setiap anak dilahirkan berada di atas fithrah, maka kedua orang tuanyalah yang menjadikannya beragama Yahudi atau Nasrani atau Majusi. (HR. Bukhari 6599, Muslim 2658)
Alloh Ta’ala telah mengambil janji kepada bani Adam agar tidak menyekutukan Alloh Ta’ala dengan sesuatu pun, sebagaimana dijelaskan dalam al-Qur’an:

وَإِذْ أَخَذَ رَبُّكَ مِن بَنِي آدَمَ مِن ظُهُورِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَأَشْهَدَهُمْ عَلَى أَنفُسِهِمْ أَلَسْتَ بِرَبِّكُمْ قَالُواْ بَلَى شَهِدْنَا أَن تَقُولُواْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّا كُنَّا عَنْ هَذَا غَافِلِينَ

Dan (ingatlah) ketika Rabbmu mengeluarkan keturunan Adam dari sulbi mereka dan mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “BukankahAku iniRabbmu?” Mereka menjawab: “Betul (engkau adalah Rabb kami), kami menjadi saksi. ” (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang ycmg lengah terhadap ini (keesaan Alloh Ta’ala).”[4] (QS. al-A’raf [7]: 172)
Sepeninggal Nabi Adam ‘alaihis salam keturunan beliau berada di atas agama beliau dan tidaklah mereka berbuat kesyirikan (menyekutukan Alloh dengan selain-Nya dalam peribadatan). Fenomena ini, sebagaimana disinyalir dalam al-Qur’an:

كَانَ النَّاسُ أُمَّةً وَاحِدَةً فَبَعَثَ اللّهُ النَّبِيِّينَ

Dahulu kala manusia adalah umat yang satu, (setelah timbul perselisihan) maka Alloh mengutus para nabi. (QS. al-Baqarah [2]: 213)
Setelah kurun (generasi) kesepuluh, mereka meninggalkan agama bapak mereka dan timbullah kesyirikan yang disebabkan oleh ghuluw (melampaui batas yang wajib secara syar’i) dalam kecintaan mereka terhadap orang-orang shalih, sebagaimana dijelaskan dalam al-Qur’an:

وَقَالُوا لَا تَذَرُنَّ آلِهَتَكُمْ وَلَا تَذَرُنَّ وَدّاً وَلَا سُوَاعاً وَلَا يَغُوثَ وَيَعُوقَ وَنَسْراً

Dan mereka mengatakan: “Jangan sekali-kali kalian meninggalkan (penyembahan) sesembahan-sesembahan kalian dan jangan pula sekali-kali kalian meninggalkan (penyembahan) Wadd dan jangan pula Suwa’, Yaghuts, Wuq, dan Nasr!” (QS. Nuh [71]: 23)
Berkata Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma: “Ini adalah nama-nama orang shalih dari kalangan kaum Nabi Nuh ‘alaihis salam. Tatkala mereka meninggal dunia, setan membisikkan kepada kaum mereka agar membuat patung yang dipancangkan di majelis-majelis mereka dan dinamai dengan nama orang-orang shalih tersebut; dan mereka melakukannya. (Pada masa awal dibuat patung tersebut dan para pembuatnya masih hidup) tidaklah patung-patung tersebut disembah. Namun setelah pembuat patung-patung tersebut meninggal dunia dan ilmu agama telah dilupakan, maka disembahlah patung-patung tersebut.”[5]
Berkata Sa’id dari Qatadah: “Disebutkan kepada kami, bahwa antara Adam dan Nuh ‘alaihimas salam sebanyak sepuluh kurun (generasi), mereka berada di atas petunjuk dan syari’at yang haq. Setelah masa tersebut, terjadilah perselisihan. Setelah mereka berselisih dan meninggalkan kebenaran, Alloh mengutus Nuh ‘alaihis salam sebagai rasul pertama yang diutus di muka bumi ini.”
Berkata lbnuAbbas radhiyallahu ‘anhuma: “Manusia pada asalnya berada di atas agama Islam.”
Makna ayat ini dan penafsiran sahabat Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma adalah sebagaimana firman Alloh Ta’ala:

وَمَا كَانَ النَّاسُ إِلاَّ أُمَّةً وَاحِدَةً فَاخْتَلَفُواْ

Manusia dahulunya hanyalah satu umat, kemudian mereka berselisih. (QS. Yunus [10]: 19)
Berkata pengarang tafsir Jalalain: “(Mereka) berada di atas satu agama (Islam), sejak dari masa Nabi Adam hingga masa Nabi Nuh.” (Tafsir Jalalain juz 1 hal. 268)
Berkata pengarang tafsir Abu Su’ud: “(Dalam ayat ini terdapat) penjelasan, bahwa tauhid dan Islam adalah agama yang lama. Seluruh manusia telah sepakat di atas agama tersebut, baik secara fithrah dan syari’at. Kesyirikan dan cabang-cabangnya adalah kejahilan yang dibikin oleh orang-orang tersesat, untuk menyelisihi jumhur (kelompok yang besar yang berada dalam ketauhidan) dan menentang jama’ah.[6] (Tafsir Abi Su’ud jilid 4 hal. 132)
HIKMAH PENGUTUSAN NABI DAN RASUL
Setelah umat manusia berselisih dan meninggalkan agama Islam, Alloh mengutus para nabi dan rasul dengan hikmah yang sangat mulia dan agung. Di antara hikmah-hikmah tersebut adalah:
a. Menegakkan hujjah
Alloh Ta’ala berfirman:

رُّسُلاً مُّبَشِّرِينَ وَمُنذِرِينَ لِئَلاَّ يَكُونَ لِلنَّاسِ عَلَى اللّهِ حُجَّةٌ بَعْدَ الرُّسُلِ وَكَانَ اللّهُ عَزِيزاً حَكِيماً

(Mereka Kami utus) selaku rasul-rasul pembawa berita gembira dan memberi peringatan agar supaya tidak ada alasan bagi manusia membantah Alloh sesudah diutusnya rasul-rasul itu. Dan Alloh Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS.. an-Nisa’ [4]: 165)
b. Rahmat bagi alam semesta
Alloh Ta’ala berfirman:

وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِّلْعَالَمِينَ

Dan tidaklah Kami mengutusmu (Nabi Muhammad) kecuali untuk menjadi rahmat bagi alam semesta, (QS. al-Anbiya’ [21]: 107)
c.  Menjelaskan jalan menuju Alloh Ta’ala[7]
d. Menyeru umat manusia untuk mentauhidkan Alloh dalam peribadatan mereka.
Alloh Ta’ala berfirman:

وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَّسُولاً أَنِ اعْبُدُواْ اللّهَ وَاجْتَنِبُواْ الطَّاغُوتَ

Dan sungguh Kami telah mengutus seorang rasul pada setiap umat (agar mereka menyerukan): “Sembahlah Alloh semata dan jauhilah thaghut (setan dan apa yang disembah selain Alloh Ta’ala).” (QS. an-Nahl [16]: 36)
DAKWAH PARA NABI DAN RASUL
Prioritas utama dakwah nabi dan rasul adalah mengajak manusia untuk mentauhidkan Alloh dalam peribadatan. Al-Qur’anul Karim menjelaskan hal tersebut secara global dan secara terperinci. Untuk lebih jelasnya, simaklah uraian dalam dua point di bawah ini. Semoga Alloh menambahkan pemahaman dan ilmu yang luas serta membukakan pintu hidayah dan taufiq di dalam jalan-Nya yang lurus kepada kita.
Di dalam al-Qur’an terdapat beberapa ayat yang menjelaskan dakwah nabi dan rasul kepada tauhid secara global, di antaranya:
Surat an-Nahl [16] ayat 36:

وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَّسُولاً أَنِ اعْبُدُواْ اللّهَ وَاجْتَنِبُواْ الطَّاغُوتَ

Dan sungguh Kami telah mengutus seorang rasul pada setiap umat (agar mereka :menyerukan): “Sembahlah Alloh semata dan jauhilah thaghut (setan dan apa yang disembah selain AllohTa’ala).”
Surat al-Anbiya’ [21] ayat 25:

وَمَا أَرْسَلْنَا مِن قَبْلِكَ مِن رَّسُولٍ إِلَّا نُوحِي إِلَيْهِ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدُونِ

Dan tidaklah Kami mengutus seorang utusan sebelum kamu, kecuali Kami wahyukan kepadanya bahwasanya tidaklah ada sesembahan yang berhak disembah secara haq kecuali Aku, maka sembahlah Aku.[8]
Dalam al-Qur’an disebutkan pula kisah-kisah tentang dakwah nabi dan rasul kepada tauhid dan penentangan kaumnya secara terperinci.
Sumber: Majalah al-Furqon, edisi 9 thn V 1427 H, hal. 24-27 via Maktabah Abi Yahya

[1] Tulisan ini sebagai upaya untuk lebih memperjelas makalah yang penulis sajikan pada edisi yang lalu [di majalah al-Furqon, bukan di blog ini, -admin] (yaitu): “Dakwah Tauhid Prioritas Utama Dalam Dakwah”. Semoga Alloh Ta’ala mengikhlaskan niat penulis dan menjadikan amal ini sebagai tabungan yang penulis akan petik buahnya di akhirat kelak dan menjadikan makalah ini sebagai hadiah yang bermanfaat bagi seluruh kaum muslimin.
[2] Huruf lam dalam ayat di atas maknanya adalah lam hikmah. Bukanlah makna ayat ini, diciptakan yang pertama (jin dan manusia) untuk mengerjakan yang kedua (ibadah), tetapi diciptakan yang pertama dengan hikmah agar melakukan yang kedua; di antara manusia ada yang mewujudkannya dan sebagian yang lain enggan untuk mewujudkannya, pen.
[3] Karenanyalah pengingkaran terhadap seorang rasul pada hakikatnya pengingkaran terhadap seluruh rasul, pen
[4] Termasuk pengaruh dari janji ini, adalah seruan fithrah dalam diri setiap insan untuk menetapkan Alloh sebagai Rabb, Pencipta, dan Dzat yang berhak untuk disembah. (al-Aqidah al-Islamiyyah al-Muyassarah, Abdul Aziz bin Fathi, hal. 13)
[5] Dari peristiwa ini, kita dapat mengetahui kadar bahaya meremehkan urusan tauhid dan bahwasanya perkataan sebagian saudara kita: “… ajaran tauhid kami telah memahaminya!” ataupun “berapa lama lagi kita akan tetap mendakwahkan tauhid?” merupakan jaring perangkap setan dan senjata yang sangat ampuh baginya guna memangkas ajaran tauhid dan menjerumuskan manusia ke dalam lembah kesesatan dan kesyirikan. Bayangkanlah… kalau seandainya orang tua atau da’i-da’i sepuh pada saat sekarang ini meremehkan pengajaran tauhid, apa yang akan terjadi pada kurun setelah kita? Dan kurun berikutnya lagi? Bukan mustahil, jika pada masa da’i-da’i sepuh dan murid-muridnya telah meninggal dunia, generasi berikutnya akan semakin kabur pemahaman ketauhidannya dan akan dengan mudah dijerumuskan oleh setan ke dalam kesyirikan dan berbagai dosa dan kemaksiatan. Nas’alulloha afiyah. (pen.)
[6] Jama’ah ada dua macam: jama’ah badan (bersatu di bawah pemimpin muslim yang sah secara syar’i) dan jama’ah agama (bersatu di atas al-haq), pen.
[7] Asal dari peribadatan kepada Alloh adalah haram dan seseorang tidak akan dapat mengetahui jalan peribadatan kecuali dari para rasul, pen.
[8] Yang dimaksudkan oleh ayat ini adalah: Tidaklah diutus seorang pun dari kalangan rasul kecuali dengan Tauhidullah dan tidaklah ada seorang rasul yang datang kepada suatu umat mengatakan bahwa ada sesembahan yang berhak disembah  secara haq selain Alloh. (Tafsir al-Wajiz jilid 1 hal. 714)

syiah bukan islam

Syi’ah memusuhi Islam dan lebih buruk tipuannya dibanding Ahmadiyah

  • Kenapa syi’ah diizinkan mendirikan sekolah tinggi di Jakarta?
Syi’ah itu memusuhi Islam dan lebih buruk tipuannya terhadap Islam dibanding Ahmadiyah. Karena Ahmadiyah, bagi Ummat Islam mudah diketahui karena mereka memiliki pemimpin yang mengaku nabi, sehingga Ummat Islam faham bahwa itu nabi palsu, maka jelas sesat. Tetapi Syi’ah hanya mengaku memiliki imam, sehingga Ummat Islam banyak yang menganggapnya biasa saja, karena memang dalam Islam, lafal imam itu tidak masalah. Beda dengan nabi palsu. Hanya saja ternyata yang diklaim sebagai imam dalam syi’ah itu lebih tinggi maqamnya/ kedudukannya dibanding nabi-nabi, bahkan maqamnya tidak dapat dijangkau oleh malaikat muqarrabin sekalipun. Bahkan imam mereka dianggap maksum, dan derajatnya melebihi Allah Ta’ala, karena Allah dianggap memiliki sifat bada’ yaitu tadinya tidak tahu, kemudian baru tahu ketika ada kejadian. Sedang imam syi’ah dianggapnya tahu hal ghaib. Ini jelas amat sesat:
  1. Lebih buruk dari nabi palsu tapi tidak dengan sebutan nabi.
  2. Ummat Islam tidak mudah mengerti kesesatannya karena sebutannya hanya imam, namun sejatinya difungsikan sebagai orang yang melebihi nabi.
  3. Jadi, tipuannya lebih sangat menipu.
Sayangnya, untuk melancarkan tipuan terhadap Ummat Islam itu, ada pihak-pihak yang ikut nimbrung bersama syi’ah sebagai penipu Ummat Islam, hingga ada yang member izin didirikannya sekolah tinggi syi’ah di Jakarta, dan bahkan unsur MUI pun kerjasama dengan lembaga syi’ah di luar negeri, serta ada yang tertangkap basah punya perjanjian kerjasama dengan lembaga syi’ah di Iran lalu ketahuan dan tidak mengaku tapi setelah dibawa buktinya, Said Aqil Siradj ketua umum NU baru tidak dapat berkelit lagi, maka dibatalkanlah kerjasama dengan aliran syi’ah perusak Islam itu oleh NU.
Berikut ini pantas kita simak:
Diresmikan, Sekolah Tinggi Filsafat Sadra (Filosof Syi’ah) di Jakarta
  • Dinilai dekat dengan aliran sesat Syi’ah
  • Beberapa pengajarnya lulusan Iran
  • Untuk mengajarkan tentang idiologi adanya Al Qur’an versi Syi’ah?
    • Mengaku sempat terseok-seok selama dua tahun akibat kendala perizinan, akhirnya Sekolah Tinggi Filsafat Islam (STIF) Sadra resmi berdiri tahun ini.
    • Lembaga yang berdiri di bawah naungan Yayasan Hikmat Al Mustafa Jakarta ini diresmikan oleh Prof. M. Zein, selaku pewakilan Direktorat Pendidikan Tinggi Islam Kemenag.
    • Dalam pernyataannya, M. Zein sempat memberikan apresiasi terhadap sekolah filsafat ini. Ia bahka berharap STFI Sadra dapat menjadi kebanggaan umat Islam dalam mempelajari filsafat, al-Qur’an dan Hadits.
    • “Rasulullah bersabda ambillah hikmah dar imanapun asalnya,” ujarnya saat launching di Gedung Sucofindo, Jakarta Selatan, Kamis, (12/07/2012) kemarin.
    • Acara dihadiri oleh Wakil Menteri Agama, Prof Dr Nasarudin Umar dan Perwakilan Direktorat Pendidikan Tinggi Islam Prof M. Zein. Juga dihadiri Dewan Penyantun STFI Sadra, Prof. Umar Shihab, Ketua STFI Sadra Umar Shahab dan Direktur Mizan Dr Haidar Bagir,  dan sejumlah pembicara beserta undangan.
    • Sementara itu Profesor Ahmad Fazeli, Ketua Yayasan Hikmat Al Mustafa turut berterimakasih kepada Kementerian Agama (Kemenag) yang mengeluarkan izin sekolah filsafat ini. Ia berharap smoga STFI Sadra memberikan sumbangan pemikir bagi perkembangan negeri ini.
    • Beberapa dosen di Sekolah ini di antaranya Prof. Dr. Mulyadhi Kartanegara, Prof Dr. Abdul Hadi MM, Dr. Haidar Bagir (Mizan), Dr Umar Shahab, Dr. Muhsin Labib, Dr. Zainal Abidin Bagir (Center for Religious and Cross-Cultural Studies/CRCS), Dr Donny Gahral Adaian, Prof. Dr Rosikhon Anwar (Guru Besar Ilmu Al-Quran UIN Sunan Gunung Djati Bandung) juga Dr. Khalid Walid, alumnus dari Hawzah Ilmiah Qom, Iran.
    • Ahmad Jubaili, Ketua Tim Perumus Kurikulum dikutip radio Iran, IRIB, mengatakan, kuliah yang disusun dirancang secara integral, saling terkait. Kampus ini menurutnya merupakan tempat kajian ilmiah yang merujuk pada Filsafat Mulla Sadra yang mampu menggabungkan seluruh pendekatan keilmuan, terutama teologi, filsafat dan Tasawuf.
    • Mulla Shadra mempunyai nama lengkap Shadr al Din Muhammad Ibn Ibrahim Ibn Yahya Qawami al Syiraz, seorang filsuf terbesar mazhab Syiah Imamiyah.
    • Sekolah ini dikembangkan dengan model boarding (berasrama) yang direncanakan menampung setiap tahun 80 mahasiwa laki-laki dan perempuan yang direkruit secara ketat dari sekolah terbaik (SMA, Pesatren) di seluruh Indonesia. Mahasiswa yang lulus seleksi di beri beasiswa secara penuh selama  7 tahun.
    • Sementara itu, Fahmi Salim, MA, Wakil Sekjen Majelis (Waskjen) Intelektual dan Ulama Muda Indonesia, serta Komisi Pengkajian di MUI Pusat mengatakan, dari bentuknya, lembaga ini dinilai dekat dengan Syiah.
    • “Karena selama ini, gerakan Syiah masuk melalui filsafat,” ujarnya kepada hidayatullah.com, Jumat (13/07/2012) siang.*
    • Rep: Pizaro
    • Red: Cholis Akbar
    • Jum’at, 13 Juli 2012
    • Hidayatullah.com— Berdiri Sekolah Tinggi Filsafat Islam Pertama, Dinilai “Berbau” Syiah.
    • ** *
    • Beberapa pengajarnya lulusan Iran
    • Menandai peluncuran, STFI Sadra membuka dua program studi yakni Filsafat Islam dan Ilmu Qur’an dan Tafsir. Pada angkatan pertama sekolah yang berlokasi di Jalan Pejaten Raya ini menampung 80 mahasiswa baik jalur beasiswa maupun berbayar.
    • Beberapa pengajar dalam sekolah tinggi filsafat ini adalah lulusan Iran. Di antaranya, Dr. Khalid Walid, alumnus dari Qom dengan desertasinya “Pandangan Eskatologi Mulla Shadra”. Walid juga Wakil Ketua Yayasan Hikmat Al-Mustofa Jakarta. Pengajar lain juga ada Abdullah Beik, MA, lulusan Qom tahun 1991.
    • Sementara masuk dalam kepengurusan STFI Sadra, antara lain; Dr Umar Shahab, MA (Ketua Prodi Filsafat Agama STFI Sadra), Dr. Haidar, MA (Ketua Prodi Ilmu Al-Quran dan Tafsir), Dr. Kholid Walid, MA (Wakil Ketua Yayasan Hikmat Al-Mustofa Jakarta), Abdullah Beik, MA (Dosen STFI Sadra Jakarta, tulis arrahmah.com.
***
  • Untuk mengajarkan tentang idiologi adanya Al Qur’an versi Syi’ah?
  • STIF Sadra ini ada Dr. Haidar, MA yang jadi Ketua Prodi –program studi– Ilmu Al-Quran dan Tafsir. Beberapa waktu lalu orang itu pernah polemic di Republika, mengenai Syi’ah dan kaitannya dengan Al-Qur’an.
  • Untuk mengungkap ideology Haidar Baqir dilihat dari tulisannya, maka berikut ini kami tampilkan tanggapan Dr Arifin Baderi alumni Jami’ah Islamiyah Madinah.
  • Inilah tanggapan beliau terhadap tulisan Haidar Baqir.
***
Syi’ah Memusuhi Islam
Di tengah keprihatinan dunia Islam karena Syi’ah di Iran merusak tempat Ibadah Ummat Islam (Sunni) di Teheran dan imamnya ditangkap. Bahkan Syi’ah di Iran dalam memusuhi Islam melebihi negeri-negeri kafir, karena di hampir setiap ibukota negeri kafir pun ada masjid untuk Ummat Islam (Sunni). Namun di Teheran Ibuktota Iran tidak boleh ada masjid Ummat Islam (Sunni). Ketika ada tempat ibadah Ummat Islam Sunni maka diserbu.
Pemerintah Iran menyerbu tempat ibadah kaum Muslim Sunni di Teheran pada hari Ahad lalu (6/2), di mana mereka menyegel rumah dan menangkap Imam masjid, Syaikh Ubaidullah Musa Zadih.
Kaum Sunni di Iran tidak diizinkan untuk membangun sebuah masjid di Teheran. (nahimunkar.com,Aparat Iran Segel Tempat Ibadah Kaum Sunni di Teheran dan Menahan Imam, February 11, 2011 10:44 pm, إغلاق مصلّى لأهل السنة في طهران واعتقال إمام جماعته,http://www.nahimunkar.com/aparat-iran-segel-tempat-ibadah-kaum-sunni-di-teheran-dan-menahan-imam/#more-4202
Yang lebih menyedihkan terutama bagi Ummat Islam Indonesia, di saat Ummat Islam (Sunni) dimusuhi oleh syi’ah di pusatnya di dunia yakni Iran, justru oknum MUI (Majelis Ulama Indonesia) Pusat berbangga bekerjasama dengan Iran dalam bidang riset/ penelitian (agama). Surat kabar yang mewawancarainya (Republika) pun tampak membeberkan dengan lantangnya.
Sebagian wawancara Republika dengan orang MUI sebagai berikut:
MUI telah mencoba melakukan penandatanganan nota kesepahaman (MoU) dengan organisasi-organisasi Islam di luar negeri.
Beberapa waktu lalu, kami diundang ke Irak dan telah menandatangani kerja sama dengan Pusat Kajian Alquran di Irak yang berpusat di Karbala. Walaupun berbeda mazhab, kita ingin sama-sama sharing untuk meningkatkan metodologi hafalan Alquran. Kami bertemu dengan tokoh di Irak, baik Suni maupun Syiah. Bahkan, mereka sangat mengapresiasi kunjungan kita ke Irak di tengah-tengah situasi kemanan yang menurut berita internasional kurang kondusif.
Kita ingin menjalin kerja sama dengan umat Islam walaupun berbeda aliran/mazhab. Kita sadar bahwa musuh-musuh Islam selalu berupaya melemahkan Islam dengan mengadu domba antara Syiah dan Sunni. Kita tak mau itu terjadi. Syiah itu tak seperti Ahmadiyah karena Syiah adalah mazhab yang diakui dunia Islam.
(Pada bagian lain dikemukakan):
MUI juga akan melakukan riset bersama di Iran tentang peradaban Islam. Mereka bisa melakukan riset mengenai peran MUI dalam merekatkan ukhuwah Islamiyah dan ormas-ormas Islam di Indonesia. (Republika, KH Muhyiddin Junaidi MA, Umat Harus Waspadai Konspirasi Musuh
Minggu, 13 Februari 2011 pukul 11:47:00).
Bagaimana tidak meleknya itu orang MUI padahal Ketua MUI bidang Hubungan Luar Negeri. Ketika Ummat Islam sedunia prihatin dengan jahatnya Syi’ah di Iran terhadap Ummat Islam (Sunni), sampai mendirikan masjid saja dilarang, lalu shalat di rumah-rumah secara berjama’ah juga diserbu lalu imamnya ditangkap dan tempat ibadahnya disegel, lha kok MUI malah membanggakan gandeng tangannya dengan Iran yang memusuhi Islam. Bahkan menipu Ummat bahwa Syi’ah itu madzhab yang diakui dunia Islam. Padahal dunia Islam memahami bahwa syi’ah itu adalah terhitung induk kesesatan.
Tampaknya akhir-akhir ini isi dan lakon MUI Pusat sangat mengecewakan bagi Ummat Islam yang masih punya ghirah Islamiyah. Ada tokoh MUI yang memasukkan dengan sengaja orang dari aliran yang difatwakan sesat oleh MUI ikut rapat dalam Munas di Pondok Gede Jakarta Januari 2011. Ada yang memberi sertifikat bahwa satu lembaga training terkemuka –yang telah difatwakan sesat menyesatkan oleh mufti di Malaysia– adalah sesuai syari’at. Padahal masyarakat banyak yang tahu bahwa lembaga training itu jelas banyak menyimpang dari aqidah Islam, memaknai Asmaul Husna semaunya, dan menafsirkan ayat Al-Qur’an semaunya. Bahkan mengkombinasikan aqidah Islam dengan ajaran lain (menurut penelitian seorang yang tinggal di Belanda, berkaitan dengan ajaran sinkretisme NAM –New Age Movement). Namun oleh MUI dianggap sesuai syari’at.
Masih ditambah lagi dengan oknum MUI yang lain lagi dan duduk di kursi Ketua MUI, membanggakan kerjasamanya dengan pihak (syi’ah) Iran yang jelas-jelas memusuhi Islam bahkan melebihi orang-orang negeri kafir.
Bagaimana Syi’ah di Indonesia
Perlu diketahui, LPPI (Lembaga Penelitian dan Pengkajian Islam) di Jakarta, sebelum tahun 2000 telah menerbitkan buku tentang ratusan ulama yang dibantai di Iran zaman kekuasaan Khumeini, dan masjid-masjid Ahlis Sunnah yang dihancurkan di Iran. Daftar nama para Ulama Sunni yang dibantai dan masjid-masjid Sunni yang dihancurkan itupun dicantumkan dengan jelas disertai riwayat singkatnya.
Sebegitu ganasnya kebengisan Syi’ah di Iran terhadap para Ulama Sunni, Masjid-masjid Sunni; bahkan maraji’ (buku-buku rujukan/ referensi) Sunni pun dibersihkan alias dimusnahkan. Namun anehnya di Indonesia, perguruan tinggi Islam (negeri) dan Muhammadiyah justru menerima dengan welcome terhadap referensi dari Iran, bahkan Iran telah memiliki 12 Iranian Corner di perguruan-perguruan tinggi Islam (negeri) dan Muhammadiyah di Indonesia. Perpustakaan-perpustakan Iran di perguruan tinggi Islam di Indonesia yang berjumlah 12 temnpat itu alhamdulillah telah dimusnahkan oleh Allah Ta’ala yang satu Iranian Corner yaitu di UMJ (Universitas Muhammadiyah Jakarta) ketika terkena musibah jebolnya tanggul Situ Gintung di Cierendeu Tangerang Banten, Jum’at shubuh, 1 Rabi’ul Akhir 1430H/ 27 Maret 2009.
Rector UMJ tampak meratapi karena kerugiannya mencapai 9-10 miliar rupiah, di antaranya Iranian Corner itu. Kalau memang dia sayang-sayang terhadap Islam Sunni, maka barangkali mau mengingat Allah, mengakui bahwa jelas di antara upayanya itu adalah menyuntikkan kesesatan dan penyesatan. Sehingga kalau mau sadar, maka rector UMJ maupun Muhammadiyah justru perlu memikir ulang, menimbang-nimbang lagi, apakah tidak besar madharatnya dengan menerima Iranian Corner di berbagai Universitas Muhammadiyah itu. Namun kalau cara berfikirnya model mantan rector UMS Malang, Malik Fajar, apalagi hanya buku-buku dari Iran, sedang buku-buku dari Israel pun dia terima sejak kira-kira tahun 1995-an. Hal itu dikemukakan oleh seorang petugas ketika Menteri Agama yang lalu, dr Tarmidzi Taher, datang ke kampus Universias Muhammadiyah Malang.
Di antara perguruan Tinggi Islam yang memiliki Iranian Corner, menurut Majalah HidayatullahApril 2009 adalah: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Universitas Muhammadiyah Jakarta (alhamdulillah Iranian Corner di UMJ ini telah musnah terkena banjir Situ Gintung, red) Universitas Muhammadiyah Malang, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta, dan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Bisa dibayangkan, Yogyakarta, satu kota saja ada 3 Iranian Corner; yang satu UIN, yang dua Muhammadiyah (?). Tampaknya Muhammadiyah ini tidak kapok-kapoknya. Dulu yang menyambut baik kedatangan aliran sangat sesat, Ahmadiyah, itu juga Muhammadiyah, walau belakangan mengakui kesalahannya atas keterlanjuran selama itu berangkulan dengan Ahmadiyah. Namun pengakuan kesalahan itu tampaknya tidak diujudkan oleh generasi belakangan, bahkan terkesan ogah-ogahan dalam menghadapi Ahmadiyah bersama Muslimin yang bersemangat untuk meminta agar Ahmadiyah dibubarkan. Bahkan sebagian orang Muhammadiyah tampak bersuara membela. Ini aneh sekali.
Sebaliknya, kadang Muhammadiyah dalam kiprahnya, justru nyerempet-nyerempet hal yang tidak berguna, dan mengandung masalah. Seperti untuk mengadakan hajat Muktamar Muhammadiyah di Jogjakarta dibesar-besarkan dengan kesenian kolosal dengan mempercayakan sebagai supervisinya kepada sutradara yang sedang bermasalah dengan Ummat Islam yakni Hanung Bramantyo.[1] (lihat Radar Yogya [ Rabu, 08 April 2009 ]).
Aktif di Lembaga Iran
Kembali tentang Syi’ah di Indonesia, lebih dari itu, Iran memiliki lembaga pusat kebudayaan Republik Iran, ICC (Islamic Cultural Center), berdiri sejak 2003 di bilangan Pejaten, Jakarta Selatan. Dari ICC itulah didirikannya Iranian Corner di 12 tempat tersebut, bahkan ada orang-orang yang aktif mengajar di ICC itu. Menurut Majalah Hidayatullah yang mewawancarai pihak ICC,di antara orang-orang yang mengajar di ICC itu adalah kakak beradik: Umar Shihab ( salah seorang Ketua MUI –Majelis Ulama Indonesia Pusat–?) dan Prof Quraish Shihab (mantan rector IAIN Jakarta dan Menteri Agama zaman Soeharto selama 70 hari, pengarang tafsir Misbah), Dr Jalaluddin Rakhmat, Haidar Bagir, dan O. Hashem penulis produktif yang meninggal akhir Januari 2009. Begitu juga sejumlah keturunan alawiyin atau habaib, seperti Agus Abu Bakar al-Habsyi dan Hasan Daliel al-Idrus.
Di samping itu banyak tokoh Islam Indonesia yang diundang untuk berkunjung ke Iran, kemudian ngomongnya sudah pelo, ada yang menganggap perbedaan Syi’ah dengan Sunni bukan perbedaan principal dan sebagainya. Tanpa malu-malu mereka telah menjilat Iran, padahal negeri itu adalah pembantai Ulama-ulama Sunni, bahkan penghancur masjid-masjid dan kitab-kitab rujukan Sunni.
Syi’ah di Iran yang memusnahkan Ahlis Sunnah itu di Indonesia berpenampilan seakan lemah lembut. Hingga banyak kaum ibu yang tertarik ikut ke pengajian-pengajian mereka. Bahkan Syi’ah merekrut para pemuda untuk diberi bea siswa untuk dibelajarkan ke Iran. Kini ada 300-an mahasiswa Indonesia yang dibelajarkan di Iran, disamping sudah ada 200-an yang pulang ke Indonesia dengan mengadakan pengajian ataupun mendirikan yayasan dan sebagainya. Di antaranya seperti ditulis Majalah Hidayatullah:
Sekembalinya ke tanah air, para lulusan Iran ini aktif menyebarkan faham Syi’ah dengan membuka majelis taklim, yayasan, sekolah, hingga pesantren. Di antaranya Ahmad Baraqbah yang mendirikan Pesantren al-Hadi di Pekalongan (sudah hangus dibakar massa), ada juga Husein al-Kaff yang mendirikan Yayasan Al-Jawwad di Bandung, dan masih puluhan yayasan Syi’ah lainnya yang tersebar di Sumatera, Jawa, Kalimantan, dan Sulawesi.
Menurut pusat data lembaga penelitian Syi’ah di Yogyakarta, Rausyan Fikr, seperti disampaikan dalam makalah yang ditulis oleh Pengurus wilayah Ikatan Jamaah Ahlul Bait Indonesia (IJABI) Yogyakarta, AM Safwan, pada tahun 2001, terdapat 36 yayasan Syi’ah di Indonesia dengan 43 kelompok pengajian. Sebanyak 21 yayasan/ kelompok pengajian di tingkat provinsi, dan 33 yayasan/ kelompok pengajian di tingkat kabupaten. Kota.
Tidak hanya melalui pengajian, upaya penyebaran paham Syi’ah juga gencar dilakukan melalui penerbitan buku. Menurut hasil hitungan Rausyan Fikr, hingga Februari 2001 saja, tidak kurang 373 judul buku mengenai Syi’ah telah diterbitkan oleh 59 penerbit yang ada di Indonesia. (Majalah Hidayatullah, Rabi’ul Tsani 1430H/ April 2009, halaman 29).
Itu belum kerjasamanya dengan para pengusung bid’ah dan bahkan pihak gereja. (lihat nahimunkar.com, Kelompok Sesat Syiah “Mengaji’ ke Gereja, January 15, 2009 3:51 am admin Artikel). Pada 10 Muharram 1430 H, al-hamdulillah pihak MUI bersama pengurus dan pegiat Masjid At-Taqwa di Cirebon Jawa Barat bekerjasama dengan Polisi berhasil membatalkan akan diselenggarakannya haul Imam Husein di Masjid At-Taqwa. Acara haul itu menghadirkan seorang petinggi NU (Nahdlatul Ulama), Said Agil Siraj. Namun acara itu tetap diselenggarakan dengan dialihkan ke Keraton Kasepuhan, dan dikhabarkan, Said Agil Siraj marah-marah dengan adanya pembatalan di Masjid At-Taqwa ini.
Lhah, kenapa marah-marah? Padahal, pendiri NU sendiri, KH Hasyim Asy’ari adalah orang yang tidak mau adanya Haul (peringatan tahunan orang meninggal). Al-Marhum Pak ‘Ud (Yusuf Hasyim) putera Hasyim Asy’ari sendiri pernah penulis dengar, mengakui bahwa bapaknya (Hasyim Asy’ari) memang tidak mau adanya haul. Kok sekarang, generasi belakangan, justru bukan hanya mengadakan haul, tetapi haul dengan berbau-bau Syi’ah lagi. Ini mestinya dari kalangan NU perlu meluruskannya kembali, agar tidak semakin kebablasan. Yakni bid’ah plus aliran sesat, itu saja Syi’ah ini adalah induk dari aneka kesesatan.
Dari kenyataan itu, Syi’ah di Iran sebegitu ganasnya dalam membunuhi Ulama Sunni, menghancurkan masjid-masjid Sunni, dan membersihkan kitab-kitab rujukan Sunni. Tetapi di Indonesia justru lembaga-lembaga perguruan tinggi Islam negeri dan Muhammadiyah mendirikan Iranian Corner di 12 tempat, masih pula sebagian tokoh Ormas Islam besar lainnya yang justru mengklaim bahwa merekalah yang Ahlus Sunnah ternyata tampak mengais-ngais proyek atau kegiatan dari Syi’ah. Sambil sesekali berkilah bahwa ada tradisi-tradisi NU yang dari Syi’ah.
Apa sebenarnya yang mereka bela?
Semoga Allah menunjuki hamba-hamba-Nya yang ingin menegakkan agama-Nya yang bersifat memberantas kesesatan, apalagi induk kesesatan yang membenci kebenaran. Dan semoga Allah menghindarkan Muslimin yang teguh dari aneka bujukan dan rayuan para penyesat yang kini di Indonesia merasa mendapatkan angin longgar hingga ada yang duduk di MUI, perguruan tinggi Islam, ormas-ormas Islam dan lembaga lainnya. (haji).
(nahimunkar.com)

[1] Sementara itu sebenarnya seperti apa Hanung itu. Berikut ini mari kita ulang sejenak:
Menurut Hanung, banyak protes yang ditujukan kepada dirinya di balik kesuksesan film Ayat-ayat Cinta. Sebagian besar dari mereka adalah perempuan yang menganggap Hanung pro poligami dan Ayat-ayat Cintamencerminkan budaya patriarki yang merugikan kaum perempuan. Oleh karena itu, Hanung pun bergegas membuat film Perempuan Berkalung Sorban.
Nah, melalui film Perempuan Berkalung Sorban inilah Hanung membayar hutangnya, dengan membuat film yang turut memperjuangkan tema-tema feminisme yang content-nya sejalan dengan materi perjuangan para liberalis dan pegiat kesetaraan gender. Dalam bahasa sederhana, Hanung didukung oleh kalangan pro kesesatan. Jadi, Hanung –kalu berdaya nalar yang panjang– mestinya faham bila ada ulama yang menyesatkan karyanya.
Film Perempuan Berkalung Sorban dibuat berdasarkan novel karya Abidah El Khalieqy yang pernah diterbitkan oleh Yayasan Kesejahteraan Fatayat dan the Ford Foundation. Menurut Indra Yogi, The Ford Foundation terlanjur mempunyai citra yang tidak bagus. Di Indonesia, Ford Foundation pernah ikut menerbitkan sebuah buku berjudul Gagasan Islam Liberal di Indonesia: Pemikiran Neomodernisme Nurcholis Madjid, Djohan Effendi, Ahmad Wahib, dan Abdurrahman Wahid yang diterbitkan secara bersama antara Paramadina, Yayasan Adikarya Ikapi, di tahun 1999.  Buku tersebut aslinya merupakan disertasi Greg Barton (1995) tentang kemunculan pemikiran liberal di kalangan pemikir Indonesia.
Selain itu, menurut Indra Yogi, Ford Foundation merupakan donatur penting bagi International Center for Islam and Pluralism (ICIP). Antara lain donasi yang pernah disalurkan Ford Foundation kepada ICIP adalah berupa dana segar sebesar satu juda dolar Amerika (US$ 1,000,000), yang ditujukan untuk Web-based distance learning courses to enable adolescent and adult Muslims in poor communities to continue their secular education. (Kursus jarak jauh melalui situs internet yang memungkinkan orang Islam dewasa yang berasal dari komunitas miskin untuk melanjutkan pendidikan sekularnya).
Menurut catatan Adian Husaini, ICIP merupakan salah satu lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang sangat aktif menyebarkan paham Pluralisme Agama di pondok-pondok pesantren, juga aktif menyebarkan paham kesetaraan gender. Salah satu tokoh beken dari ICIP adalah Syai’i Anwar.
Jadi, pendukung utama Hanung di dalam membuat film Perempuan Berkalung Sorban ini adalah mereka yang selama ini aktif membela-bela kesesatan, antara lain Musdah Mulia. Sebagai aktivis kesetaraan gender, Musdah tidak setuju dengan seruan boikot yang dikumandangkan Ali Mustafa Yakub. Karena, menurut Musdah, film Perempuan Berkalung Sorban justru mengungkapkan realitas penindasan terhadap perempuan dengan mengatasnamakan agama. (nahimunkar.com, February 10, 2009 8:46 pm admin Artikel, Fenomena Sinetron dan Film Indonesia Bertendensi Merusak Citra Islam).

Kasih Sayang itu ISLAM

Tebarkan Kasih Sayang

ghuluw dalam bersuci

Hukum Berlebihan dalam Bersuci
wudhu dan bersuci
Pertanyaan:
Assalamu’alaikum Ustadz,
Telah dijelaskan mengenai berlebihan dalam doa, lalu apa yang dimaksud dengan berlebihan dalam bersuci, seperti dalam hadits di bawah ?
“Artinya : Akan muncul dari umatku sekelompok kaum yang berlebihan dalam bersuci dan berdoa.” (HR. Ahmad 20554, Abu Daud 96, Ibnu Majah 3864, Syuaib al-Arnauth menilai hadis ini hasan).
Maturnuwun artikel-artikel kirimannya. Jazakallahu khoiron.
Dari:  Faridl
Jawaban:
Wa’alaikumussalam
Bismillah was shalatu was salamu ‘ala rasulillah, amma ba’du,
Dari Abdullah bin Mughaffal Radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّهُ سَيَكُونُ فِي هَذِهِ الْأُمَّةِ قَوْمٌ يَعْتَدُونَ فِي الطَّهُورِ وَالدُّعَاءِ
“Akan muncul dari umatku sekelompok kaum yang berlebihan dalam bersuci dan berdoa.” (HR. Ahmad 20554, Abu Daud 96, Ibnu Majah 3864, Syuaib Al-Arnauth menilai hadis ini hasan).
Berikut Diantara Makna Berlebihan Dalam Bersuci
Pertama, mengulang-ulang gerakan wudhu lebih dari tiga kali. Misalnya, mencuci wajah lebih dari 3 kali, tangan lebih dari 3 kali, dst.
Dari sahabat Abdullah bin Amr bin ‘Ash radhiyallahu ‘anhuma, beliau menceritakan,
جَاءَ أَعْرَابِيٌّ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَسْأَلُهُ عَنِ الْوُضُوءِ، فَأَرَاهُ الْوُضُوءَ ثَلَاثًا ثَلَاثًا، ثُمَّ قَالَ: «هَكَذَا الْوُضُوءُ، فَمَنْ زَادَ عَلَى هَذَا فَقَدْ أَسَاءَ وَتَعَدَّى وَظَلَمَ»
Suatu ketika datang seorang badui menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan bertanya tentang tata cara wudhu. Beliaupun mengajarinya tata cara wudhu 3 kali – 3 kali. Kemudian beliau bersabda,
“Seperti ini wudhu yang benar. Siapa yang nambahi lebih dari tiga, dia telah berbuat salah, melampaui batas, dan bertindak zalim.”  (HR. Ahmad 6684, Nasai 140, dan dishahihkan Syuaib al-Arnauth).
Kedua, terlalu banyak menggunakan air
Dalam Fatawa Syabakah Islamiyah dinyatakan,
وأما الاعتداء في الوضوء فمعناه تجاوز الحد فيه بأن يسرف في استعمال الماء أو يزيد في عدد الغسل عن الثلاث، قال العيني في شرح أبي داود: وأما الاعتداء في الطهور أن يسرف في الماء، بأن يكثر صبه أو يزيد في الأعداد. انتهى.
Makna berlebihan dalam berwudhu adalah melampaui batas ketika berwudhu, dengan bersikap boros dalam menggunakan air atau mencuci lebih dari 3 kali. Al-Hafidz al-Aini mengatakan dalam Syarh Abu Daud,
‘Bentuk melampaui batas dalam bersuci adalah terlalu boros menggunakan air, misalnya banyak mengguyurkan air ke anggota wudhu atau mencuci anggota wudhu lebih dari bilangan (3 kali).’ (Fatawa Syabakah Islamiyah, no. 166197)
Kesalahan semacam ini, umumnya dilakukan oleh mereka yang terjangkiti penyakit was-was dalam beribadah. Karena itulah, islam mengajarkan kepada kita untuk berusaha menghindari penyakit ini. Terkait penyembuhan penyakit was-was, bisa anda simak di artikel: Mengobati Was-was

Lembut berbicara dan menghindari kata-kata yang tidak berarti

Lembut dalam Berbicara dan Menghindari Kata-Kata yang Tidak Berarti

Lembut dalam Berbicara dan Menghindari Kata-Kata yang Tidak Berarti

Sesungguhnya pembicaraan yang lembut dapat meluluhkan jiwa yang durhaka, membuatnya mendekat ke jalan yang benar, dan mendengarkan dalil-dalil serta nasihat.
Allah ta’ala berfirman dalam berbicara kepada Harun‘alaihis-salaam dan Musa ‘alaihis-salaam :
اذهبا إلى فرعون إنه طغى * فقولا له قولا لينا لعله يتذكر أو يخشى
“Pergilah kamu berdua kepada Fir’aun, sesungguhnya dia telah melampaui batas, maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut mudah-mudahan ia ingat atau takut” [QS. Thaahaa: 43-44].
Allah ta’ala mengajarkan Musa secara lisan tentang kata-kata yang lembut, sebaik-baik hal yang Allah ta’ala bicarakan kepada penguasa yang lalim, Fir’aun. Ia berkata kepada kaumnya, “Akulah tuhan kalian yang tertinggi”. Maka Allah ta’ala berfirman:
فقل هل لك إلى أن تزكى * وأهديك إلى ربك فتخشى
“Dan katakanlah (kepada Fir’aun): Apakah keinginan bagimu untuk membersihkan diri (dari kesesatan). Dan kamu akan kupimpin ke jalan Rabb-mu agar supaya kamu takut kepada-Nya “ [QS. An-Naazi'at: 18-19).
Ibnul-Qayyim rahimahullah berkata: "Perhatikanlah contoh yang ada pada diri Musa, ketika beliau diperintahkan oleh Allah ta'ala untuk menyampaikan kata kepada Fir'aun:
هل لك إلى أن تزكى * وأهديك إلى ربك فتخشى
".... Apakah keinginan bagimu untuk membersihkan diri (dari kesesatan). Dan kamu akan kupimpin ke jalan Rabb-mu agar supaya kamu takut kepada-Nya " [QS. An-Naazi'at: 18-19].
Allah ta’ala mengungkapkan firman-Nya kepada Fir’aun dengan cara pertanyaan dan penjelasan, bukan dengan bentuk perintah. Allah ta’ala berfirman: “Hingga ia menyucikan diri” ( إلى أن تزكى ), Dan tidak berfirman: “Hingga aku menyucikan Engkau”.
Allah ta’ala mengaitkan perbuatan kepada diri-Nya dan menyebutkan kata At-Tazakkytanpa yang lainnya karena ada padanya keberkahan, kebaikan, dan pertumbuhan.
Kemudian Allah ta’ala berfirman [ وأهديك إلى ربك] “Dan saya memberikan petunjuk kepada Rabbmu” . Saya menjadi seorang petunjuk jalan bagimu yang berjalan di depanmu. Allahta’ala berfirman: [ إلى ربك ] “kepada Rabb-mu” sebagai panggilan iman kepada Rabb-nya.Yang menciptakannya, memberikan rizki kepadanya, dan mendidiknya dengan segala nikmatnya, baik kecil maupun besar “
[Lihat: Badaa-i'ul-Fawaaid , 3/132-133].
Oleh karena itu, sesungguhnya nasihat yang disampaikan dengan adab, maka akan diterima dengan hati yang lapang dada, jiwa akan menyambutnya, dan pendengaran pun akan merasa tenang.
Sesungguhnya Rabb kami, Allah ta’ala , telah memuji Nabi kita Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam dengan memberikan karakter lemah lembut padanya dan menjadikannya mencintai kelembutan, menjauhkan darinya kekerasan, dan ketidaksopanan.
Allah ta’ala berfirman:
ولو كنت فظا غليظ القلب لانفضوا من حولك فاعف عنهم واستغفر لهم وشاورهم في الأمر
“…. Jika kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu …….. “ [QS. Aali Imraan: 159].
Sesungguhnya perjalanan beliau Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam penuh dengan sifat-sifat mulia dan luhur seperti ini. Siapa saja yang dapat memilikinya, maka ia akan menguasai hati dan meluluhkannya. Sebagaimana Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallamtelah mempraktekkan sifat yang satu ini, ia juga telah memerintahkan agar sifat ini dikerjakan oleh setiap muslim dan beliau telah menjelaskan keutamaannya.
Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
يا عائشة إن الله رفيق يحب الرفق ويعطى على الرفق ما لا يعطى على العنف وما لا يعطى على ما سواه
“Wahai Aisyah, sesungguhnya Allah itu lembut dan menyukai kelembutan. Dan Dia akan memberikan sesuatu dengan kelembutan apa yang tidak diberikannya dengan kekerasan dan tidak pula diberikan dengan yang lainynya ”[HR. Muslim no. 2593].
Dalam sabdanya yang lain:
إن الرفق لا يكون في شيء إلا زانه ولا ينزع من شيء إلا شانه
“Sesungguhnya kelembutan itu tidak berada pada sesuatu kecuali akan menghiasinya.Dan tidak dihilangkan darinya kecuali akan menghinakannya “ [HR. Muslim no. 2594].
Ketika beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengutus Abu Musa Al-Asy’ary dan Mu’adzradliyallaahu ‘anhuma ke Yaman, beliau berkata kepada keduanya:
يسرا ولا تعسرا وبشرا ولا تنفرا وتطاوعا ولا تختلفا
“Permudahlah jangan persulit, berilah kabar gembira dan jangan membuat mereka lari.Bersatulah dan jangan berseleisih ”[HR. Al-Bukhaariy no. 6124 dan Muslim no. 1733].
Imam Ahmad rahimahullah berkata: “Dia memerintahkan kepada kelembutan dan ketundukan, sehingga ketika mereka memperdengarkan kepadanya apa yang dibencinya, maka ia tidak akan marah, karena ia ingin menguasai dirinya” [ Jaami'ul 'Ulum wal-Hikam , 2/456].
Sesungguhnya sangatlah baiklah orang yang bersenandung (sya’ir):
لو سار ألف مدجج في حاجة ** لم يقضها إلا الذي يترفق
“Seandainya seribu landak berjalan untuk memenuhi kebutuhannya, ia tidak akan memenuhinya kecuali yang berjalan dengan kelembutan” [ Raudlatul-'Uqalaa' , hal. 216].
Pernah dikatakan: “Barangsiapa yang ucapanya lembut, maka wajiblah baginya dicintai” [Al-Bayaan wat-Tabyiin oleh Al-Jahizh].
Kelembutan dan kehalusan percakapan adalah merupakan hal yang harus diwujudkan saat memberi nasihat. Dan hal tersebut lebih pantas menjadi karakter dari seorang pemberi nasihat, karena saat menasihati berbeda dengan saat membantah, perdebatan, dan diskusi.
Namun, selain itu ia juga terkadang memerlukan ketegasan. Dan itupun dalam kondisi-kondisi tertentu, untuk orang-orang tertentu pula, dan bagi orang yang berhak untuk mendapatkannya. Ketika seorang pemberi nasihat memiliki posisi dan kondisinya meminta untuk memberikan saran dengan ketegasan dan tidak mengakibatkan kemudlaratan setelahnya, maka ia harus melakukan cara tersebut.
Oleh karena itu Musa ‘alaihis-salaam bersikap sangat lemah lembut terhadap Fir’aun pada awal-awal dakwahnya kepadanya – seperti yang baru saja berlalu —. Namun ketika ia melihat Fir’aun tidak menghiraukan dan bersikap sombong serta berusaha menghalangi petunjuk Musa ‘alaihis-salaam kepada kaumnya setelah indikator tersebut jelas bagi mereka, maka Musa ‘alaihis-salaam bersikap keras dan tegas dalam dakwahnya seperti firman Allah ta’ala :
وإني لأظنك يفرعون مثبورا
“… Dan sesungguhnya aku mengira kamu, hai Fir’aun, seorang yang akan binasa” [QS.Al-Israa ': 102].
Bagaimana dengan pembicaraan ini dibanding dengan percakapan yang pertama? Seperti halnya firman Allah ta’ala :
ولا تجادلوا أهل الكتاب إلا بالتي هي أحسن إلا الذين ظلموا منهم
“Dan janganlah kamu berdebat dengan Ahli Kitab, melainkan dengan cara yang paling baik. Kecuali dengan orang-orang dhalim diantara mereka …. “ [QS. Al-Ankabut: 46].
Dan juga kata Ibrahim ‘alaihis-salaam kepada kaumnya:
أف لكم ولما تعبدون من دون الله أفلا تعقلون
“Ah (celaka) kamu dan apa yang kamu sembah selain Allah. Maka apakah kamu tidak mengerti? “ [QS. Al-Anbiyaa ': 67].
Bahwasannya Nabi kita pun, Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam , memakai cara-cara seperti ini apabila dibutuhkan. Diantaranya adalah apa yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim dalam sebuah kisah seorang perempuan dari suku Makhzum yang telah mencuri. Dari ‘Aisyah radliyallaahu ‘anhaa : Bahwasannya suku Quraisy sangat terganggu dengan kejadian seorang perempuan dari suku Makhzum yang mencuri. Mereka berkata: “Siapakah yang akan berbicara kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam tentang masalah ini? “Dan siapakah yang berani kecuali Usamah, kecintaan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam ”. Maka ia berbicara kepada beliau, lalu beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadanya: “ Apakah kamu akan memberi syafa’at pada hukum-hukum Allah? ”. Lalu beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam berdiri dan berkhotbah pada masyarakat lalu bersabda:
“Wahai manusia, sesungguhnya hal yang menyesatkan orang-orang terdahulu adalah ketika seorang yang mulia mencuri maka mereka akan membiarkannya. Dan ketika orang yang lemah mencuri, maka mereka melaksanakan hukuman kepadanya. Demi Allah, seandainya Fatimah binti Muhammad shallallaahu ‘alaihi wasallam mencuri, maka Muhammad sendiri yang akan memotong tangannya “ [HR. Al-Bukhaariy no. 6788 dan Muslim no. 2648].
Dalam Shahiih Al-Bukhaariy dan Shahiih Muslim dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhubahwasannya ia berkata: Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam :
ليس صلاة أثقل على المنافقين من الفجر والعشاء ولو يعلمون ما فيهما لأتوهما ولو حبوا لقد هممت أن آمر المؤذن فيقيم ثم آمر رجلا يؤم الناس ثم آخذ شعلا من نار فأحرق على من لا يخرج إلى الصلاة بعد
“Tidak ada shalat yang paling berat bagi orang-orang yang munafiq kecuali shalat shubuh dan ‘isya’. Seandainya mereka mengetahui (imbalan) apa yang ada dalam keduanya, maka niscaya mereka akan mendatanginya meskipun harus merangkak. Sesungguhnya aku ingin untuk menyuruh muadzdzin untuk melakukan iqamat dan menyuruh seseorang menjadi imam shalat yang menggantikanku, lalu aku membawa api dan membakar mereka yang belum keluar melakukan shalat jama’ah di masjid “ [HR. Al-Bukhaariy no.657 dan Muslim no. 651].
Sesungguhnya Imam Al-Bukhaariy telah membuat suatu bab dalam kitab Al-Adab dariShahiih- nya, yang ia namakan: “ Bab Maa Yajuuzu minal-Ghadlabi wasy-syiddati li amrillaahi ”(Bab: mungkin Seseorang untuk Marah dan Bersikap Keras dalam Menegakkan Perintah Allah ta’ala). Lalu menyebutkan di dalamnya lima hadits.
Cakupan masalah tersebut adalah bahwasannya kelembutan merupakan dasar. Ini merupakan hal yang paling sesuai dengan sikap pemberi nasihat selama kekerasan belum dibutuhkan. Dan kekerasan tidak selamanya cocok dengan setiap orang, khususnya mereka yang tidak memiliki umum yang lebih tua, ilmu, kedudukan, atau penerimaan dari masyarakat.
Allahu a’lam.

doa-doa keburukan yang di panjatkan imam husain bin ali bin abi thallib

INILAH DOA-DOA KEBURUKAN yang dipanjatkan IMAM HUSAIN BIN ALI BIN Abu Tholib ATAS PARA PENGANUT AGAMA SYI’AH yang terlaknat

INILAH DOA-DOA KEBURUKAN yang dipanjatkan IMAM HUSAIN BIN ALI BIN Abu Tholib ATAS PARA PENGANUT AGAMA SYI’AH yang terlaknat
20130627-160018.jpg
Oleh: Muhammad Wasitho Abu Fawaz
Berikut ini kami akan sebutkan DOA-DOA KEBURUKAN yang dipanjatkan oleh Husain bin Abu Tholib radhiyallahu ‘anhuma (cucu Nabi) kepada Allah Ta’ala untuk orang-orang Syi’ah Kufah yang telah menipu dan mengkhianatinya sebelum ia dan sejumlah keluarganya dibunuh oleh mereka:
“اللهم إن متعتهم إلى حين ففرقهم فرقا (أي شيعا وأحزابا) واجعلهم طرائق قددا, و لا ترض الولاة عنهم أبدا, فإنهم دعونا لينصرونا, ثم عدوا علينا فقتلونا”
(*) Artinya: “Ya Allah, jika Engkau memberikan kepada mereka (orang-orang Syi’ah dan pengikutnya, pent) kenikmatan pada suatu waktu, maka cerai-beraikanlah mereka (menjadi kelompok-kelompok dan golongan-golongan), jadikanlah mereka menempuh jalan yang berbeda-beda, dan janganlah Engkau jadikan para pemimpin (kaum muslimin) merestui mereka selamanya, karena mereka telah mengundang kami untuk menolong kami, namun ternyata malah memusuhi kami dan membunuh kami! “.
(Lihat kitab-kitab referensi Syi’ah berikut: Al-Irsyaad karya Al-Mufiid, Hal.241, i’laamu Al-Waroo karya Ath-Thobrosi Hal.949, Dan Kasyfu Al-Ghummah II/18, 38).
»Imam Husain bin Abu Tholib juga pernah mendoakan keburukan untuk mereka dengan mengatakan kepada mereka:
(*) “Binasalah kalian! Tuhanku (Allah) akan membalas (perbuatan) kalian untuk membelaku (dan keluarga) di dunia dan di akhirat … kalian akan menghukum diri kalian sendiri dengan memukulkan pedang-pedang di atas tubuh dan wajah kalian, Dan kalian akan menumpahkan darah kalian sendiri. Kalian tidak akan mendapat keberuntungan di dunia dan tidak akan sampai kepada hajat (dan tujuan) kalian. Ketika kalian mati, maka Tuhanku telah menyiapkan azab (siksaan) untuk kalian di akhirat. Kalian akan menerima azab sebagaimana azab yang akan diterima oleh orang-orang kafir yang paling keras kekafirannya. “(Lihat Jilaa-u Al ‘Uyuun, karya Mullah Baqir Majlisi, hal.409).
Demikianlah DOA keburukan yang dipanjatkan Oleh Husain bin Ali bin Abu Tholib radhiyallahu anhu, cucu Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dan penghulu pemuda penduduk Surga untuk orang-orang Syi’ah yang terlaknat.Dan kita telah menyaksikan bahwa doa-doa beliau telah DIKABULKAN oleh ALLAH di dunia. Semoga postingan ini bermanfaat bagi setiap pembaca, Dan dapat menyadarkan pemahaman kaum muslimin bahwa Orang-orang Syi’ah pada hakekatnya bukan dari golongan kaum muslimin, dan bukan pembela dan pengikut setia Imam Husain bin Ali bin Abu Tholib dan Ahlul Bait. (

tafsir surah al-ikhlas


Keutamaan Membaca Surat Al Ikhlas

Kategori: Tafsir
6 Komentar // 28 March 2011
Dari Abu Sa’id al-Khudri radhiyallahu ‘anhu dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ إِنَّها لَتَعْدِلُ ثُلُثَ الْقُرْآنِ
Demi (Allah) yang jiwaku di tangan-Nya, sesungguhnya surah al-Ikhlas sebanding (dengan) sepertiga al-Qur’an[1].
Hadits yang agung ini menunjukkan tingginya kedudukan surah al-Ikhlas dan besarnya keutamaan orang yang membacanya, karena surah ini mengandung nama-nama Allah Y yang maha indah dan sifat-sifat-Nya yang maha sempurna, sehingga orang yang membaca dan menghayatinya dengan seksama berarti dia telah mengagungkan dan memuliakan Allah U[2]. Oleh karena itu, dalam hadits shahih lainnya, Rasulullah r ketika mendengar berita tentang seorang shahabat t yang senang membaca surah ini karena sifat-sifat Allah U yang dikandungnya, beliau r bersabda: “Sampaikanlah kepadanya bahwa Allah mencintainya”[3].
Beberapa faidah penting yang dapat kita ambil dari hadits ini:
- Surah ini dinamakan surah al-Ikhlas karena mengandung tauhid (pengkhususan ibadah kepada Allah I semata-semata), sehingga orang yang membaca dan merenungkannya berarti telah mengikhlaskan agamanya untuk Allah I semata. Atau karena Allah U mengikhlaskan (mengkhususkan) surah ini bagi dari-Nya (hanya berisi nama-nama dan sifat-sifat-Nya) tanpa ada penjelasan lainnya[4].
- Surah al-Ikhlas sebanding (dengan) sepertiga al-Qur’an  karena pembahasan/kandungan al-Qur’an terbagi menjadi tiga bagian, yaitu: tauhid, hukum-hukum syariat Islam dan berita tentang makhluk, sedangkan surah al-Ikhlas berisi pembahasan tauhid[5].
- Makna sabda beliau r: “…sebanding (dengan) sepertiga al-Qur’an” adalah dalam hal ganjaran pahala, dan bukan berarti membacanya tiga kali cukup sebagai pengganti mambaca al-Qur’an[6].
- Hadits ini adalah salah satu dalil yang menunjukkan bahwa al-Qur-an berbeda-beda keutamaannya (satu ayat dengan ayat yang lain dan satu surah dengan surah lainnya), jika ditinjau dari segi isi dan kandungannya[7].
Syaikh Muhammad bin Shaleh al-’Utsaimin berkata: “Pembahasan masalah ini harus diperinci dengan penjelasan berikut: jika ditinjau dari (segi) zat yang mengucapkan/berfirman (dengan al-Qur-an) maka al-Qur-an tidak berbeda-beda keutamaannya, karena zat yang mengucapkannya adalah satu, yaitu Allah U. Adapun jika ditinjau dari (segi) kandungan dan pembahasannya maka al-Qur-an berbeda-beda keutamaannya (satu ayat dengan ayat yang lain). Surat al-Ikhlash yang berisi pujian bagi Allah U karena mengandung (penyebutan) nama-nama dan sifat-sifat Allah (tentu) tidak sama dari segi kandungannya dengan surat al-Masad (al-Lahab) yang berisi penjelasan (tentang) keadaan Abu Lahab.
Demikian pula al-Qur-an berbeda-beda keutamaannya (satu ayat dengan ayat yang lain) dari segi pengaruhnya (terhadap hati manusia) dan kekuatan/ketinggian uslub (gaya bahasanya). Karena kita dapati di antara ayat-ayat al-Qur-an ada yang pendek tetapi berisi nasehat dan berpengaruh besar bagi hati manusia, sementara kita dapati ayat lain yang jauh lebih panjang, akan tetapi tidak berisi kandungan seperti ayat tadi”[8].
وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين
Kota Kendari, 29 Rabi’ul awal 1432 H
Abdullah bin Taslim al-Buthoni

[1] HSR al-Bukhari (no. 4726, 6267 dan 6939). [2] Lihat kitab “Fathul Baari” (13/357).
[3] HSR al-Bukhari (no. 6940) dan Muslim (no. 813).
[4] Lihat kitab ” Syarhul aqiidatil waasithiyyah” (1/157).
[5] Lihat kitab “Fathul Baari” (9/61) dan ” Syarhul aqiidatil waasithiyyah” (1/158).
[6] Lihat kitab ” Syarhul aqiidatil waasithiyyah” (1/157-158).
[7] Lihat keterangan syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam “Majmu’ul fataawa” (17/211-212) dan imam Ibnul Qayyim dalam “Syifa-ul ‘aliil” (hal. 272).
[8] Kitab ” Syarhul aqiidatil waasithiyyah” (1/164-165).

faqih dan pengertiannya

Fiqih Islam

69 Komentar // 15 May 2008

Pengertian Fiqh

Fiqih menurut bahasa berarti ‘paham’, seperti dalam firman Allah:
“Maka mengapa orang-orang itu (orang munafik) hampir-hampir tidak memahami pembicaraan sedikitpun?” (QS. An Nisa: 78)
dan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Sesungguhnya panjangnya shalat dan pendeknya khutbah seseorang, merupakan tanda akan kepahamannya.” (Muslim no. 1437, Ahmad no. 17598, Daarimi no. 1511)
Fiqih Secara Istilah Mengandung Dua Arti:
  1. Pengetahuan tentang hukum-hukum syari’at yang berkaitan dengan perbuatan dan perkataan mukallaf (mereka yang sudah terbebani menjalankan syari’at agama), yang diambil dari dalil-dalilnya yang bersifat terperinci, berupa nash-nash al Qur’an dan As sunnah serta yang bercabang darinya yang berupa ijma’ dan ijtihad.
  2. Hukum-hukum syari’at itu sendiri. Jadi perbedaan antara kedua definisi tersebut bahwa yang pertama di gunakan untuk mengetahui hukum-hukum (Seperti seseorang ingin mengetahui apakah suatu perbuatan itu wajib atau sunnah, haram atau makruh, ataukah mubah, ditinjau dari dalil-dalil yang ada), sedangkan yang kedua adalah untuk hukum-hukum syari’at itu sendiri (yaitu hukum apa saja yang terkandung dalam shalat, zakat, puasa, haji, dan lainnya berupa syarat-syarat, rukun-rukun, kewajiban-kewajiban, atau sunnah-sunnahnya).

Hubungan Antara Fiqh dan Aqidah Islam

Diantara keistimewaan fiqih Islam -yang kita katakan sebagai hukum-hukum syari’at yang mengatur perbuatan dan perkataan mukallaf- memiliki keterikatan yang kuat dengan keimanan terhadap Allah dan rukun-rukun aqidah Islam yang lain. Terutama Aqidah yang berkaitan dengan iman dengan hari akhir. Yang demikian Itu dikarenakan keimanan kepada Allah-lah yang dapat menjadikan seorang muslim berpegang teguh dengan hukum-hukum agama, dan terkendali untuk menerapkannya sebagai bentuk ketaatan dan kerelaan. Sedangkan orang yang tidak beriman kepada Allah tidak merasa terikat dengan shalat maupun puasa dan tidak memperhatikan apakah perbuatannya termasuk yang halal atau haram. Maka berpegang teguh dengan hukum-hukum syari’at tidak lain merupakan bagian dari keimanan terhadap Dzat yang menurunkan dan mensyari’atkannya terhadap para hambaNya.
Contohnya:
Allah memerintahkan bersuci dan menjadikannya sebagai salah satu keharusan dalam keiman kepada Allah sebagaimana firman-Nya:
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki.” (QS. Al Maidah: 6)
Juga seperti shalat dan zakat yang Allah kaitkan dengan keimanan terhadap hari akhir, sebagaimana firman-Nya:
“(yaitu) orang-orang yang mendirikan sembahyang dan menunaikan zakat dan mereka yakin akan adanya negeri akhirat.” (QS. An naml: 3)
Demikian pula taqwa, pergaulan baik, menjauhi kemungkaran dan contoh lainnya, yang tidak memungkinkan untuk disebutkan satu persatu. (lihat Fiqhul Manhaj hal. 9-12)

Fiqh Islam Mencakup Seluruh Perbuatan Manusia

Tidak ragu lagi bahwa kehidupan manusia meliputi segala aspek. Dan kebahagiaan yang ingin dicapai oleh manusia mengharuskannya untuk memperhatikan semua aspek tersebut dengan cara yang terprogram dan teratur. Manakala fiqih Islam adalah ungkapan tentang hukum-hukum yang Allah syari’atkan kepada para hamba-Nya, demi mengayomi seluruh kemaslahatan mereka dan mencegah timbulnya kerusakan ditengah-tengah mereka, maka fiqih Islam datang memperhatikan aspek tersebut dan mengatur seluruh kebutuhan manusia beserta hukum-hukumnya.
Penjelasannya sebagai berikut:
Kalau kita memperhatikan kitab-kitab fiqih yang mengandung hukum-hukum syari’at yang bersumber dari Kitab Allah, Sunnah Rasulnya, serta Ijma’ (kesepakatan) dan Ijtihad para ulama kaum muslimin, niscaya kita dapati kitab-kitab tersebut terbagi menjadi tujuh bagian, yang kesemuanya membentuk satu undang-undang umum bagi kehidupan manusia baik bersifat pribadi maupun bermasyarakat. Yang perinciannya sebagai berikut:
  1. Hukum-hukum yang berkaitan dengan ibadah kepada Allah. Seperti wudhu, shalat, puasa, haji dan yang lainnya. Dan ini disebut dengan Fiqih Ibadah.
  2. Hukum-hukum yang berkaitan dengan masalah kekeluargaan. Seperti pernikahan, talaq, nasab, persusuan, nafkah, warisan dan yang lainya. Dan ini disebut dengan Fikih Al Ahwal As sakhsiyah.
  3. Hukum-hukum yang berkaitan dengan perbuatan manusia dan hubungan diantara mereka, seperti jual beli, jaminan, sewa menyewa, pengadilan dan yang lainnya. Dan ini disebut Fiqih Mu’amalah.
  4. Hukum-hukum yang berkaitan dengan kewajiban-kewajiban pemimpin (kepala negara). Seperti menegakan keadilan, memberantas kedzaliman dan menerapkan hukum-hukum syari’at, serta yang berkaitan dengan kewajiban-kewajiban rakyat yang dipimpin. Seperti kewajiban taat dalam hal yang bukan ma’siat, dan yang lainnya. Dan ini disebut dengan Fiqih Siasah Syar’iah.
  5. Hukum-hukum yang berkaitan dengan hukuman terhadap pelaku-pelaku kejahatan, serta penjagaan keamanan dan ketertiban. Seperti hukuman terhadap pembunuh, pencuri, pemabuk, dan yang lainnya. Dan ini disebut sebagai Fiqih Al ‘Ukubat.
  6. Hukum-hukum yang mengatur hubungan negeri Islam dengan negeri lainnya. Yang berkaitan dengan pembahasan tentang perang atau damai dan yang lainnya. Dan ini dinamakan dengan Fiqih As Siyar.
  7. Hukum-hukum yang berkaitan dengan akhlak dan prilaku, yang baik maupun yang buruk. Dan ini disebut dengan adab dan akhlak.
Demikianlah kita dapati bahwa fiqih Islam dengan hukum-hukumnya meliputi semua kebutuhan manusia dan memperhatikan seluruh aspek kehidupan pribadi dan masyarakat.

Sumber-Sumber Fiqh Islam

Semua hukum yang terdapat dalam fiqih Islam kembali kepada empat sumber:
1. Al-Qur’an
Al Qur’an adalah kalamullah yang diturunkan kepada Nabi kita Muhammad untuk menyelamatkan manusia dari kegelapan menuju cahaya yang terang benderang. Ia adalah sumber pertama bagi hukum-hukum fiqih Islam. Jika kita menjumpai suatu permasalahan, maka pertamakali kita harus kembali kepada Kitab Allah guna mencari hukumnya.
Sebagai contoh:
Bila kita ditanya tentang hukum khamer (miras), judi, pengagungan terhadap bebatuan dan mengundi nasib, maka jika kita merujuk kepada Al Qur’an niscaya kita akan mendapatkannya dalam firman Allah subhanahu wa Ta’ala: (QS. Al maidah: 90)
Bila kita ditanya tentang masalah jual beli dan riba, maka kita dapatkan hukum hal tersebut dalam Kitab Allah (QS. Al baqarah: 275). Dan masih banyak contoh-contoh yang lain yang tidak memungkinkan untuk di perinci satu persatu.
2. As-Sunnah
As-Sunnah yaitu semua yang bersumber dari Nabi berupa perkataan, perbuatan atau persetujuan.
Contoh perkataan/sabda Nabi:
“Mencela sesama muslim adalah kefasikan dan membunuhnya adalah kekufuran.” (Bukhari no. 46, 48, muslim no. 64, 97, Tirmidzi no. 1906,2558, Nasa’i no. 4036, 4037, Ibnu Majah no. 68, Ahmad no. 3465, 3708)
Contoh perbuatan:
Apa yang diriwayatkan oleh Bukhari (Bukhari no. 635, juga diriwayatkan oleh Tirmidzi no. 3413, dan Ahmad no. 23093, 23800, 34528) bahwa ‘Aisyah pernah ditanya: “Apa yang biasa dilakukan Rasulullah di rumahnya?” Aisyah menjawab: “Beliau membantu keluarganya; kemudian bila datang waktu shalat, beliau keluar untuk menunaikannya.”
Contoh persetujuan:
Apa yang diriwayatkan oleh Abu Dawud (Hadits no. 1267) bahwa Nabi pernah melihat seseorang shalat dua rakaat setelah sholat subuh, maka Nabi berkata kepadanya: “Shalat subuh itu dua rakaat”, orang tersebut menjawab, “sesungguhnya saya belum shalat sunat dua rakaat sebelum subuh, maka saya kerjakan sekarang.” Lalu Nabi shollallahu’alaihiwasallam terdiam. Maka diamnya beliau berarti menyetujui disyari’atkannya shalat Sunat Qabliah subuh tersebut setelah shalat subuh bagi yang belum menunaikannya.
As-Sunnah adalah sumber kedua setelah al Qur’an. Bila kita tidak mendapatkan hukum dari suatu permasalahn dalam Al Qur’an maka kita merujuk kepada as-Sunnah dan wajib mengamalkannya jika kita mendapatkan hukum tersebut. Dengan syarat, benar-benar bersumber dari Nabi shollallahu’alaihiwasallam dengan sanad yang sahih.
As Sunnah berfungsi sebagai penjelas al Qur’an dari apa yang bersifat global dan umum. Seperti perintah shalat; maka bagaimana tatacaranya didapati dalam as Sunnah. Oleh karena itu Nabi bersabda:
“Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat.” (Bukhari no. 595)
Sebagaimana pula as-Sunnah menetapkan sebagian hukum-hukum yang tidak dijelaskan dalam Al Qur’an. Seperti pengharaman memakai cincin emas dan kain sutra bagi laki-laki.
3. Ijma’
Ijma’ bermakna: Kesepakatan seluruh ulama mujtahid dari umat Muhammad shollallahu’alaihiwasallam dari suatu generasi atas suatu hukum syar’i, dan jika sudah bersepakat ulama-ulama tersebut—baik pada generasi sahabat atau sesudahnya—akan suatu hukum syari’at maka kesepakatan mereka adalah ijma’, dan beramal dengan apa yang telah menjadi suatu ijma’ hukumnya wajib. Dan dalil akan hal tersebut sebagaimana yang dikabarkan Nabi shollallahu’alaihiwasallam, bahwa tidaklah umat ini akan berkumpul (bersepakat) dalam kesesatan, dan apa yang telah menjadi kesepakatan adalah hak (benar).
Dari Abu Bashrah rodiallahu’anhu, bahwa Nabi shollallahu’alaihiwasallam bersabda:
“Sesungguhnya Allah tidaklah menjadikan ummatku atau ummat Muhammad berkumpul (besepakat) di atas kesesatan.” (Tirmidzi no. 2093, Ahmad 6/396)
Contohnya:
Ijma para sahabat ra bahwa kakek mendapatkan bagian 1/6 dari harta warisan bersama anak laki-laki apabila tidak terdapat bapak.
Ijma’ merupakan sumber rujukan ketiga. Jika kita tidak mendapatkan didalam Al Qur’an dan demikian pula sunnah, maka untuk hal yang seperti ini kita melihat, apakah hal tersebut telah disepakatai oleh para ulama muslimin, apabila sudah, maka wajib bagi kita mengambilnya dan beramal dengannya.
4. Qiyas
Yaitu: Mencocokan perkara yang tidak didapatkan di dalamnya hukum syar’i dengan perkara lain yang memiliki nash yang sehukum dengannya, dikarenakan persamaan sebab/alasan antara keduanya. Pada qiyas inilah kita meruju’ apabila kita tidak mendapatkan nash dalam suatu hukum dari suatu permasalahan, baik di dalam Al Qur’an, sunnah maupun ijma’.
Ia merupakan sumber rujukan keempat setelah Al Qur’an, as Sunnah dan Ijma’.
Rukun Qiyas
Qiyas memiliki empat rukun:
  1. Dasar (dalil).
  2. Masalah yang akan diqiyaskan.
  3. Hukum yang terdapat pada dalil.
  4. Kesamaan sebab/alasan antara dalil dan masalah yang diqiyaskan.
Contoh:
Allah mengharamkan khamer dengan dalil Al Qur’an, sebab atau alasan pengharamannya adalah karena ia memabukkan, dan menghilangkan kesadaran. Jika kita menemukan minuman memabukkan lain dengan nama yang berbeda selain khamer, maka kita menghukuminya dengan haram, sebagai hasil Qiyas dari khamer. Karena sebab atau alasan pengharaman khamer yaitu “memabukkan” terdapat pada minuman tersebut, sehingga ia menjadi haram sebagaimana pula khamer.
Inilah sumber-sumber yang menjadi rujukan syari’at dalam perkara-perkara fiqih Islam, kami sebutkan semoga mendapat manfaat, adapun lebih lengkapnya dapat dilihat di dalam kitab-kitab usul fiqh Islam (Fiqhul Manhaj ‘ala Manhaj Imam Syafi’i).

Fiqih Islam

69 Komentar // 15 May 2008

Pengertian Fiqh

Fiqih menurut bahasa berarti ‘paham’, seperti dalam firman Allah:
“Maka mengapa orang-orang itu (orang munafik) hampir-hampir tidak memahami pembicaraan sedikitpun?” (QS. An Nisa: 78)
dan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Sesungguhnya panjangnya shalat dan pendeknya khutbah seseorang, merupakan tanda akan kepahamannya.” (Muslim no. 1437, Ahmad no. 17598, Daarimi no. 1511)
Fiqih Secara Istilah Mengandung Dua Arti:
  1. Pengetahuan tentang hukum-hukum syari’at yang berkaitan dengan perbuatan dan perkataan mukallaf (mereka yang sudah terbebani menjalankan syari’at agama), yang diambil dari dalil-dalilnya yang bersifat terperinci, berupa nash-nash al Qur’an dan As sunnah serta yang bercabang darinya yang berupa ijma’ dan ijtihad.
  2. Hukum-hukum syari’at itu sendiri. Jadi perbedaan antara kedua definisi tersebut bahwa yang pertama di gunakan untuk mengetahui hukum-hukum (Seperti seseorang ingin mengetahui apakah suatu perbuatan itu wajib atau sunnah, haram atau makruh, ataukah mubah, ditinjau dari dalil-dalil yang ada), sedangkan yang kedua adalah untuk hukum-hukum syari’at itu sendiri (yaitu hukum apa saja yang terkandung dalam shalat, zakat, puasa, haji, dan lainnya berupa syarat-syarat, rukun-rukun, kewajiban-kewajiban, atau sunnah-sunnahnya).

Hubungan Antara Fiqh dan Aqidah Islam

Diantara keistimewaan fiqih Islam -yang kita katakan sebagai hukum-hukum syari’at yang mengatur perbuatan dan perkataan mukallaf- memiliki keterikatan yang kuat dengan keimanan terhadap Allah dan rukun-rukun aqidah Islam yang lain. Terutama Aqidah yang berkaitan dengan iman dengan hari akhir. Yang demikian Itu dikarenakan keimanan kepada Allah-lah yang dapat menjadikan seorang muslim berpegang teguh dengan hukum-hukum agama, dan terkendali untuk menerapkannya sebagai bentuk ketaatan dan kerelaan. Sedangkan orang yang tidak beriman kepada Allah tidak merasa terikat dengan shalat maupun puasa dan tidak memperhatikan apakah perbuatannya termasuk yang halal atau haram. Maka berpegang teguh dengan hukum-hukum syari’at tidak lain merupakan bagian dari keimanan terhadap Dzat yang menurunkan dan mensyari’atkannya terhadap para hambaNya.
Contohnya:
Allah memerintahkan bersuci dan menjadikannya sebagai salah satu keharusan dalam keiman kepada Allah sebagaimana firman-Nya:
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki.” (QS. Al Maidah: 6)
Juga seperti shalat dan zakat yang Allah kaitkan dengan keimanan terhadap hari akhir, sebagaimana firman-Nya:
“(yaitu) orang-orang yang mendirikan sembahyang dan menunaikan zakat dan mereka yakin akan adanya negeri akhirat.” (QS. An naml: 3)
Demikian pula taqwa, pergaulan baik, menjauhi kemungkaran dan contoh lainnya, yang tidak memungkinkan untuk disebutkan satu persatu. (lihat Fiqhul Manhaj hal. 9-12)

Fiqh Islam Mencakup Seluruh Perbuatan Manusia

Tidak ragu lagi bahwa kehidupan manusia meliputi segala aspek. Dan kebahagiaan yang ingin dicapai oleh manusia mengharuskannya untuk memperhatikan semua aspek tersebut dengan cara yang terprogram dan teratur. Manakala fiqih Islam adalah ungkapan tentang hukum-hukum yang Allah syari’atkan kepada para hamba-Nya, demi mengayomi seluruh kemaslahatan mereka dan mencegah timbulnya kerusakan ditengah-tengah mereka, maka fiqih Islam datang memperhatikan aspek tersebut dan mengatur seluruh kebutuhan manusia beserta hukum-hukumnya.
Penjelasannya sebagai berikut:
Kalau kita memperhatikan kitab-kitab fiqih yang mengandung hukum-hukum syari’at yang bersumber dari Kitab Allah, Sunnah Rasulnya, serta Ijma’ (kesepakatan) dan Ijtihad para ulama kaum muslimin, niscaya kita dapati kitab-kitab tersebut terbagi menjadi tujuh bagian, yang kesemuanya membentuk satu undang-undang umum bagi kehidupan manusia baik bersifat pribadi maupun bermasyarakat. Yang perinciannya sebagai berikut:
  1. Hukum-hukum yang berkaitan dengan ibadah kepada Allah. Seperti wudhu, shalat, puasa, haji dan yang lainnya. Dan ini disebut dengan Fiqih Ibadah.
  2. Hukum-hukum yang berkaitan dengan masalah kekeluargaan. Seperti pernikahan, talaq, nasab, persusuan, nafkah, warisan dan yang lainya. Dan ini disebut dengan Fikih Al Ahwal As sakhsiyah.
  3. Hukum-hukum yang berkaitan dengan perbuatan manusia dan hubungan diantara mereka, seperti jual beli, jaminan, sewa menyewa, pengadilan dan yang lainnya. Dan ini disebut Fiqih Mu’amalah.
  4. Hukum-hukum yang berkaitan dengan kewajiban-kewajiban pemimpin (kepala negara). Seperti menegakan keadilan, memberantas kedzaliman dan menerapkan hukum-hukum syari’at, serta yang berkaitan dengan kewajiban-kewajiban rakyat yang dipimpin. Seperti kewajiban taat dalam hal yang bukan ma’siat, dan yang lainnya. Dan ini disebut dengan Fiqih Siasah Syar’iah.
  5. Hukum-hukum yang berkaitan dengan hukuman terhadap pelaku-pelaku kejahatan, serta penjagaan keamanan dan ketertiban. Seperti hukuman terhadap pembunuh, pencuri, pemabuk, dan yang lainnya. Dan ini disebut sebagai Fiqih Al ‘Ukubat.
  6. Hukum-hukum yang mengatur hubungan negeri Islam dengan negeri lainnya. Yang berkaitan dengan pembahasan tentang perang atau damai dan yang lainnya. Dan ini dinamakan dengan Fiqih As Siyar.
  7. Hukum-hukum yang berkaitan dengan akhlak dan prilaku, yang baik maupun yang buruk. Dan ini disebut dengan adab dan akhlak.
Demikianlah kita dapati bahwa fiqih Islam dengan hukum-hukumnya meliputi semua kebutuhan manusia dan memperhatikan seluruh aspek kehidupan pribadi dan masyarakat.

Sumber-Sumber Fiqh Islam

Semua hukum yang terdapat dalam fiqih Islam kembali kepada empat sumber:
1. Al-Qur’an
Al Qur’an adalah kalamullah yang diturunkan kepada Nabi kita Muhammad untuk menyelamatkan manusia dari kegelapan menuju cahaya yang terang benderang. Ia adalah sumber pertama bagi hukum-hukum fiqih Islam. Jika kita menjumpai suatu permasalahan, maka pertamakali kita harus kembali kepada Kitab Allah guna mencari hukumnya.
Sebagai contoh:
Bila kita ditanya tentang hukum khamer (miras), judi, pengagungan terhadap bebatuan dan mengundi nasib, maka jika kita merujuk kepada Al Qur’an niscaya kita akan mendapatkannya dalam firman Allah subhanahu wa Ta’ala: (QS. Al maidah: 90)
Bila kita ditanya tentang masalah jual beli dan riba, maka kita dapatkan hukum hal tersebut dalam Kitab Allah (QS. Al baqarah: 275). Dan masih banyak contoh-contoh yang lain yang tidak memungkinkan untuk di perinci satu persatu.
2. As-Sunnah
As-Sunnah yaitu semua yang bersumber dari Nabi berupa perkataan, perbuatan atau persetujuan.
Contoh perkataan/sabda Nabi:
“Mencela sesama muslim adalah kefasikan dan membunuhnya adalah kekufuran.” (Bukhari no. 46, 48, muslim no. 64, 97, Tirmidzi no. 1906,2558, Nasa’i no. 4036, 4037, Ibnu Majah no. 68, Ahmad no. 3465, 3708)
Contoh perbuatan:
Apa yang diriwayatkan oleh Bukhari (Bukhari no. 635, juga diriwayatkan oleh Tirmidzi no. 3413, dan Ahmad no. 23093, 23800, 34528) bahwa ‘Aisyah pernah ditanya: “Apa yang biasa dilakukan Rasulullah di rumahnya?” Aisyah menjawab: “Beliau membantu keluarganya; kemudian bila datang waktu shalat, beliau keluar untuk menunaikannya.”
Contoh persetujuan:
Apa yang diriwayatkan oleh Abu Dawud (Hadits no. 1267) bahwa Nabi pernah melihat seseorang shalat dua rakaat setelah sholat subuh, maka Nabi berkata kepadanya: “Shalat subuh itu dua rakaat”, orang tersebut menjawab, “sesungguhnya saya belum shalat sunat dua rakaat sebelum subuh, maka saya kerjakan sekarang.” Lalu Nabi shollallahu’alaihiwasallam terdiam. Maka diamnya beliau berarti menyetujui disyari’atkannya shalat Sunat Qabliah subuh tersebut setelah shalat subuh bagi yang belum menunaikannya.
As-Sunnah adalah sumber kedua setelah al Qur’an. Bila kita tidak mendapatkan hukum dari suatu permasalahn dalam Al Qur’an maka kita merujuk kepada as-Sunnah dan wajib mengamalkannya jika kita mendapatkan hukum tersebut. Dengan syarat, benar-benar bersumber dari Nabi shollallahu’alaihiwasallam dengan sanad yang sahih.
As Sunnah berfungsi sebagai penjelas al Qur’an dari apa yang bersifat global dan umum. Seperti perintah shalat; maka bagaimana tatacaranya didapati dalam as Sunnah. Oleh karena itu Nabi bersabda:
“Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat.” (Bukhari no. 595)
Sebagaimana pula as-Sunnah menetapkan sebagian hukum-hukum yang tidak dijelaskan dalam Al Qur’an. Seperti pengharaman memakai cincin emas dan kain sutra bagi laki-laki.
3. Ijma’
Ijma’ bermakna: Kesepakatan seluruh ulama mujtahid dari umat Muhammad shollallahu’alaihiwasallam dari suatu generasi atas suatu hukum syar’i, dan jika sudah bersepakat ulama-ulama tersebut—baik pada generasi sahabat atau sesudahnya—akan suatu hukum syari’at maka kesepakatan mereka adalah ijma’, dan beramal dengan apa yang telah menjadi suatu ijma’ hukumnya wajib. Dan dalil akan hal tersebut sebagaimana yang dikabarkan Nabi shollallahu’alaihiwasallam, bahwa tidaklah umat ini akan berkumpul (bersepakat) dalam kesesatan, dan apa yang telah menjadi kesepakatan adalah hak (benar).
Dari Abu Bashrah rodiallahu’anhu, bahwa Nabi shollallahu’alaihiwasallam bersabda:
“Sesungguhnya Allah tidaklah menjadikan ummatku atau ummat Muhammad berkumpul (besepakat) di atas kesesatan.” (Tirmidzi no. 2093, Ahmad 6/396)
Contohnya:
Ijma para sahabat ra bahwa kakek mendapatkan bagian 1/6 dari harta warisan bersama anak laki-laki apabila tidak terdapat bapak.
Ijma’ merupakan sumber rujukan ketiga. Jika kita tidak mendapatkan didalam Al Qur’an dan demikian pula sunnah, maka untuk hal yang seperti ini kita melihat, apakah hal tersebut telah disepakatai oleh para ulama muslimin, apabila sudah, maka wajib bagi kita mengambilnya dan beramal dengannya.
4. Qiyas
Yaitu: Mencocokan perkara yang tidak didapatkan di dalamnya hukum syar’i dengan perkara lain yang memiliki nash yang sehukum dengannya, dikarenakan persamaan sebab/alasan antara keduanya. Pada qiyas inilah kita meruju’ apabila kita tidak mendapatkan nash dalam suatu hukum dari suatu permasalahan, baik di dalam Al Qur’an, sunnah maupun ijma’.
Ia merupakan sumber rujukan keempat setelah Al Qur’an, as Sunnah dan Ijma’.
Rukun Qiyas
Qiyas memiliki empat rukun:
  1. Dasar (dalil).
  2. Masalah yang akan diqiyaskan.
  3. Hukum yang terdapat pada dalil.
  4. Kesamaan sebab/alasan antara dalil dan masalah yang diqiyaskan.
Contoh:
Allah mengharamkan khamer dengan dalil Al Qur’an, sebab atau alasan pengharamannya adalah karena ia memabukkan, dan menghilangkan kesadaran. Jika kita menemukan minuman memabukkan lain dengan nama yang berbeda selain khamer, maka kita menghukuminya dengan haram, sebagai hasil Qiyas dari khamer. Karena sebab atau alasan pengharaman khamer yaitu “memabukkan” terdapat pada minuman tersebut, sehingga ia menjadi haram sebagaimana pula khamer.
Inilah sumber-sumber yang menjadi rujukan syari’at dalam perkara-perkara fiqih Islam, kami sebutkan semoga mendapat manfaat, adapun lebih lengkapnya dapat dilihat di dalam kitab-kitab usul fiqh Islam (Fiqhul Manhaj ‘ala Manhaj Imam Syafi’i).

Fiqih Islam

69 Komentar // 15 May 2008

Pengertian Fiqh

Fiqih menurut bahasa berarti ‘paham’, seperti dalam firman Allah:
“Maka mengapa orang-orang itu (orang munafik) hampir-hampir tidak memahami pembicaraan sedikitpun?” (QS. An Nisa: 78)
dan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Sesungguhnya panjangnya shalat dan pendeknya khutbah seseorang, merupakan tanda akan kepahamannya.” (Muslim no. 1437, Ahmad no. 17598, Daarimi no. 1511)
Fiqih Secara Istilah Mengandung Dua Arti:
  1. Pengetahuan tentang hukum-hukum syari’at yang berkaitan dengan perbuatan dan perkataan mukallaf (mereka yang sudah terbebani menjalankan syari’at agama), yang diambil dari dalil-dalilnya yang bersifat terperinci, berupa nash-nash al Qur’an dan As sunnah serta yang bercabang darinya yang berupa ijma’ dan ijtihad.
  2. Hukum-hukum syari’at itu sendiri. Jadi perbedaan antara kedua definisi tersebut bahwa yang pertama di gunakan untuk mengetahui hukum-hukum (Seperti seseorang ingin mengetahui apakah suatu perbuatan itu wajib atau sunnah, haram atau makruh, ataukah mubah, ditinjau dari dalil-dalil yang ada), sedangkan yang kedua adalah untuk hukum-hukum syari’at itu sendiri (yaitu hukum apa saja yang terkandung dalam shalat, zakat, puasa, haji, dan lainnya berupa syarat-syarat, rukun-rukun, kewajiban-kewajiban, atau sunnah-sunnahnya).

Hubungan Antara Fiqh dan Aqidah Islam

Diantara keistimewaan fiqih Islam -yang kita katakan sebagai hukum-hukum syari’at yang mengatur perbuatan dan perkataan mukallaf- memiliki keterikatan yang kuat dengan keimanan terhadap Allah dan rukun-rukun aqidah Islam yang lain. Terutama Aqidah yang berkaitan dengan iman dengan hari akhir. Yang demikian Itu dikarenakan keimanan kepada Allah-lah yang dapat menjadikan seorang muslim berpegang teguh dengan hukum-hukum agama, dan terkendali untuk menerapkannya sebagai bentuk ketaatan dan kerelaan. Sedangkan orang yang tidak beriman kepada Allah tidak merasa terikat dengan shalat maupun puasa dan tidak memperhatikan apakah perbuatannya termasuk yang halal atau haram. Maka berpegang teguh dengan hukum-hukum syari’at tidak lain merupakan bagian dari keimanan terhadap Dzat yang menurunkan dan mensyari’atkannya terhadap para hambaNya.
Contohnya:
Allah memerintahkan bersuci dan menjadikannya sebagai salah satu keharusan dalam keiman kepada Allah sebagaimana firman-Nya:
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki.” (QS. Al Maidah: 6)
Juga seperti shalat dan zakat yang Allah kaitkan dengan keimanan terhadap hari akhir, sebagaimana firman-Nya:
“(yaitu) orang-orang yang mendirikan sembahyang dan menunaikan zakat dan mereka yakin akan adanya negeri akhirat.” (QS. An naml: 3)
Demikian pula taqwa, pergaulan baik, menjauhi kemungkaran dan contoh lainnya, yang tidak memungkinkan untuk disebutkan satu persatu. (lihat Fiqhul Manhaj hal. 9-12)

Fiqh Islam Mencakup Seluruh Perbuatan Manusia

Tidak ragu lagi bahwa kehidupan manusia meliputi segala aspek. Dan kebahagiaan yang ingin dicapai oleh manusia mengharuskannya untuk memperhatikan semua aspek tersebut dengan cara yang terprogram dan teratur. Manakala fiqih Islam adalah ungkapan tentang hukum-hukum yang Allah syari’atkan kepada para hamba-Nya, demi mengayomi seluruh kemaslahatan mereka dan mencegah timbulnya kerusakan ditengah-tengah mereka, maka fiqih Islam datang memperhatikan aspek tersebut dan mengatur seluruh kebutuhan manusia beserta hukum-hukumnya.
Penjelasannya sebagai berikut:
Kalau kita memperhatikan kitab-kitab fiqih yang mengandung hukum-hukum syari’at yang bersumber dari Kitab Allah, Sunnah Rasulnya, serta Ijma’ (kesepakatan) dan Ijtihad para ulama kaum muslimin, niscaya kita dapati kitab-kitab tersebut terbagi menjadi tujuh bagian, yang kesemuanya membentuk satu undang-undang umum bagi kehidupan manusia baik bersifat pribadi maupun bermasyarakat. Yang perinciannya sebagai berikut:
  1. Hukum-hukum yang berkaitan dengan ibadah kepada Allah. Seperti wudhu, shalat, puasa, haji dan yang lainnya. Dan ini disebut dengan Fiqih Ibadah.
  2. Hukum-hukum yang berkaitan dengan masalah kekeluargaan. Seperti pernikahan, talaq, nasab, persusuan, nafkah, warisan dan yang lainya. Dan ini disebut dengan Fikih Al Ahwal As sakhsiyah.
  3. Hukum-hukum yang berkaitan dengan perbuatan manusia dan hubungan diantara mereka, seperti jual beli, jaminan, sewa menyewa, pengadilan dan yang lainnya. Dan ini disebut Fiqih Mu’amalah.
  4. Hukum-hukum yang berkaitan dengan kewajiban-kewajiban pemimpin (kepala negara). Seperti menegakan keadilan, memberantas kedzaliman dan menerapkan hukum-hukum syari’at, serta yang berkaitan dengan kewajiban-kewajiban rakyat yang dipimpin. Seperti kewajiban taat dalam hal yang bukan ma’siat, dan yang lainnya. Dan ini disebut dengan Fiqih Siasah Syar’iah.
  5. Hukum-hukum yang berkaitan dengan hukuman terhadap pelaku-pelaku kejahatan, serta penjagaan keamanan dan ketertiban. Seperti hukuman terhadap pembunuh, pencuri, pemabuk, dan yang lainnya. Dan ini disebut sebagai Fiqih Al ‘Ukubat.
  6. Hukum-hukum yang mengatur hubungan negeri Islam dengan negeri lainnya. Yang berkaitan dengan pembahasan tentang perang atau damai dan yang lainnya. Dan ini dinamakan dengan Fiqih As Siyar.
  7. Hukum-hukum yang berkaitan dengan akhlak dan prilaku, yang baik maupun yang buruk. Dan ini disebut dengan adab dan akhlak.
Demikianlah kita dapati bahwa fiqih Islam dengan hukum-hukumnya meliputi semua kebutuhan manusia dan memperhatikan seluruh aspek kehidupan pribadi dan masyarakat.

Sumber-Sumber Fiqh Islam

Semua hukum yang terdapat dalam fiqih Islam kembali kepada empat sumber:
1. Al-Qur’an
Al Qur’an adalah kalamullah yang diturunkan kepada Nabi kita Muhammad untuk menyelamatkan manusia dari kegelapan menuju cahaya yang terang benderang. Ia adalah sumber pertama bagi hukum-hukum fiqih Islam. Jika kita menjumpai suatu permasalahan, maka pertamakali kita harus kembali kepada Kitab Allah guna mencari hukumnya.
Sebagai contoh:
Bila kita ditanya tentang hukum khamer (miras), judi, pengagungan terhadap bebatuan dan mengundi nasib, maka jika kita merujuk kepada Al Qur’an niscaya kita akan mendapatkannya dalam firman Allah subhanahu wa Ta’ala: (QS. Al maidah: 90)
Bila kita ditanya tentang masalah jual beli dan riba, maka kita dapatkan hukum hal tersebut dalam Kitab Allah (QS. Al baqarah: 275). Dan masih banyak contoh-contoh yang lain yang tidak memungkinkan untuk di perinci satu persatu.
2. As-Sunnah
As-Sunnah yaitu semua yang bersumber dari Nabi berupa perkataan, perbuatan atau persetujuan.
Contoh perkataan/sabda Nabi:
“Mencela sesama muslim adalah kefasikan dan membunuhnya adalah kekufuran.” (Bukhari no. 46, 48, muslim no. 64, 97, Tirmidzi no. 1906,2558, Nasa’i no. 4036, 4037, Ibnu Majah no. 68, Ahmad no. 3465, 3708)
Contoh perbuatan:
Apa yang diriwayatkan oleh Bukhari (Bukhari no. 635, juga diriwayatkan oleh Tirmidzi no. 3413, dan Ahmad no. 23093, 23800, 34528) bahwa ‘Aisyah pernah ditanya: “Apa yang biasa dilakukan Rasulullah di rumahnya?” Aisyah menjawab: “Beliau membantu keluarganya; kemudian bila datang waktu shalat, beliau keluar untuk menunaikannya.”
Contoh persetujuan:
Apa yang diriwayatkan oleh Abu Dawud (Hadits no. 1267) bahwa Nabi pernah melihat seseorang shalat dua rakaat setelah sholat subuh, maka Nabi berkata kepadanya: “Shalat subuh itu dua rakaat”, orang tersebut menjawab, “sesungguhnya saya belum shalat sunat dua rakaat sebelum subuh, maka saya kerjakan sekarang.” Lalu Nabi shollallahu’alaihiwasallam terdiam. Maka diamnya beliau berarti menyetujui disyari’atkannya shalat Sunat Qabliah subuh tersebut setelah shalat subuh bagi yang belum menunaikannya.
As-Sunnah adalah sumber kedua setelah al Qur’an. Bila kita tidak mendapatkan hukum dari suatu permasalahn dalam Al Qur’an maka kita merujuk kepada as-Sunnah dan wajib mengamalkannya jika kita mendapatkan hukum tersebut. Dengan syarat, benar-benar bersumber dari Nabi shollallahu’alaihiwasallam dengan sanad yang sahih.
As Sunnah berfungsi sebagai penjelas al Qur’an dari apa yang bersifat global dan umum. Seperti perintah shalat; maka bagaimana tatacaranya didapati dalam as Sunnah. Oleh karena itu Nabi bersabda:
“Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat.” (Bukhari no. 595)
Sebagaimana pula as-Sunnah menetapkan sebagian hukum-hukum yang tidak dijelaskan dalam Al Qur’an. Seperti pengharaman memakai cincin emas dan kain sutra bagi laki-laki.
3. Ijma’
Ijma’ bermakna: Kesepakatan seluruh ulama mujtahid dari umat Muhammad shollallahu’alaihiwasallam dari suatu generasi atas suatu hukum syar’i, dan jika sudah bersepakat ulama-ulama tersebut—baik pada generasi sahabat atau sesudahnya—akan suatu hukum syari’at maka kesepakatan mereka adalah ijma’, dan beramal dengan apa yang telah menjadi suatu ijma’ hukumnya wajib. Dan dalil akan hal tersebut sebagaimana yang dikabarkan Nabi shollallahu’alaihiwasallam, bahwa tidaklah umat ini akan berkumpul (bersepakat) dalam kesesatan, dan apa yang telah menjadi kesepakatan adalah hak (benar).
Dari Abu Bashrah rodiallahu’anhu, bahwa Nabi shollallahu’alaihiwasallam bersabda:
“Sesungguhnya Allah tidaklah menjadikan ummatku atau ummat Muhammad berkumpul (besepakat) di atas kesesatan.” (Tirmidzi no. 2093, Ahmad 6/396)
Contohnya:
Ijma para sahabat ra bahwa kakek mendapatkan bagian 1/6 dari harta warisan bersama anak laki-laki apabila tidak terdapat bapak.
Ijma’ merupakan sumber rujukan ketiga. Jika kita tidak mendapatkan didalam Al Qur’an dan demikian pula sunnah, maka untuk hal yang seperti ini kita melihat, apakah hal tersebut telah disepakatai oleh para ulama muslimin, apabila sudah, maka wajib bagi kita mengambilnya dan beramal dengannya.
4. Qiyas
Yaitu: Mencocokan perkara yang tidak didapatkan di dalamnya hukum syar’i dengan perkara lain yang memiliki nash yang sehukum dengannya, dikarenakan persamaan sebab/alasan antara keduanya. Pada qiyas inilah kita meruju’ apabila kita tidak mendapatkan nash dalam suatu hukum dari suatu permasalahan, baik di dalam Al Qur’an, sunnah maupun ijma’.
Ia merupakan sumber rujukan keempat setelah Al Qur’an, as Sunnah dan Ijma’.
Rukun Qiyas
Qiyas memiliki empat rukun:
  1. Dasar (dalil).
  2. Masalah yang akan diqiyaskan.
  3. Hukum yang terdapat pada dalil.
  4. Kesamaan sebab/alasan antara dalil dan masalah yang diqiyaskan.
Contoh:
Allah mengharamkan khamer dengan dalil Al Qur’an, sebab atau alasan pengharamannya adalah karena ia memabukkan, dan menghilangkan kesadaran. Jika kita menemukan minuman memabukkan lain dengan nama yang berbeda selain khamer, maka kita menghukuminya dengan haram, sebagai hasil Qiyas dari khamer. Karena sebab atau alasan pengharaman khamer yaitu “memabukkan” terdapat pada minuman tersebut, sehingga ia menjadi haram sebagaimana pula khamer.
Inilah sumber-sumber yang menjadi rujukan syari’at dalam perkara-perkara fiqih Islam, kami sebutkan semoga mendapat manfaat, adapun lebih lengkapnya dapat dilihat di dalam kitab-kitab usul fiqh Islam (Fiqhul Manhaj ‘ala Manhaj Imam Syafi’i).

Fiqih Islam

69 Komentar // 15 May 2008

Pengertian Fiqh

Fiqih menurut bahasa berarti ‘paham’, seperti dalam firman Allah:
“Maka mengapa orang-orang itu (orang munafik) hampir-hampir tidak memahami pembicaraan sedikitpun?” (QS. An Nisa: 78)
dan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Sesungguhnya panjangnya shalat dan pendeknya khutbah seseorang, merupakan tanda akan kepahamannya.” (Muslim no. 1437, Ahmad no. 17598, Daarimi no. 1511)
Fiqih Secara Istilah Mengandung Dua Arti:
  1. Pengetahuan tentang hukum-hukum syari’at yang berkaitan dengan perbuatan dan perkataan mukallaf (mereka yang sudah terbebani menjalankan syari’at agama), yang diambil dari dalil-dalilnya yang bersifat terperinci, berupa nash-nash al Qur’an dan As sunnah serta yang bercabang darinya yang berupa ijma’ dan ijtihad.
  2. Hukum-hukum syari’at itu sendiri. Jadi perbedaan antara kedua definisi tersebut bahwa yang pertama di gunakan untuk mengetahui hukum-hukum (Seperti seseorang ingin mengetahui apakah suatu perbuatan itu wajib atau sunnah, haram atau makruh, ataukah mubah, ditinjau dari dalil-dalil yang ada), sedangkan yang kedua adalah untuk hukum-hukum syari’at itu sendiri (yaitu hukum apa saja yang terkandung dalam shalat, zakat, puasa, haji, dan lainnya berupa syarat-syarat, rukun-rukun, kewajiban-kewajiban, atau sunnah-sunnahnya).

Hubungan Antara Fiqh dan Aqidah Islam

Diantara keistimewaan fiqih Islam -yang kita katakan sebagai hukum-hukum syari’at yang mengatur perbuatan dan perkataan mukallaf- memiliki keterikatan yang kuat dengan keimanan terhadap Allah dan rukun-rukun aqidah Islam yang lain. Terutama Aqidah yang berkaitan dengan iman dengan hari akhir. Yang demikian Itu dikarenakan keimanan kepada Allah-lah yang dapat menjadikan seorang muslim berpegang teguh dengan hukum-hukum agama, dan terkendali untuk menerapkannya sebagai bentuk ketaatan dan kerelaan. Sedangkan orang yang tidak beriman kepada Allah tidak merasa terikat dengan shalat maupun puasa dan tidak memperhatikan apakah perbuatannya termasuk yang halal atau haram. Maka berpegang teguh dengan hukum-hukum syari’at tidak lain merupakan bagian dari keimanan terhadap Dzat yang menurunkan dan mensyari’atkannya terhadap para hambaNya.
Contohnya:
Allah memerintahkan bersuci dan menjadikannya sebagai salah satu keharusan dalam keiman kepada Allah sebagaimana firman-Nya:
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki.” (QS. Al Maidah: 6)
Juga seperti shalat dan zakat yang Allah kaitkan dengan keimanan terhadap hari akhir, sebagaimana firman-Nya:
“(yaitu) orang-orang yang mendirikan sembahyang dan menunaikan zakat dan mereka yakin akan adanya negeri akhirat.” (QS. An naml: 3)
Demikian pula taqwa, pergaulan baik, menjauhi kemungkaran dan contoh lainnya, yang tidak memungkinkan untuk disebutkan satu persatu. (lihat Fiqhul Manhaj hal. 9-12)

Fiqh Islam Mencakup Seluruh Perbuatan Manusia

Tidak ragu lagi bahwa kehidupan manusia meliputi segala aspek. Dan kebahagiaan yang ingin dicapai oleh manusia mengharuskannya untuk memperhatikan semua aspek tersebut dengan cara yang terprogram dan teratur. Manakala fiqih Islam adalah ungkapan tentang hukum-hukum yang Allah syari’atkan kepada para hamba-Nya, demi mengayomi seluruh kemaslahatan mereka dan mencegah timbulnya kerusakan ditengah-tengah mereka, maka fiqih Islam datang memperhatikan aspek tersebut dan mengatur seluruh kebutuhan manusia beserta hukum-hukumnya.
Penjelasannya sebagai berikut:
Kalau kita memperhatikan kitab-kitab fiqih yang mengandung hukum-hukum syari’at yang bersumber dari Kitab Allah, Sunnah Rasulnya, serta Ijma’ (kesepakatan) dan Ijtihad para ulama kaum muslimin, niscaya kita dapati kitab-kitab tersebut terbagi menjadi tujuh bagian, yang kesemuanya membentuk satu undang-undang umum bagi kehidupan manusia baik bersifat pribadi maupun bermasyarakat. Yang perinciannya sebagai berikut:
  1. Hukum-hukum yang berkaitan dengan ibadah kepada Allah. Seperti wudhu, shalat, puasa, haji dan yang lainnya. Dan ini disebut dengan Fiqih Ibadah.
  2. Hukum-hukum yang berkaitan dengan masalah kekeluargaan. Seperti pernikahan, talaq, nasab, persusuan, nafkah, warisan dan yang lainya. Dan ini disebut dengan Fikih Al Ahwal As sakhsiyah.
  3. Hukum-hukum yang berkaitan dengan perbuatan manusia dan hubungan diantara mereka, seperti jual beli, jaminan, sewa menyewa, pengadilan dan yang lainnya. Dan ini disebut Fiqih Mu’amalah.
  4. Hukum-hukum yang berkaitan dengan kewajiban-kewajiban pemimpin (kepala negara). Seperti menegakan keadilan, memberantas kedzaliman dan menerapkan hukum-hukum syari’at, serta yang berkaitan dengan kewajiban-kewajiban rakyat yang dipimpin. Seperti kewajiban taat dalam hal yang bukan ma’siat, dan yang lainnya. Dan ini disebut dengan Fiqih Siasah Syar’iah.
  5. Hukum-hukum yang berkaitan dengan hukuman terhadap pelaku-pelaku kejahatan, serta penjagaan keamanan dan ketertiban. Seperti hukuman terhadap pembunuh, pencuri, pemabuk, dan yang lainnya. Dan ini disebut sebagai Fiqih Al ‘Ukubat.
  6. Hukum-hukum yang mengatur hubungan negeri Islam dengan negeri lainnya. Yang berkaitan dengan pembahasan tentang perang atau damai dan yang lainnya. Dan ini dinamakan dengan Fiqih As Siyar.
  7. Hukum-hukum yang berkaitan dengan akhlak dan prilaku, yang baik maupun yang buruk. Dan ini disebut dengan adab dan akhlak.
Demikianlah kita dapati bahwa fiqih Islam dengan hukum-hukumnya meliputi semua kebutuhan manusia dan memperhatikan seluruh aspek kehidupan pribadi dan masyarakat.

Sumber-Sumber Fiqh Islam

Semua hukum yang terdapat dalam fiqih Islam kembali kepada empat sumber:
1. Al-Qur’an
Al Qur’an adalah kalamullah yang diturunkan kepada Nabi kita Muhammad untuk menyelamatkan manusia dari kegelapan menuju cahaya yang terang benderang. Ia adalah sumber pertama bagi hukum-hukum fiqih Islam. Jika kita menjumpai suatu permasalahan, maka pertamakali kita harus kembali kepada Kitab Allah guna mencari hukumnya.
Sebagai contoh:
Bila kita ditanya tentang hukum khamer (miras), judi, pengagungan terhadap bebatuan dan mengundi nasib, maka jika kita merujuk kepada Al Qur’an niscaya kita akan mendapatkannya dalam firman Allah subhanahu wa Ta’ala: (QS. Al maidah: 90)
Bila kita ditanya tentang masalah jual beli dan riba, maka kita dapatkan hukum hal tersebut dalam Kitab Allah (QS. Al baqarah: 275). Dan masih banyak contoh-contoh yang lain yang tidak memungkinkan untuk di perinci satu persatu.
2. As-Sunnah
As-Sunnah yaitu semua yang bersumber dari Nabi berupa perkataan, perbuatan atau persetujuan.
Contoh perkataan/sabda Nabi:
“Mencela sesama muslim adalah kefasikan dan membunuhnya adalah kekufuran.” (Bukhari no. 46, 48, muslim no. 64, 97, Tirmidzi no. 1906,2558, Nasa’i no. 4036, 4037, Ibnu Majah no. 68, Ahmad no. 3465, 3708)
Contoh perbuatan:
Apa yang diriwayatkan oleh Bukhari (Bukhari no. 635, juga diriwayatkan oleh Tirmidzi no. 3413, dan Ahmad no. 23093, 23800, 34528) bahwa ‘Aisyah pernah ditanya: “Apa yang biasa dilakukan Rasulullah di rumahnya?” Aisyah menjawab: “Beliau membantu keluarganya; kemudian bila datang waktu shalat, beliau keluar untuk menunaikannya.”
Contoh persetujuan:
Apa yang diriwayatkan oleh Abu Dawud (Hadits no. 1267) bahwa Nabi pernah melihat seseorang shalat dua rakaat setelah sholat subuh, maka Nabi berkata kepadanya: “Shalat subuh itu dua rakaat”, orang tersebut menjawab, “sesungguhnya saya belum shalat sunat dua rakaat sebelum subuh, maka saya kerjakan sekarang.” Lalu Nabi shollallahu’alaihiwasallam terdiam. Maka diamnya beliau berarti menyetujui disyari’atkannya shalat Sunat Qabliah subuh tersebut setelah shalat subuh bagi yang belum menunaikannya.
As-Sunnah adalah sumber kedua setelah al Qur’an. Bila kita tidak mendapatkan hukum dari suatu permasalahn dalam Al Qur’an maka kita merujuk kepada as-Sunnah dan wajib mengamalkannya jika kita mendapatkan hukum tersebut. Dengan syarat, benar-benar bersumber dari Nabi shollallahu’alaihiwasallam dengan sanad yang sahih.
As Sunnah berfungsi sebagai penjelas al Qur’an dari apa yang bersifat global dan umum. Seperti perintah shalat; maka bagaimana tatacaranya didapati dalam as Sunnah. Oleh karena itu Nabi bersabda:
“Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat.” (Bukhari no. 595)
Sebagaimana pula as-Sunnah menetapkan sebagian hukum-hukum yang tidak dijelaskan dalam Al Qur’an. Seperti pengharaman memakai cincin emas dan kain sutra bagi laki-laki.
3. Ijma’
Ijma’ bermakna: Kesepakatan seluruh ulama mujtahid dari umat Muhammad shollallahu’alaihiwasallam dari suatu generasi atas suatu hukum syar’i, dan jika sudah bersepakat ulama-ulama tersebut—baik pada generasi sahabat atau sesudahnya—akan suatu hukum syari’at maka kesepakatan mereka adalah ijma’, dan beramal dengan apa yang telah menjadi suatu ijma’ hukumnya wajib. Dan dalil akan hal tersebut sebagaimana yang dikabarkan Nabi shollallahu’alaihiwasallam, bahwa tidaklah umat ini akan berkumpul (bersepakat) dalam kesesatan, dan apa yang telah menjadi kesepakatan adalah hak (benar).
Dari Abu Bashrah rodiallahu’anhu, bahwa Nabi shollallahu’alaihiwasallam bersabda:
“Sesungguhnya Allah tidaklah menjadikan ummatku atau ummat Muhammad berkumpul (besepakat) di atas kesesatan.” (Tirmidzi no. 2093, Ahmad 6/396)
Contohnya:
Ijma para sahabat ra bahwa kakek mendapatkan bagian 1/6 dari harta warisan bersama anak laki-laki apabila tidak terdapat bapak.
Ijma’ merupakan sumber rujukan ketiga. Jika kita tidak mendapatkan didalam Al Qur’an dan demikian pula sunnah, maka untuk hal yang seperti ini kita melihat, apakah hal tersebut telah disepakatai oleh para ulama muslimin, apabila sudah, maka wajib bagi kita mengambilnya dan beramal dengannya.
4. Qiyas
Yaitu: Mencocokan perkara yang tidak didapatkan di dalamnya hukum syar’i dengan perkara lain yang memiliki nash yang sehukum dengannya, dikarenakan persamaan sebab/alasan antara keduanya. Pada qiyas inilah kita meruju’ apabila kita tidak mendapatkan nash dalam suatu hukum dari suatu permasalahan, baik di dalam Al Qur’an, sunnah maupun ijma’.
Ia merupakan sumber rujukan keempat setelah Al Qur’an, as Sunnah dan Ijma’.
Rukun Qiyas
Qiyas memiliki empat rukun:
  1. Dasar (dalil).
  2. Masalah yang akan diqiyaskan.
  3. Hukum yang terdapat pada dalil.
  4. Kesamaan sebab/alasan antara dalil dan masalah yang diqiyaskan.
Contoh:
Allah mengharamkan khamer dengan dalil Al Qur’an, sebab atau alasan pengharamannya adalah karena ia memabukkan, dan menghilangkan kesadaran. Jika kita menemukan minuman memabukkan lain dengan nama yang berbeda selain khamer, maka kita menghukuminya dengan haram, sebagai hasil Qiyas dari khamer. Karena sebab atau alasan pengharaman khamer yaitu “memabukkan” terdapat pada minuman tersebut, sehingga ia menjadi haram sebagaimana pula khamer.
Inilah sumber-sumber yang menjadi rujukan syari’at dalam perkara-perkara fiqih Islam, kami sebutkan semoga mendapat manfaat, adapun lebih lengkapnya dapat dilihat di dalam kitab-kitab usul fiqh Islam (Fiqhul Manhaj ‘ala Manhaj Imam Syafi’i).