Kemuliaan suatu ilmu tergantung pada perkara yang dipelajari dalam ilmu
tersebut. Karena tidak ada yang lebih mulia daripada Allâh Subhanahu wa
Ta’ala, maka ilmu mengenal Allâh merupakan ilmu yang paling mulia. Cara
mengenal Allâh itu bisa dilakukan melalui :
• Ayat-ayat kauniyah (tanda-tanda keagungan Allâh pada alam semesta atau seluruh makhlukNya), dan
• Ayat-ayat syar’iyah (tanda-tanda keagungan Allâh, pada syari’at atau agama-Nya).
Mengenal Allâh Azza wa Jalla mencakup 4 bagian yaitu :
1. Mengenal keberadaan Allâh.
2. Mengenal keesaan rububiyah Allâh.
3. Mengenal keesaan uluhiyah Allâh (hak Allâh untuk diibadahi)
4. Mengenal nama-nama dan sifat-sifat Allâh Azza wa Jalla
Keempat bagian ini merupakan satu kesatuan, tidak boleh
dipisah-pisahkan. Berikut ini penjelasan singkat tentang empat perkara
di atas.
1. MENGENAL ADANYA ALLAH SUBHANAHU WA TA'ALA
Kita wajib meyakini bahwa Allâh Pencipta seluruh makhluk benar-benar
ada, walaupun kita tidak pernah bertemu, melihat, mendengar secara
langsung. Banyak sekali dalil-dalil yang menunjukkan hal ini.
Diantaranya firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala :
أَمْ خُلِقُوا مِنْ غَيْرِ شَيْءٍ أَمْ هُمُ الْخَالِقُونَ
Apakah mereka diciptakan tanpa sesuatupun (yakni tanpa Pencipta),
ataukah mereka yang menciptakan (diri mereka sendiri)? [ath-Thûr/52:35]
Maksudnya, keadaan manusia atau makhluk yang sudah ada ini tidak lepas dari salah satu dari tiga keadaan :
a. Mereka ada tanpa Pencipta. Ini tidak mungkin. Tidak ada akal sehat
yang bisa menerima bahwa sesuatu itu ada tanpa ada yang membuatnya.
b. Mereka menciptakan diri mereka sendiri. Ini lebih tidak mungkin lagi.
Karena bagaimana mungkin sesuatu yang awalnya tidak ada menciptakan
sesuatu yang ada.
c. Inilah yang haq, yaitu Allâh Azza wa Jalla yang telah menciptakan
mereka, Dialah Sang Pencipta, Penguasa, tidak ada sekutu bagi-Nya.
Seorang Arab Baduwi ditanya, “Apakah bukti tentang adanya Allâh Azza wa
Jalla?” Dia menjawab, “Subhânallâh (Maha Suci Allâh)! Sesungguhnya
kotoran onta menunjukkan adanya onta, bekas telapak kaki menunjukkan
adanya perjalanan! Maka langit yang memiliki bintang-bintang, bumi yang
memiliki jalan-jalan, lautan yang memiliki ombak-ombak, tidakkah hal itu
menunjukkan adanya al-Lathîf (Allâh Yang Maha Baik) al-Khabîr (Maha
Mengetahui).”
Imam Ahmad rahimahullah ditanya tentang hal ini, beliau menjawab, “Ada
sebuah benteng yang kokoh, halus, tidak ada pintu dan jendela. Luarnya
seperti perak putih, dalamnya seperti emas murni. Ketika dalam keadaan
demikian, tiba-tiba temboknya terbelah, lalu keluarlah darinya seekor
binatang yang dapat mendengar dan melihat, memiliki bentuk yang indah
dan suara yang merdu.”
Yang dimaksudkan oleh Imam Ahmad adalah seekor ayam yang keluar dari
telurnya. [Lihat Tafsîr Ibnu Katsîr, surat al-Baqarah, ayat ke-21]
Sesungguhnya keyakinan adanya Sang Pencipta, Allâh Azza wa Jalla ,
merupakan fithrah makhluk. Oleh karena itulah Fir’aun, bahkan Iblis,
juga meyakini hal ini. Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman tentang
Fir’aun dan kaumnya yang mengingkari mu’jizat Nabi Musa Alaihissallam :
وَجَحَدُوا بِهَا وَاسْتَيْقَنَتْهَا أَنْفُسُهُمْ ظُلْمًا وَعُلُوًّا ۚ فَانْظُرْ كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الْمُفْسِدِينَ
Dan mereka (Fir’aun dan kaumnya) mengingkarinya karena kezaliman dan
kesombongan (mereka) padahal hati mereka meyakini (kebenaran)nya. Maka
perhatikanlah betapa kesudahan orang-orang yang berbuat kebinasaan.
[an-Naml/27:14]
Oleh karena itu, tidaklah semata-mata seseorang meyakini adanya Allâh berarti dia adalah orang Islam atau beriman.
2. MENGENAL KEESAAN RUBUBIYAH ALLAH SUBHANAHU WA TA'ALA
Kita wajib meyakini keesaan rububiyah Allâh, yaitu bahwa hanya Allâh
yang mencipta, memiliki, menguasai, dan mengatur seluruh makhluk. Hanya
Allâh Azza wa Jalla yang menghidupkan, mematikan, memberi rizqi,
mendatangkan kebaikan, mendatangkan bencana. Tidak ada sekutu bagi Allâh
Azza wa Jalla dalam seluruh perkara di atas, baik malaikat, nabi, wali,
jin, ruh, atau lainnya.
Rububiyah (mencipta, memiliki, dan mengatur/menguasai) seluruh alam
semesta ini hanyalah bagi Allâh semata. Allâh Azza wa Jalla berfirman :
الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ
Segala puji bagi Allah, Rabb (Pemilik, Penguasa) semesta alam. [al-Fâtihah/1:2]
Jenis tauhid ini tidak diingkari oleh orang-orang musyrik di zaman
Rasûlullâh, bahkan mereka mengakuinya, sebagaimana dinyatakan oleh
beberapa ayat al-Qur’ân. Antara lain, firman Allâh Azza wa Jalla .
قُلْ مَنْ يَرْزُقُكُمْ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ أَمَّنْ يَمْلِكُ
السَّمْعَ وَالْأَبْصَارَ وَمَنْ يُخْرِجُ الْحَيَّ مِنَ الْمَيِّتِ
وَيُخْرِجُ الْمَيِّتَ مِنَ الْحَيِّ وَمَنْ يُدَبِّرُ الْأَمْرَ ۚ
فَسَيَقُولُونَ اللَّهُ ۚ فَقُلْ أَفَلَا تَتَّقُونَ
"Katakanlah, "Siapakah yang memberi rezeki kepadamu dari langit dan
bumi, atau siapakah yang kuasa (menciptakan) pendengaran dan
penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati
dan yang mengeluarkan yang mati dari yang hidup dan siapakah yang
mengatur segala urusan" Maka mereka (orang-orang musyrik jahiliyah)
menjawab, "Allâh". Maka katakanlah: "Mengapa kamu tidak bertaqwa
(kepada-Nya)?" [Yunus/10: 31]
Demikian juga Iblis mengakui hal ini, dia mengakui bahwa Allâh-lah yang telah menciptakannya dari api.
قَالَ مَا مَنَعَكَ أَلَّا تَسْجُدَ إِذْ أَمَرْتُكَ ۖ قَالَ أَنَا خَيْرٌ مِنْهُ خَلَقْتَنِي مِنْ نَارٍ وَخَلَقْتَهُ مِنْ طِينٍ
Allah berfirman, "Apakah yang menghalangimu untuk bersujud (kepada Adam)
di waktu Aku menyuruhmu?" Iblis menjawab "Saya lebih baik daripadanya:
Engkau ciptakan saya dari api sedang dia Engkau ciptakan dari tanah".
[al-A’râf/7:12]
Oleh karena itulah, seseorang yang meyakini adanya Allâh dan keesaan
kekuasaan-Nya belum bisa disebut orang Islam atau orang beriman, sampai
dia mengimani keesaan uluhiyah Allâh, juga mengimani nama-nama dan
sifat-sifat Allâh, sebagaimana akan dijelaskan di bawah ini.
3. MENGENAL KEESAAN ULUHIYAH ALLAH (HAK-NYA UNTUK DIIBADAHI).
Kita meyakini bahwa yang berhak diibadahi hanya Allâh Subhanahu wa
Ta’ala . Tidak boleh memberikan ibadah kepada selain Allâh, walaupun
kepada makhluk yang dekat kepada-Nya, seperti malaikat atau rasul Allâh
Azza wa Jalla . Apalagi kepada makhluk yang derajatnya di bawah mereka,
seperti: manusia, jin, binatang, pohon, batu, senjata, planet, bintang,
ataupun lainnya.
Tauhid inilah makna yang terkandung di dalam perkataan Lâ ilâha illa
Allâh, karena maknanya adalah tidak ada yang berhak diibadahi selain
Allâh. Dia Azza wa Jalla berfirman :
إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ
Hanya Engkaulah yang kami ibadahi dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan. [al-Fâtihah/1:5]
Allâh Azza wa Jalla juga berfirman :
قُلْ إِنَّمَا يُوحَىٰ إِلَيَّ أَنَّمَا إِلَٰهُكُمْ إِلَٰهٌ وَاحِدٌ ۖ فَهَلْ أَنْتُمْ مُسْلِمُونَ
Katakanlah, "Sesungguhnya yang diwahyukan kepadaku adalah,"Bahwasanya
Ilahmu (yang kamu ibadahi) adalah Ilah Yang Esa, maka hendaklah kamu
berserah diri (kepada-Nya)". [al-Anbiyâ’/21:108]
Keimanan terhadap keesaan uluhiyah Allâh (hakNya untuk diibadahi) ini
adalah inti dakwah seluruh rasul. Dan inilah yang diingkari oleh
orang-orang musyrik dan kafir. Allâh Azza wa Jalla berfirman.
وَعَجِبُوا أَنْ جَاءَهُمْ مُنْذِرٌ مِنْهُمْ ۖ وَقَالَ الْكَافِرُونَ
هَٰذَا سَاحِرٌ كَذَّابٌ﴿٤﴾أَجَعَلَ الْآلِهَةَ إِلَٰهًا وَاحِدًا ۖ إِنَّ
هَٰذَا لَشَيْءٌ عُجَابٌ
"Dan mereka heran karena mereka kedatangan seorang pemberi peringatan
(rasul) dari kalangan mereka; dan orang-orang kafir berkata, "ini adalah
seorang ahli sihir yang banyak berdusta". Mengapa ia menjadikan
ilah-ilah itu Ilah Yang Satu saja. Sesungguhnya ini benar-benar suatu
hal yang sangat mengherankan. [Shad/38: 4-5]
Tujuan dari pengenalan keesaan uluhiyah Allâh ini adalah supaya kita
mencintai Allâh, tunduk kepada-Nya, takut dan berharap kepada-Nya, serta
mengesakan ibadah hanya kepada-Nya.
Ibadah kepada Allâh yaitu merendahkan diri dan taat kepada Allâh
Subhanahu wa Ta’ala dengan penuh kecintaan, pengagungan, mengharapkan
rahmat, dan takut terhadap siksa. Hal itu dilakukan dengan cara
melaksanakan perintah Allâh Azza wa Jalla dan menjauhi larangan-Nya.
Adapun ruang lingkup ibadah yaitu segala yang dicintai dan diridhai oleh
Allâh Azza wa Jalla , baik berupa perkataan dan perbuataan, yang lahir
maupun yang batin.
Ibadah akan diterima oleh Allâh dengan dua syarat yaitu ikhlas dan
mutâba’ah. Ikhlas yaitu: mencari ridha Allâh semata, sedangkan
mutâba’ah, yaitu mengikuti Sunnah (ajaran) Nabi Muhammad.
Oleh karena itu orang yang meyakini keesaan hak Allâh untuk diibadahi,
dia akan mempersembahkan segala jenis ibadah hanya kepada-Nya semata. Di
antara jenis-jenis ibadah adalah ketaatan yang mutlak dengan harap dan
takut; kecintaan yang disertai ketundukan mutlak; do'a; niat di dalam
beribadah (ikhlas); menyembelih binatang; takut; tawakal; dan lainnya.
4. MENGENAL NAMA-NAMA DAN SIFAT ALLAH
Yaitu mengimani dan menetapkan seluruh nama-nama Allâh dan
sifat-sifat-Nya, yang tersebut di dalam Kitab al-Qur’ân dan Sunnah yang
shahih, dengan tanpa menyerupakan dengan makhluk.
Allâh Azza wa Jalla berfirman,
وَلِلَّهِ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَىٰ فَادْعُوهُ بِهَا ۖ وَذَرُوا الَّذِينَ
يُلْحِدُونَ فِي أَسْمَائِهِ ۚ سَيُجْزَوْنَ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
"Hanya milik Allâh asmâ-ul husnâ, maka bermohonlah kepada-Nya dengan
menyebut asmâ-ul husnâ itu dan tinggalakanlah orang-orang yang
menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-nama-Nya. Nanti mereka
akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan.
[al-A’râf/7: 180]
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ ۖ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat. [asy-Syûrâ/42:11]
Sesungguhnya Allâh Subhanahu wa Ta’ala adalah Yang Paling Tahu segala
perkara, termasuk yang paling tahu tentang Allâh adalah Allah Azza wa
Jalla sendiri. Allah Azza wa Jalla berfirman :
قُلْ أَأَنْتُمْ أَعْلَمُ أَمِ اللَّهُ
Katakanlah: "Apakah kamu lebih mengetahui ataukah Allâh?" [al-Baqarah/2: 140]
Demikian juga yang paling mengetahui tentang Allâh di antara semua
makhluk adalah Rasul-Nya. Sehingga penjelasan para Rasul tentang Allâh
Azza wa Jalla adalah haq. Sedangkan perkataan orang-orang kafir dan
musyrik tentang Allâh hanyalah dugaan semata. Allâh berfirman :
سُبْحَانَ رَبِّكَ رَبِّ الْعِزَّةِ عَمَّا يَصِفُونَ﴿١٨٠﴾وَسَلَامٌ عَلَى
الْمُرْسَلِينَ﴿١٨١﴾ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ
Maha suci Rabbmu yang mempunyai keperkasaan dari apa yang mereka
katakan, dan kesejahteraan dilimpahkan atas Para rasul, dan segala puji
bagi Allah Rabb seru sekalian alam. [ash-Shâffât/37: 180-182]
Oleh karena itulah mengenal nama dan sifat Allâh Azza wa Jalla hanyalah
lewat jalan wahyu. Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah berkata tentang
sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
إِنَّ اللهَ يَنْزِلُ إِلَى سَمَاءِ الدُّنْيَا
Sesungguhnya Allâh turun ke langit dunia
Atau :
إِنَّ اللهَ يُرَى فِي الْقِيَامَةِ
Sesungguhnya Allâh akan dilihat pada hari kiamat
Dan yang serupa dengan hadits-hadits ini, "Kami beriman kepadanya dan
membenarkannya, dengan tanpa (bertanya) bagaimana, tanpa (menetapkan)
makna (yang lain), tanpa menolak sesuatu darinya. Dan kami mengetahui
bahwa semua yang dibawa oleh Rasûlullâh n adalah haq, kami tidak menolak
Rasûlullâh Shallallahu 'alaihi wa sallam. Dan kami tidak mensifati
Allâh lebih dari yang Dia menyifati diri-Nya dengan tanpa batasan dan
akhir. (Allâh Azza wa Jalla berfirman :)
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ ۖ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat. [asy-Syûrâ/42:11]
Dan kami mengatakan (tentang sifat Allâh) sebagaimana Dia berkata; Kami
menyifati-Nya dengan semua sifat yang Allâh pergunakan untuk menyifati
diri-Nya; Dan kami tidak melanggar batasan itu. Dan penyifatan dari
orang-orang yang menyifati-Nya tidak sampai kepada hakikat-Nya. Kami
beriman kepada al-Qur’ân semuanya, baik yang muhkam (maknanya jelas) dan
mutasyabih (maknanya samar). Dan kami tidak akan menghilangkan dari-Nya
satu sifat pun dari sifat-sifat-Nya karena kekejian yang dibuat-buat,
kami tidak melanggar batas al-Qur’ân dan al-Hadîts. Dan kami tidak
mengetahui hakekatnya keculai dengan membenarkan Rasûlullâh n dan
menetapkan al-Qur’ân.” [Lum’atul I’tiqâd, hlm. 3]
Inilah bagian-bagian mengenal kepada Allâh dan beriman kepada-Nya.
Semoga penjelasan ini menambah ilmu bagi kita semua, dan semoga Allâh
selalu membimbing kita di atas jalan yang lurus. Aamiin.
Nasehat Islami dari Kang Edi akan membantu anda kembali ke ajaran Islam yang sebenarnya, blog ini berisi tentang Nasehat dan kata mutiara
Minggu, 30 Maret 2014
Tawassul Dengan Orang Mati, Syubhat Dan Bantahannya
SYUBHAT DAN BANTAHANNYA
Adapun dalil-dalil yang dijadikan alasan bolehnya tawassul dengan orang yang telah mati, sebagaimana yang antum nukilkan di atas, inilah jawaban kami:
1. Dalil Pertama.
إِذَا تَحَيَّرْتُمْ فِيْ اْلأُمُوْرِ فَاسْتَعِيْنُوْا مِنْ أَهْلِ الْقُبُوْرِ . كَذَا فِي الْبَهْجَةِ السُّنِّيَّةِ للشَّيْخِ مُحمَّدِ بْنِ عَبْدِ اللهِ الْجَانِي ص
Hadits pertama itu artinya:
“Jika kamu bingung di dalam perkara-perkara, maka mintalah tolong dari para penghuni kubur!” Demikian disebutkan di dalam kitab Al-Bahjah As-Sunniyyah karya Syeikh Muhammad bin Abdullah Al-Jani, hal:41.
Bantahan:
Ketahuilah bahwa ini adalah hadits palsu! Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata tentang hadits ini: “Ini palsu dengan kesepakatan ahli ilmu, tidak ada seorangpun dari ulama ahli hadits yang meriwayatkannya.” [Al-Istighatsah Ar-Raddu ‘Alal Bakri, II/483, tahqiq Abdullah bin Dujain As-Sahli, Darul Wathan, Cet:I, Th:1997 M/1417 H]
Abdullah bin Dujain As-Sahli berkata mengomentari perkataan Syeikhul Islam di atas: "Ini adalah hadits palsu, disebutkan oleh Al-‘Ajluni di dalam Kasyful Khafa’ I/85, dan dia menyandarkan kepada Ibnu Kamal Basya; Ibnul Qayyim menjelaskan kelemahannya di dalam Ighatsatul Lahfan I/333, demikian pula Muhammad Nashib Ar-Rifa’I di dalam At-Tawashul Ila Haqiqati At-Tawasul Al-Masyru’ wal Mamnu’ , hal:252, Cet:III, 1399 H, dan lainnya."
Di sini kami perlu mengingatkan dengan sebuah hadits mutawatir tentang bahaya menyampaikan hadits-hadits palsu dan menisbatkan kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, yaitu:
وَمَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ
"Barangsiapa berdusta atasku dengan sengaja maka siapkanlah tempat duduknya di neraka". [Hadits Mutawatir].
2. Adapun hadits kedua
مَنْ زَارَ قَبْرِي وَجَبَتْ لَهُ شَفَاعَتِي (رواه الطبْرانِي و غيره من حديث عمر
"Barangsiapa menziarahi kuburku, dia wajib mendapatkan syafa’atku" [HR. Thabarani dan lainnya, dari hadits Umar Radhiyallahu 'anhu])
Bantahan:
Al-Hafizh Ibnu Abdil Hadi menyatakan tentang hadits ini yang ringkasnya sebagai berikut: "Hadits ini tidak shahih, bahkan hadits ini mungkar menurut para imam hadits, tidak dapat dipakai sebagai hujjah. Para imam hadits telah menjelaskan kelemahan dan kemungkarannya, dan tidaklah berpegang dengan hadits semacam ini kecuali orang-orang yang lemah dalam bidang hadits.
Seandainya hadits ini shahih, maka di dalamnya tidak ada dalil (tentang masalah tawassul), apalagi hadits ini mungkar, dha’if sanadnya, dan tidak dapat dijadikan hujjah. Tidak ada seorangpun dari para hafizh termasyhur yang menshahihkannya, dan tidak ada seorangpun di antara para imam peneliti yang berpegang dengannya. Tetapi yang meriwayatkannya hanyalah semisal (imam) Daruquthni, yang mengumpulkan di dalam kitabnya, yaitu Gharaibus Sunan. Dia mengumpulkan banyak riwayat hadits-hadits dha’if, munkar, bahkan maudhu’ (palsu), dan dia menjelaskan cacat hadits, sebab kelemahannya, dan sebab pengingkarannya pada sebagian tempat. Atau yang meriwayatkan itu semisal Abu Ja’far Al-‘Uqaili dan Abu Ahmad Ibnu ‘Adi di dalam kitab keduanya tentang para perawi yang dha’if (lemah), dan keduanya juga menjelaskan kelemahan hadits dan kemungkarannya. Atau semisal Al-Baihaqi, yang juga menjelaskan kemungkarannya." [Lihat Ash-Sharimul Munki, hal: 21-22]
Di dalam pertanyaan di atas (yang penanya menukil dari kitab An-Nurul Burhani, hal:17, penerbit: Toha Putra, Semarang) disebutkan hadits itu riwayat Thabarani dan lainnya, dari hadits Umar Radhiyallahu 'anhu . Tetapi di dalam bantahan Al-Hafizh Ibnu Abdil Hadi tentang hadits itu disebutkan bahwa bahwa hadits tersebut diriwayatkan oleh:
a). Al-Baihaqi dari Ibnu Umar, di dalam kitab Syu’abul Iman, dan beliau menyatakannya sebagai hadits munkar.
b). Al-Hafizh Abu Ja’far Muhammad bin ‘Amr Al-‘Uqaili dari Ibnu Umar, di dalam kitab Adh-Dhu’afa’ (kitab tentang para perawi dha’if), dan beliau menyatakannya sebagai hadits gharib (yaitu hanya diriwayatkan dengan satu jalan) dan tidak shahih.
c). Al-Hafizh Abu Ahmad Abdullah bin ‘Adi di dalam kitab Al-Kamil fii Ma’rifati Dhu’afa’il Muhadits-tsin wa ‘Ilalil Ahadits (kitab tentang para perawi dha’if dan cacat-cacat hadits)
d). Seorang hafizh besar -tetapi belum diketahi namanya- dari Ibnu Umar, dan beliau menyatakannya sebagai hadits gharib.
e). Al-Bazzar dari Ibnu Umar.
Ad-Daruquthni dari Ibnu Umar. Imam Nawawi berkata mengomentari hadits di atas: “Adapun hadits Ibnu Umar, maka diriwayatkan oleh Al-Bazzar, Ad-Daruquthni, dan Al-Baihaqi dengan dua sanad yang sangat dha’if".
Al-Hafizh Ibnu Abdil Hadi tidak menyebutkan adanya riwayat Thabarani dari hadits Umar. Demikian juga Syeikh Al-Albani ketika menjelaskan kelemahan hadits itu di dalam takhrij beliau terhadap hadits itu di dalam kitab Irwa’ul Ghalil no: 1128, tidak menyebutkan adanya riwayat Thabarani dari hadits Umar. [Lihat Ash-Sharimul Munki, hal: 43; Irwa’ul Ghalil no: 1128]
Maka inilah ringkasan di antara perkataan para ulama setelah meriwayatkan hadits "Barangsiapa menziarahi kuburku, dia wajib mendapatkan syafa’atku" : Al-Baihaqi menyatakan: "Hadits mungkar".
Al-Hafizh Abu Ja’far Muhammad bin ‘Amr Al-‘Uqaili berkata: “Riwayat dalam masalah ini ada kelemahan”.
Al-Hafizh Abul Hasan Al-Qath-than berkata: "Hadits yang diriwayatkan oleh Musa bin Hilal adalah hadits yang tidak shahih."
Kelemahan hadits di atas karena ada para perawi lemah, yang bernama: Musa bin Hilal Al-‘Abdi, seorang perawi majhul (tidak dikenal), lalu dia meriwayatkan sendirian. Juga perawi lain bernama Abdullah bin Umar Al-‘Umari, terkenal buruk hafalan dan sangat lalai. [Lihat Ash-Sharimul Munki; Dha’if Al-Jami’ush Shaghir no:5607; Silsilah Al-Ahadits Adh-Dha’ifah I/64; dan Irwa’ul Ghalil no:1127, 1128].
Kemudian di sini kami nukilkan perkataan Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah tentang hadits- hadits ziarah qubur Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau berkata: “Dan hadits- hadits tentang ziarah ke qubur Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam semuanya dha’if, sedikitpun darinya tidak dijadikan sandaran di dalam agama. Oleh karena inilah hadits- hadits itu tidak diriwayatkan oleh para penyusun kitab-kitab Shahih dan Sunan, tetapi hanyalah diriwayatkan oleh para ulama’ yang meriwayatkan hadits- hadits dha’if, seperti Ad-Daruquthni, Al-Bazzar, dan lainnya”. [Al-Qaidah Al-Jalilah, hal:57; dinukil dari Silsilah Al-Ahadits Adh-Dha’ifah I/123, penjelasan dari hadits no:47]
3. Adapun hadits ketiga.
مَنْ جَاءَنِي زَائِرًا لاَ يَعْمَلُ إِلاَّ زِيَارَتِي كَانَ حَقًّا عَلَيَّ أَنْ أَكُوْنَ لَهُ شَفِيْعُا يَوْمَ الْقِيَامَةِ. صححه ابن السكن واطل ثُمَّ قال: وَ أَوَّلُ مَنْ تَشَفَّعَ بِهِ آدَم q لَمَّا خَرَجَ مِنَ الْجَنَّةِ وَ قَالَ لَهُ جَلَّ جَلاَلُهُ : لَوْ تَشَفَّعْتَ إِلَيْنَا بِمُحَمَّدٍ فِي أَهْلِ السَّمَاوَاتِ وَِ الأَرْضِ لَشَفَعْنَاكَ. قَالَ القَاضِي عِيَاض: وَحَدِيْثُ الشَّفَاعَةِ بَلَغَ التَّوَاتُرَ
"Barangsiapa datang menziarahi-ku, dia tidak melakukan suatu kebutuhan kecuali menziarahi-ku, maka wajib atasku menjadi syafi’ (orang yang memintakan syafa’at/kebaikan untuk orang lain) pada hari kiamat."
Dishahihkan oleh Ibnu as-Sakan, dia membicarakan panjang lebar, lalu berkata: "Dan orang yang pertama kali meminta syafa’at dengan beliau (Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam) adalah Adam Alaihissallam ketika keluar dari sorga, dan Allah berfirman kepadanya: "Seandainya engkau minta syafa’at kepada Kami dengan Muhammad untuk penduduk langit-langit dan bumi, niscaya Kami terima syafa’atnya untukmu".
Al-Qadhi ‘Iyadh berkata: “Hadits syafa’at mencapai (derajat) mutawatir”.
Bantahan:
a). Hadits ini diriwayatkan oleh Thabarani dari Ibnu Umar, dan matannya (isinya) tidak ada hubungannya dengan tawassul!
b). Demikian juga hadits ini “sanadnya lemah, matannya mungkar”. Di dalam sanadnya ada perawi bernama Maslamah bin Salim Al-Juhani, dia perawi majhul (tidak dikenal), meriwayatkan hadits munkar dan palsu, dia juga meriwayatkan hadits ini sendirian. (Lihat Ash-Sharimul Munki, hal:49-50) Dengan demikian, maka penshahihan hadits ini oleh Ibnus Sakan tidak dapat diterima, jika memang benar berita bahwa beliau menshahihkan hadits ini.
c). Adapun perkataan Ibnu as-Sakan: “Dan orang yang pertama kali meminta syafa’at dengan beliau (Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam) adalah Adam Alaihissallam ketika keluar dari sorga...”, maka perkataannya itu tidak dapat diterima, karena hadits yang menyatakan tawasulnya Nabi Adam dengan Nabi Muhammad tersebut adalah hadits palsu, sebagaimana dijelaskan panjang lebar oleh Syeikh Al-Albani di dalam kitab beliau Silsilah Al-Ahadits Adh-Dha’ifah no: 25.
Karena hadits ini begitu terkenal pada sebagian kaum muslimin, maka kami akan menyebutkan artinya dan penjelasan para ulama tentang hadits ini. Hadits itu berbunyi: “Ketika Adam berbuat kesalahan, dia berkata: “Wahai Rabbi! Aku mohon kepadaMu –dengan hak Muhammad- agar Engkau mengampuniku”. Allah berfirman: “Bagaimana Engkau mengetahui Muhammad, padahal Aku belum menciptakannya.” Adam menjawab: “Wahai Rabbi! ketika Engkau telah menciptakanku dengan tanganMu, dan Engkau telah meniupkan ruh (ciptaan) Mu kepadaku, aku mengangkat kepalaku, lalu aku melihat tulisan di kaki-kaki ‘Arsy: Laa ilaaha illa Allah Muhammad Rasulullah. Maka aku mengetahui bahwa Engkau tidak merangkaikan kepada namaMu kecuali makhluk yang paling Engkau cintai. Maka Allah berfirman: “Engkau benar wahai Adam, sesungguhnya dia adalah makhluk yang paling Aku cintai. Berdoalah kepadaKu dengan haknya, sesungguhnya Aku telah mengampunimu. Dan seandainya bukan karena Muhammad niscaya Aku tidak menciptakanmu. ' [Hadits Palsu, riwayat Al-Hakim di dalam Al-Mustadrak II/615; Ibnu ‘Asakir dari Al-Hakim II/323/2; Al-Baihaqi di dalam Dalailun NubuwwahV/488, dari jalan Abul Harits Abdullah bin Muslim Al-Fihri, dari Isma’il Ibnu Maslamah, dari Abdurahman bin Zaid bin Aslam, dari bapaknya, dari kakeknya, dari Umar bin Khaththab dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam]
Al-Hakim berkata: “Isnadnya shahih...”, tetapi perkataannya dibantah oleh Adz-Dzahabi: “Tidak shahih, bahkan palsu. Abdurahman adalah perawi lemah, Abdullah bin Muslim Al-Fihri, aku tidak tahu siapakah dia sesungguhnya.”
Tetapi di dalam kitab Mizanul I’tidal, Adz-Dzahabi berkata tentang hadits ini yang terdapat Abdullah bin Muslim Al-Fihri : “Khabar (hadits) batil, diriwayatkan oleh Al-Baihaqi di dalam Dalailun Nubuwwah”.
Al-Baihaqi berkata: “Abdurahman bin Zaid bin Aslam sendirian meriwayatkan hadits ini, padahal dia seorang yang dha’if.”
Ibnu Katsir menyetujuinya di dalam Tarikhnya II/323.
Demikian juga Ibnu Hajar menyetujui pernyatan Adz-Dzahabi bahwa hadits itu batil.
Hadits itu juga diriwayatkan oleh Thabarani, tetapi juga lewat perawi Abdurahman bin Zaid bin Aslam. Dalam sanad Thabarani juga terdapat perawi majhul, sebagaimana dikatakan oleh Al-Haitsami di dalam Majma’uz Zawaid VIII/253.
d). Adapun perkataan Al-Qadhi ‘Iyadh: “Hadits syafa’at mencapai (derajat) mutawatir”, ini perlu diperiksa lagi, hadits syafa’at yang mana yang beliau kehendaki. Jika yang dimaksud adalah hadits syafa’at bagi kaum mukminin yang masuk neraka sehingga mereka masuk sorga, maka itu benar. Atau yang dimaksud adalah hadits syafa’at al-uzhma yang dimiliki oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, maka itu memang hadits shahih. Tetapi jika yang dimaksud adalah hadits syafa’at Nabi Adam dengan Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam, maka kita semua telah tahu kelemahannya!
4. Adapun hadits pertama yang antum sebutkan, itu bukanlah do’a Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam sholat hajat, tetapi doa yang diajarkan Rasulullah kepada seorang buta yang mendatangi beliau. Lafazh riwayatnya sebagaimana di bawah ini:
عَنْ عُثْمَانَ بْنِ حُنَيْفٍ أَنَّ رَجُلاً ضَرِيرَ الْبَصَرِ أَتَى النَّبِيَّ فَقَالَ ادْعُ الهَت أَنْ يُعَافِيَنِي قَالَ إِنْ شِئْتَ دَعَوْتُ وَإِنْ شِئْتَ صَبَرْتَ فَهُوَ خَيْرٌ لَكَ قَالَ فَادْعُهُ قَالَ فَأَمَرَهُ أَنْ يَتَوَضَّأَ فَيُحْسِنَ وُضُوءَهُ وَيَدْعُوَ بِهَذَا الدُّعَاءِ اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ وَأَتَوَجَّهُ إِلَيْكَ بِنَبِيِّكَ مُحَمَّدٍ نَبِيِّ الرَّحْمَةِ إِنِّي تَوَجَّهْتُ بِكَ إِلَى رَبِّي فِي حَاجَتِي هَذِهِ لِتُقْضَى لِيَ اللَّهُمَّ فَشَفِّعْهُ فِيَّ
"Dari Utsman bin Hunaif, bahwa seorang lelaki buta mendatangi Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, lalu berkata: “Berdoalah kepada Allah agar Dia menyembuhkanku”. Beliau bersabda: “Jika engkau mau aku akan berdoa, tetapi jika engkau mau bersabar, itu lebih baik bagimu.” Lelaki tadi berkata: “Doakanlah kepadaNya”. Maka beliau memerintahkannya untuk berwudhu’ dengan membaguskan wudhu’nya, (pada riwayat lain: lalu shalat dua raka’at), lalu berdoa dengan doa ini: “Wahai Allah, sesungguhnya aku memohon kepadaMu, dan aku menghadapMu dengan NabiMu, Muhammad, Nabi pembawa rahmat. Sesungguhnya aku menghadap Rabbku denganmu (Nabi Muhammad) di dalam kebutuhanku ini, agar dipenuhi untukku. Wahai Allah, oleh karena itu terimalah permintaan beliau (Nabi Muhammad) untukku. (pada riwayat lain: maka lelaki tadi lalu melaksanakan, kemudian dia sembuh)."
Hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad, Tirmidzi no:3578, Nasa-i di dalam ‘Amalul Yaum wal Lailah no:659, Ibnu Majah, Thabarani di dalam Al-Kabir, Al-Hakim di dalam Al-Mustadrak. Dishahihkan oleh Al-Albani di dalam At-Tawassul Anwa’uhu wa Ahkamuhu, hal: 75-76.
Perkataan di dalam doa lelaki buta tersebut: “aku menghadap-Mu dengan NabiMu”, bisa memiliki beberapa kemungkinan makna:
a). Aku menghadapMu dengan –dzat/jasad- NabiMu
b). Aku menghadapMu dengan –jah (kedudukan)- NabiMu
c). Aku menghadapMu dengan –doa- NabiMu
Oleh karena itu harus ditentukan makna yang dimaksudkan perkataan tersebut berdasarkan dalil-dalil yang ada.
Orang-orang Sufi berdalil dengan hadits ini tentang bolehnya tawassul dengan dzat dan jah (kedudukan) Nabi, mereka tidak menyebutkan dalil kecuali kisah Utsman bin Hunaif, tambahan pada sebagian riwayat pada hadits di atas. Tetapi tambahan kisah ini dha’if sebagaimana dijelaskan oleh Syeikh Al-Albani di dalam At-Tawassul, hal: 92-96.
Sedangkan Salafus Shalih menjadikan hadits ini sebagai dalil tawassul dengan doa orang shalih yang masih hidup, dengan dalil-dalil sebagai berikut:
a). Bahwa orang buta itu mendatangi Nabi, agar beliau mendoakannya, dengan dalil perkataannya di dalam hadits di atas: “Berdoalah kepada Allah agar Dia menyembuhkanku”.
b). Bahwa Nabi menjanjikan doa untuknya, namun beliau juga menasehatkan untuk bersabar, yang itu lebih utama. Yaitu sabda beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam : “Jika engkau mau aku akan berdoa, tetapi jika engkau mau bersabar, itu lebih baik bagimu.”
c). Orang buta itu tetap meminta Nabi untuk mendoakannya, yaitu dengan perkataannya: “Doakanlah kepadaNya”. Sedangkan beliau pasti memenuhi janjinya, beliau telah menjanjikan untuk mendoakannya.
d). Bahwa para ulama menyebutkan hadits ini sebagai mu’jizat beliau dan doa beliau yang mustajab.
e). Bahwa tawassul dengan doa Nabi adalah tawassul yang disyari’atkan, sesuai dengan nash-nash Al-Kitab dan As-Sunah serta perbuatan para sahabat. Maka seandainya tawassul dengan dzat atau jah Nabi disyari’atkan, tentulah para sahabat tidak akan meninggalkannya.
Dan lain-lain. Lihat Al-Istighatsah Ar-Raddu ‘Alal Bakri, hal:391-392, tahqiq: Abdullah bin Dajin As-Sahli; At-Tawassul karya Al-Albani, hal: 76-83.
5. Hadits kedua yang antum sebutkan, artinya adalah: “Aku mendengar shalawat yang dilakukan oleh orang-orang yang mencintaiku, dan aku mengenal mereka. Sedangkan shalawat selain mereka diperlihatkan kepadaku.” Itu adalah jawaban beliau n , ketika ditanya: “Bagaimana pendapat anda terhadap shalawat yang dilakukan oleh orang-orang yang bershalawat yang tidak ada di hadapanmu, dan orang-orang yang akan datang setelah anda. Bagaimana keadaan keduanya di sisi anda?”
Bantahan
a). Hadits itu tidak disebutkan siapa yang meriwayatkannya dan bagaimana derajatnya, sehingga tidak dapat diterima sebagai hujjah!
b). Seandainya hadits itu shahih, maka di dalamnya tidak ada hujjah yang membolehkan tawassul dengan dzat atau jah Nabi n .
6. Kisah Bilal yang antum sebutkan, yang disebutkan dishahihkan oleh Imam Malik, bahwa Bilal bin Harits Radhiyallahu 'anhu ziarah ke kuburan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, di situ beliau berdo’a:
يَا رَسُوْلَ اللهِ اِسْتَسْقِ لأُمَّتِكَ فإِنّهُمْ هَلَكُوْا
"Wahai Rasulullah, mohonlah hujan untuk umatmu, karena sesungguhnya mereka binasa".
Kemudian Bilal tidur dan bermimpi didatangi oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yang berkata: “Hai Bilal, Insya Allah umatku akan diberikan hujan” ketika Bilal terjaga, hujan sudah turun.
Bantahan:
Kisah di atas perlu dicek kebenarannya, benarkah Imam Malik menshahihkan nya?
Kisah seperti itu disebutkan oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar di dalam Fathul Bari II/495-496 sebagai berikut:
"Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan dengan sanad yang shahih dari riwayat Abi Shalih As-Saman dari Malik Ad-Dar –dia adalah penjaga (baitul mal) Umar- , dia berkata: “Orang-orang tertimpa paceklik di zaman Umar, kemudian datanglan seorang laki-laki ke kubur Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, lalu berkata: “Wahai Rasulullah, mohonkanlah hujan untuk umatmu, karena sesungguhnya mereka telah binasa (terkena paceklik)”. Maka lelaki tadi bermimpi, didatangi seseorang dan dikatakan kepadanya: “Datanglah kepada Umar...”Al-Hadits. Dan Saif telah meriwayatkan di dalam Al-Futuh, bahwa orang yang bermimpi tersebut adalah Bilal bin Al-Harits Al-Muzni, salah seorang sahabat”.
Tetapi kisah ini dibantah oleh Syeikh Al-Albani di dalam At-Tawassul, hal : 131-134, secara ringkas sebagai berikut:
a). Tidak dapat diterima keshahihan riwayat ini, karena Malik Ad-Dar adalah perawi yang tidak dikenal (sifat) ‘adalah dan kecermatannya, sehingga riwayat ini dha’if. Sedangkan perkataan Al-Hafizh Ibnu Hajar di atas: “Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan dengan sanad yang shahih dari riwayat Abi Shalih”, tidak berarti riwayat itu shahih seluruh sanadnya, tetapi artinya sanadnya shahih sampai Abi Shalih.
b). Hal itu bertentangan dengan apa yang telah pasti di dalam agama, yaitu bahwa disukainya shalat istisqa’ untuk mohon hujan dari langit, yang ini disebutkan d idalam banyak hadits dan dipegangi oleh banyak ulama.
c). Seandainya riwayatnya shahih, juga tidak dapat diterima, karena orang yang meminta itu tidak diketahui namanya. Adapun disebutnya nama Bilal pada riwayat Saif (Ibnu Umar At-Tamimi) tidak berharga sedikitpun, karena Saif ini disepakati dha’ifnya oleh para ahli hadits.
d). Riwayat ini tidaklah ada di dalamnya tawassul dengan dzat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, tetapi hanyalah permintaan doa dari beliau agar Allah menurunkan hujan kepada umatnya. Tawassul dengan ini berbeda, walaupun minta dari Nabi setelah wafatnya juga tidak boleh.”
Syeikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz menyatakan: “Riwayat ini -seandainya shahih sebagaimana dikatakan oleh pensyarah (Al-Hafizh Ibnu Hajar)- bukanlah hujjah atas bolehnya minta hujan (kepada Allah) lewat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam setelah wafat beliau. Karena orang yang meminta itu majhul (tidak dikenal), dan karena perbuatan para sahabat menyelisihinya, sedangkan mereka adalah orang-orang yang paling mengetahui terhadap agama.
Tidak ada seorangpun dari mereka mendatangi kubur nabi –atau kubur lainnya- untuk minta hujan. Bahkan ketika terjadi kekeringan, Umar tidak meminta lewat Nabi (setelah wafat beliau), tetapi memohon hujan kepada Allah lewat perantaraan Abbas, dan tidak ada seorangpun dari para sahabat yang mengingkari Umar, maka hal itu menunjukkan bahwa itu adalah haq. Sedangkan yang dilakukan oleh orang tak dikenal itu merupakan kemungkaran, dan sarana menuju kemusyrikan, bahkan sebagian ulama menghukuminya termasuk jenis-jenis kemusyrikan.
Adapun di dalam riwayat Saif yang menyatakan bahwa nama orang yang meminta itu adalah Bilal bin Al-Harits, maka tentang keshahihannya perlu dikoreksi, dan pensyarah (Al-Hafizh Ibnu Hajar) tidak menyebutkan sanad Saif tersebut. Dan seandainya shahih-pun tidak dapat menjadi hujjah, karena perbuatan para pembesar sahabat menyelisihinya, sedangkan mereka adalah orang-orang yang paling mengetahui terhadap Rasulullah n dan agama beliau daripada selain mereka. Wallahu A’lam”. (Fote note Fathul Bari II/495)
Adapun hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam :
مَنْ رَآنِي فِي الْمَنَامِ فَقَدْ رَآنِي فَإِنَّ الشَّيْطَانَ لاَ يَتَمَثَّلُ بِي. رواه أبو هريرة
"Barangsiapa melihatku di dalam mimpi, maka sesungguhnya dia telah melihatku, karena setan tidak dapat menyerupaiku".
Ini memang hadits shahih, tetapi tidak berarti bahwa setiap orang yang mengaku bermimpi bertemu dengan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berarti dia benar-benar bertemu dengan beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam. Bisa jadi dia berdusta, atau bisa jadi setan mendatanginya, bukan sebagaimana wujud Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, lalu setan mengaku bahwa dia adalah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, sedangkan orang yang bermimpi itu tidak pernah berjumpa dengan Nabi, juga tidak pernah mempelajari Sunnahnya, bagaimana dia dapat mengetahui beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam ?!
7. Adapun kisah pembuatan jendela di atas kubur Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam yang diriwayatkan oleh Ad-Darimi tersebut, bantahan kami adalah sebagai berikut (Istighatsah, hal:402-404):
a). Riwayat ini dha’if, karena beberapa perkara:
- Di dalam sanadnya ada perawi dha’if bernama Sa’id bin Zaid Al-Azdi.
- Juga ada perawi dha’if lainnya bernama Amr bin Malik An-Nukri.
- Ada perawi bernama Abu Nu’man, dia berubah hafalannya karena tua, dan tidak diketahui apakah Ad-Darimi mendengar darinya sebelum berubah hafalan atau sesudahnya, sehingga riwayat ini tertolak.
- Kisah itu hanyalah dari ‘Aisyah, tidak dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, seandainya shahih bukan merupakan hujjah, karena bisa jadi hanyalah ijtihad (pendapat) beliau semata.
b). Syeikhul Islam rahimahullah berkata: “Adapun apa yang diriwayatkan dari Aisyah Radhiyallahu 'anha , yaitu pembuatan lobang (pada atap rumah) dari kubur Nabi ke langit agar supaya hujan turun, maka itu tidak shahih, sanadnya tidak sah. Termasuk yang menjelaskan kedustaannya adalah bahwa di zaman kehidupan Aisyah Radhiyallahu 'anha, rumah itu tidaklah ada lobangnya, bahkan tetap sebagaimana di zaman Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, sebagian beratap, sebagiannya terbuka, dan sinar matahari turun padanya”.
c). Di dalam tarikh (sejarah) Islam tidak dikenal tahun yang disebut dengan ‘amul fatqi (tahun fatqi).
d). Seandainya riwayat ini shahih, maka di dalamnya tidak ada dalil bolehnya tawassul dengan orang yang telah mati! Tetapi yang terjadi hanyalah membukakan atap untuk kubur, agar rahmat Allah turun padanya.
8. Riwayat seorang Arab yang mendatangi kubur Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, yang berdoa sambil berdiri, arti doanya adalah: “Wahai Allah, sesungguhnya Engkau telah memerintahkan untuk memerdekakan budak, maka inilah habibMu (kecintaanMu/Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam), dan saya budakMu (hambaMu), maka merdekakanlah (selamatkanlah) aku dari neraka di atas kubur habibMu. Maka ada seseorang yang berseru tanpa kelihatan orangnya: “Wahai engkau, engkau minta kemerdekaan (keselamatan) -dari neraka- hanya untukmu sendiri, kenapa engkau tidak minta kemerdekaan (keselamatan) -dari neraka- untuk seluruh kaum muslimin. Pergilah! Sesungguhnya Aku telah memerdekakanmu.”
Bantahan:
a). Riwayat itu bukan ayat Al-Qur’an, bukan hadits Nabi yang shahih, dan bukan ijma’ , maka tidak dapat diterima sebagai hujjah. Karena Ahlus Sunnah wal Jama’ah tidak berhujjah dengan hikayat-hikayat! Apalagi yang tidak jelas kebenarannya!
b). Kisah itu belum tentu shahih, bagaimana kita berhujjah dengannya?!
c). Seandainya kisah itu shahih, maka orang yang berseru –yang tanpa kelihatan orangnya- itu tidak diketahui siapa dia, mungkin sekali dia adalah setan yang berusaha menjerumuskan manusia ke dalam kesesatan. Kalau bukan setan, siapa dia? Apa dalilnya? Hal ini adalah masalah ghaib, yang kita tidak dapat berhujjah kecuali dengan Al-Kitab dab As-Sunnah.
d). Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: “Hikayat-hikayat ini yang terjadi pada orang-orang yang minta tolong kepada sebagian manusia yang telah mati atau orang-orang yang tidak ada di hadapannya, dan memang mereka mendapatkan kebiasaan-kebiasaan itu dilakukan oleh sebagian orang yang memiliki sebagian ilmu agama, melakukan ibadah dan zuhd, tetapi mereka tidak memiliki hadits yang diriwayatkan, dan tidak memiliki nukilan dari sahabat, tabi’i, dan tidak juga perkataan imam yang diridhai (ulama yang terpercaya-Red). Oleh karena inilah ketika orang-orang yang memiliki keutamaan di antara mereka diingatkan, merekapun sadar dan mereka mengetahui bahwa yang mereka lakukan itu bukanlah dari agama Islam, bahkan itu adalah menyerupai para penyembah berhala”. (Al-Istighatsah, hal:375)
9. a) Riwayat Imam Syafi’i sering sekali mendatangi kubur Imam Abi Hanifah, lalu memberi salam lalu berdo’a kepada Allah dengan bertawassulkan Abi Hanifah dalam usaha terkabulnya do’a.
b) Demikian juga Imam Ahmad bin Hambal berdo’a bertawassulkan Imam Syafi’i, sampai-sampai anaknya yang bernama Abdullah bin Ahmad bin Hambal menjadi heran, dan Imam berkata kepadanya: “Hai Abdullah, Imam Syafi’i bagi manusia seperti matahari, bagi badan seperti azimat yang bisa menjadi sebab keselamatan, dan seperti obat yang menjadi sebab kesembuhan”.
c) Dan Imam Syafi’i ketika diberitahu bahwa penduduk Magrib apabila mempunyai hajat, mereka berdo’a kepada Allah dengan bertawassulkan Imam Malik, beliau tidak mengingkari bahkan membenarkan”.
Bantahan:
a). Benarkah kisah-kisah tersebut dari para imam itu? Tidak cukup kisah itu tertulis di kitab-kitab, lalu diambil dan dipercayai! Walaupun seandainya kitab-kitab yang memuat kisah-kisah tersebut ditulis oleh orang yang terpercaya, namun dari siapa dia mengambil riwayat itu? Kebenaran kisah-kisah itu harus dibuktikan dengan dua hal, pertama: adanya sanad, dan kedua: sanadnyapun harus shahih!
b). Seandainya kisah-kisah itu benar, maka juga tidak dapat diterima hujjah dalam masalah agama. Karena hujjah dalam agama adalah Al-Kitab, As-Sunnah, dan Ijma’.
10. Arti hadits Abu Hurairah itu adalah: “Abu Razin berkata: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya jalanku melewati (kubur) orang-orang yang telah mati. Adakah perkataan bagiku, yang akan aku katakan jika aku melewati mereka? Beliau menjawab: “Katakanlah: Semoga keselamatan atas kamu wahai penduduk kubur, dari kalangan kaum muslimin dan mukminin. Kamu bagi kami adalah orang-orang yang telah terdahulu (meninggal), sedangkan kami bagi kamu adalah orang-orang yang mengikuti (akan meninggal), dan insya Allah, kami akan menyusul kamu”. Abu Razin bertanya: “Apakah mereka mendengar?” Beliau menjawab: “Mereka mendengar, tetapi tidak mampu menjawab –yaitu jawaban yang dapat didengar oleh orang yang hidup-. Wahai Abu Razin, tidakkah engkau suka para malaikat sejumlah mereka menjawab (salam)mu?
Bantahan:
a). Hadits ini munkar, sebagaimana dijelaskan oleh Syeikh Al-Albani di dalam Silsilah Al-Ahadits Adh-Dha’ifah no: 5225
b). Seandainya shahihpun, di dalamnya tidak ada dalil tentang tawassul dengan orang yang telah mati, paling tinggi hanyalah sebagai dalil bahwa orang yang mati itu mendengar, tetapi bukan berarti boleh dijadikan sarana tawassul atau tempat meminta!
11. Hadits ‘Aisyah itu diriwayatkan imam Muslim, sebagai berikut:
قُلْتُ كَيْفَ أَقُولُ لَهُمْ يَا رَسُولَ اللهِ قَالَ قُولِي السَّلاَمُ عَلَى أَهْلِ الدِّيَارِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُسْلِمِينَ وَيَرْحَمُ اللهُ الْمُسْتَقْدِمِينَ مِنَّا وَالْمُسْتَأْخِرِينَ وَإِنَّا إِنْ شَاءَ اللهُ بِكُمْ لَلاَحِقُونَ
"Aku (‘Aisyah) berkata: “Apa yang akan aku katakan kepada mereka wahai Rasulullah? Beliau menjawab: “Katakanlah: Semoga keselamatan atas kamu wahai penduduk kubur, dari kalangan kaum muslimin dan mukminin. Dan mudah-mudahan Allah merahmati orang-orang yang telah terdahulu (meninggal) dari kami dan orang-orang yang akhir (belum meninggal), dan insya Allah, kami akan menyusul kamu"
Bantahan:
a). Hadits ini shahih, tetapi di dalamnya tidak ada dalil tentang tawassul dengan orang yang telah mati, paling tinggi hanyalah sebagai dalil bahwa orang yang mati itu mendengar, sebagaimana di atas.
b). Tentang masalah orang yang mati itu mendengar atau tidak adalah perkara yang diperselisihkan para ulama, tetapi yang rajih (lebih kuat) adalah bahwa pada asalnya orang mati tidak mendengar. [Lihat Majalah As-Sunnah Edisi 10/Th.IV/1421-2000, hal:30-38, rubrik:Aqidah]
c). Kalau ada yang mengatakan: “Ketika berziarah apa gunanya memberi salam kepada orang-orang yang telah mati, jika mereka tidak mendengar?”. Maka jawabnya adalah: Bahwa hal itu merupakan doa untuk mereka, dan merupakan perkara ta’abbudiyyah, yaitu perkara ibadah yang kita harus taat, walaupun tidak memahami hikmahnya. Sebagaimana jika kita shalat menjadi makmum, maka di akhir shalat kita mengucapkan salam dengan pelan dan salam itu kita niatkan untuk para malaikat pencatat amalan, untuk imam, dan untuk seluruh makmum, walaupun mereka tidak mendengar. Dan hal itu umum di dalam bahasa Arab, tidak tersembunyi bagi orang-orang yang tahu. [Lihat Ayatul Bayinat fii Adami Sama’il Amwat, hal:95, karya Al-Alusi, tahqiq Syeikh Al-Albani]
d). Seandainya hadits itu menunjukkan orang mati dapat mendengar, tetapi di dalamnya juga tidak ada dalil bolehnya tawassul dengan mereka. Wallahu A’lam.
Demikianlah jawaban yang kami sampaikan mudah-mudahan dapat menghilangkan syubhat-syubhat yang ada pada penanya khususnya, dan kaum muslimin pada umumnya.
KESIMPULAN:
Di sini kami ringkaskan jawaban kami di atas, yaitu:
1. Tawassul, yaitu berdoa kepada Allah dengan perantara, ada yang disyari’atkan dan ada yang terlarang.
2. Tawassul yang disyari’atkan, yaitu: bertawassul dengan: a) Nama-nama Allah dan sifat-sufatNya. b) iman dan amal shalih orang yang berdoa. c) Doa orang shalih yang masih hidup. Adapun yang terlarang adalah yang tidak ada dalilnya, seperti: tawassul dengan orang yang telah mati, dengan dzat atau kehormatan Nabi, orang shalih, dan lainnya.
3. Seluruh dalil yang dipakai oleh orang-orang yang membolehkan tawassul dengan orang yang telah mati, ada dua kemungkinan:
a) Dalil itu lemah.
b) Dalil itu shahih, tetapi difahami dengan keliru.
Wallahu A’lam bish Shawab.
Adapun dalil-dalil yang dijadikan alasan bolehnya tawassul dengan orang yang telah mati, sebagaimana yang antum nukilkan di atas, inilah jawaban kami:
1. Dalil Pertama.
إِذَا تَحَيَّرْتُمْ فِيْ اْلأُمُوْرِ فَاسْتَعِيْنُوْا مِنْ أَهْلِ الْقُبُوْرِ . كَذَا فِي الْبَهْجَةِ السُّنِّيَّةِ للشَّيْخِ مُحمَّدِ بْنِ عَبْدِ اللهِ الْجَانِي ص
Hadits pertama itu artinya:
“Jika kamu bingung di dalam perkara-perkara, maka mintalah tolong dari para penghuni kubur!” Demikian disebutkan di dalam kitab Al-Bahjah As-Sunniyyah karya Syeikh Muhammad bin Abdullah Al-Jani, hal:41.
Bantahan:
Ketahuilah bahwa ini adalah hadits palsu! Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata tentang hadits ini: “Ini palsu dengan kesepakatan ahli ilmu, tidak ada seorangpun dari ulama ahli hadits yang meriwayatkannya.” [Al-Istighatsah Ar-Raddu ‘Alal Bakri, II/483, tahqiq Abdullah bin Dujain As-Sahli, Darul Wathan, Cet:I, Th:1997 M/1417 H]
Abdullah bin Dujain As-Sahli berkata mengomentari perkataan Syeikhul Islam di atas: "Ini adalah hadits palsu, disebutkan oleh Al-‘Ajluni di dalam Kasyful Khafa’ I/85, dan dia menyandarkan kepada Ibnu Kamal Basya; Ibnul Qayyim menjelaskan kelemahannya di dalam Ighatsatul Lahfan I/333, demikian pula Muhammad Nashib Ar-Rifa’I di dalam At-Tawashul Ila Haqiqati At-Tawasul Al-Masyru’ wal Mamnu’ , hal:252, Cet:III, 1399 H, dan lainnya."
Di sini kami perlu mengingatkan dengan sebuah hadits mutawatir tentang bahaya menyampaikan hadits-hadits palsu dan menisbatkan kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, yaitu:
وَمَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ
"Barangsiapa berdusta atasku dengan sengaja maka siapkanlah tempat duduknya di neraka". [Hadits Mutawatir].
2. Adapun hadits kedua
مَنْ زَارَ قَبْرِي وَجَبَتْ لَهُ شَفَاعَتِي (رواه الطبْرانِي و غيره من حديث عمر
"Barangsiapa menziarahi kuburku, dia wajib mendapatkan syafa’atku" [HR. Thabarani dan lainnya, dari hadits Umar Radhiyallahu 'anhu])
Bantahan:
Al-Hafizh Ibnu Abdil Hadi menyatakan tentang hadits ini yang ringkasnya sebagai berikut: "Hadits ini tidak shahih, bahkan hadits ini mungkar menurut para imam hadits, tidak dapat dipakai sebagai hujjah. Para imam hadits telah menjelaskan kelemahan dan kemungkarannya, dan tidaklah berpegang dengan hadits semacam ini kecuali orang-orang yang lemah dalam bidang hadits.
Seandainya hadits ini shahih, maka di dalamnya tidak ada dalil (tentang masalah tawassul), apalagi hadits ini mungkar, dha’if sanadnya, dan tidak dapat dijadikan hujjah. Tidak ada seorangpun dari para hafizh termasyhur yang menshahihkannya, dan tidak ada seorangpun di antara para imam peneliti yang berpegang dengannya. Tetapi yang meriwayatkannya hanyalah semisal (imam) Daruquthni, yang mengumpulkan di dalam kitabnya, yaitu Gharaibus Sunan. Dia mengumpulkan banyak riwayat hadits-hadits dha’if, munkar, bahkan maudhu’ (palsu), dan dia menjelaskan cacat hadits, sebab kelemahannya, dan sebab pengingkarannya pada sebagian tempat. Atau yang meriwayatkan itu semisal Abu Ja’far Al-‘Uqaili dan Abu Ahmad Ibnu ‘Adi di dalam kitab keduanya tentang para perawi yang dha’if (lemah), dan keduanya juga menjelaskan kelemahan hadits dan kemungkarannya. Atau semisal Al-Baihaqi, yang juga menjelaskan kemungkarannya." [Lihat Ash-Sharimul Munki, hal: 21-22]
Di dalam pertanyaan di atas (yang penanya menukil dari kitab An-Nurul Burhani, hal:17, penerbit: Toha Putra, Semarang) disebutkan hadits itu riwayat Thabarani dan lainnya, dari hadits Umar Radhiyallahu 'anhu . Tetapi di dalam bantahan Al-Hafizh Ibnu Abdil Hadi tentang hadits itu disebutkan bahwa bahwa hadits tersebut diriwayatkan oleh:
a). Al-Baihaqi dari Ibnu Umar, di dalam kitab Syu’abul Iman, dan beliau menyatakannya sebagai hadits munkar.
b). Al-Hafizh Abu Ja’far Muhammad bin ‘Amr Al-‘Uqaili dari Ibnu Umar, di dalam kitab Adh-Dhu’afa’ (kitab tentang para perawi dha’if), dan beliau menyatakannya sebagai hadits gharib (yaitu hanya diriwayatkan dengan satu jalan) dan tidak shahih.
c). Al-Hafizh Abu Ahmad Abdullah bin ‘Adi di dalam kitab Al-Kamil fii Ma’rifati Dhu’afa’il Muhadits-tsin wa ‘Ilalil Ahadits (kitab tentang para perawi dha’if dan cacat-cacat hadits)
d). Seorang hafizh besar -tetapi belum diketahi namanya- dari Ibnu Umar, dan beliau menyatakannya sebagai hadits gharib.
e). Al-Bazzar dari Ibnu Umar.
Ad-Daruquthni dari Ibnu Umar. Imam Nawawi berkata mengomentari hadits di atas: “Adapun hadits Ibnu Umar, maka diriwayatkan oleh Al-Bazzar, Ad-Daruquthni, dan Al-Baihaqi dengan dua sanad yang sangat dha’if".
Al-Hafizh Ibnu Abdil Hadi tidak menyebutkan adanya riwayat Thabarani dari hadits Umar. Demikian juga Syeikh Al-Albani ketika menjelaskan kelemahan hadits itu di dalam takhrij beliau terhadap hadits itu di dalam kitab Irwa’ul Ghalil no: 1128, tidak menyebutkan adanya riwayat Thabarani dari hadits Umar. [Lihat Ash-Sharimul Munki, hal: 43; Irwa’ul Ghalil no: 1128]
Maka inilah ringkasan di antara perkataan para ulama setelah meriwayatkan hadits "Barangsiapa menziarahi kuburku, dia wajib mendapatkan syafa’atku" : Al-Baihaqi menyatakan: "Hadits mungkar".
Al-Hafizh Abu Ja’far Muhammad bin ‘Amr Al-‘Uqaili berkata: “Riwayat dalam masalah ini ada kelemahan”.
Al-Hafizh Abul Hasan Al-Qath-than berkata: "Hadits yang diriwayatkan oleh Musa bin Hilal adalah hadits yang tidak shahih."
Kelemahan hadits di atas karena ada para perawi lemah, yang bernama: Musa bin Hilal Al-‘Abdi, seorang perawi majhul (tidak dikenal), lalu dia meriwayatkan sendirian. Juga perawi lain bernama Abdullah bin Umar Al-‘Umari, terkenal buruk hafalan dan sangat lalai. [Lihat Ash-Sharimul Munki; Dha’if Al-Jami’ush Shaghir no:5607; Silsilah Al-Ahadits Adh-Dha’ifah I/64; dan Irwa’ul Ghalil no:1127, 1128].
Kemudian di sini kami nukilkan perkataan Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah tentang hadits- hadits ziarah qubur Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau berkata: “Dan hadits- hadits tentang ziarah ke qubur Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam semuanya dha’if, sedikitpun darinya tidak dijadikan sandaran di dalam agama. Oleh karena inilah hadits- hadits itu tidak diriwayatkan oleh para penyusun kitab-kitab Shahih dan Sunan, tetapi hanyalah diriwayatkan oleh para ulama’ yang meriwayatkan hadits- hadits dha’if, seperti Ad-Daruquthni, Al-Bazzar, dan lainnya”. [Al-Qaidah Al-Jalilah, hal:57; dinukil dari Silsilah Al-Ahadits Adh-Dha’ifah I/123, penjelasan dari hadits no:47]
3. Adapun hadits ketiga.
مَنْ جَاءَنِي زَائِرًا لاَ يَعْمَلُ إِلاَّ زِيَارَتِي كَانَ حَقًّا عَلَيَّ أَنْ أَكُوْنَ لَهُ شَفِيْعُا يَوْمَ الْقِيَامَةِ. صححه ابن السكن واطل ثُمَّ قال: وَ أَوَّلُ مَنْ تَشَفَّعَ بِهِ آدَم q لَمَّا خَرَجَ مِنَ الْجَنَّةِ وَ قَالَ لَهُ جَلَّ جَلاَلُهُ : لَوْ تَشَفَّعْتَ إِلَيْنَا بِمُحَمَّدٍ فِي أَهْلِ السَّمَاوَاتِ وَِ الأَرْضِ لَشَفَعْنَاكَ. قَالَ القَاضِي عِيَاض: وَحَدِيْثُ الشَّفَاعَةِ بَلَغَ التَّوَاتُرَ
"Barangsiapa datang menziarahi-ku, dia tidak melakukan suatu kebutuhan kecuali menziarahi-ku, maka wajib atasku menjadi syafi’ (orang yang memintakan syafa’at/kebaikan untuk orang lain) pada hari kiamat."
Dishahihkan oleh Ibnu as-Sakan, dia membicarakan panjang lebar, lalu berkata: "Dan orang yang pertama kali meminta syafa’at dengan beliau (Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam) adalah Adam Alaihissallam ketika keluar dari sorga, dan Allah berfirman kepadanya: "Seandainya engkau minta syafa’at kepada Kami dengan Muhammad untuk penduduk langit-langit dan bumi, niscaya Kami terima syafa’atnya untukmu".
Al-Qadhi ‘Iyadh berkata: “Hadits syafa’at mencapai (derajat) mutawatir”.
Bantahan:
a). Hadits ini diriwayatkan oleh Thabarani dari Ibnu Umar, dan matannya (isinya) tidak ada hubungannya dengan tawassul!
b). Demikian juga hadits ini “sanadnya lemah, matannya mungkar”. Di dalam sanadnya ada perawi bernama Maslamah bin Salim Al-Juhani, dia perawi majhul (tidak dikenal), meriwayatkan hadits munkar dan palsu, dia juga meriwayatkan hadits ini sendirian. (Lihat Ash-Sharimul Munki, hal:49-50) Dengan demikian, maka penshahihan hadits ini oleh Ibnus Sakan tidak dapat diterima, jika memang benar berita bahwa beliau menshahihkan hadits ini.
c). Adapun perkataan Ibnu as-Sakan: “Dan orang yang pertama kali meminta syafa’at dengan beliau (Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam) adalah Adam Alaihissallam ketika keluar dari sorga...”, maka perkataannya itu tidak dapat diterima, karena hadits yang menyatakan tawasulnya Nabi Adam dengan Nabi Muhammad tersebut adalah hadits palsu, sebagaimana dijelaskan panjang lebar oleh Syeikh Al-Albani di dalam kitab beliau Silsilah Al-Ahadits Adh-Dha’ifah no: 25.
Karena hadits ini begitu terkenal pada sebagian kaum muslimin, maka kami akan menyebutkan artinya dan penjelasan para ulama tentang hadits ini. Hadits itu berbunyi: “Ketika Adam berbuat kesalahan, dia berkata: “Wahai Rabbi! Aku mohon kepadaMu –dengan hak Muhammad- agar Engkau mengampuniku”. Allah berfirman: “Bagaimana Engkau mengetahui Muhammad, padahal Aku belum menciptakannya.” Adam menjawab: “Wahai Rabbi! ketika Engkau telah menciptakanku dengan tanganMu, dan Engkau telah meniupkan ruh (ciptaan) Mu kepadaku, aku mengangkat kepalaku, lalu aku melihat tulisan di kaki-kaki ‘Arsy: Laa ilaaha illa Allah Muhammad Rasulullah. Maka aku mengetahui bahwa Engkau tidak merangkaikan kepada namaMu kecuali makhluk yang paling Engkau cintai. Maka Allah berfirman: “Engkau benar wahai Adam, sesungguhnya dia adalah makhluk yang paling Aku cintai. Berdoalah kepadaKu dengan haknya, sesungguhnya Aku telah mengampunimu. Dan seandainya bukan karena Muhammad niscaya Aku tidak menciptakanmu. ' [Hadits Palsu, riwayat Al-Hakim di dalam Al-Mustadrak II/615; Ibnu ‘Asakir dari Al-Hakim II/323/2; Al-Baihaqi di dalam Dalailun NubuwwahV/488, dari jalan Abul Harits Abdullah bin Muslim Al-Fihri, dari Isma’il Ibnu Maslamah, dari Abdurahman bin Zaid bin Aslam, dari bapaknya, dari kakeknya, dari Umar bin Khaththab dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam]
Al-Hakim berkata: “Isnadnya shahih...”, tetapi perkataannya dibantah oleh Adz-Dzahabi: “Tidak shahih, bahkan palsu. Abdurahman adalah perawi lemah, Abdullah bin Muslim Al-Fihri, aku tidak tahu siapakah dia sesungguhnya.”
Tetapi di dalam kitab Mizanul I’tidal, Adz-Dzahabi berkata tentang hadits ini yang terdapat Abdullah bin Muslim Al-Fihri : “Khabar (hadits) batil, diriwayatkan oleh Al-Baihaqi di dalam Dalailun Nubuwwah”.
Al-Baihaqi berkata: “Abdurahman bin Zaid bin Aslam sendirian meriwayatkan hadits ini, padahal dia seorang yang dha’if.”
Ibnu Katsir menyetujuinya di dalam Tarikhnya II/323.
Demikian juga Ibnu Hajar menyetujui pernyatan Adz-Dzahabi bahwa hadits itu batil.
Hadits itu juga diriwayatkan oleh Thabarani, tetapi juga lewat perawi Abdurahman bin Zaid bin Aslam. Dalam sanad Thabarani juga terdapat perawi majhul, sebagaimana dikatakan oleh Al-Haitsami di dalam Majma’uz Zawaid VIII/253.
d). Adapun perkataan Al-Qadhi ‘Iyadh: “Hadits syafa’at mencapai (derajat) mutawatir”, ini perlu diperiksa lagi, hadits syafa’at yang mana yang beliau kehendaki. Jika yang dimaksud adalah hadits syafa’at bagi kaum mukminin yang masuk neraka sehingga mereka masuk sorga, maka itu benar. Atau yang dimaksud adalah hadits syafa’at al-uzhma yang dimiliki oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, maka itu memang hadits shahih. Tetapi jika yang dimaksud adalah hadits syafa’at Nabi Adam dengan Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam, maka kita semua telah tahu kelemahannya!
4. Adapun hadits pertama yang antum sebutkan, itu bukanlah do’a Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam sholat hajat, tetapi doa yang diajarkan Rasulullah kepada seorang buta yang mendatangi beliau. Lafazh riwayatnya sebagaimana di bawah ini:
عَنْ عُثْمَانَ بْنِ حُنَيْفٍ أَنَّ رَجُلاً ضَرِيرَ الْبَصَرِ أَتَى النَّبِيَّ فَقَالَ ادْعُ الهَت أَنْ يُعَافِيَنِي قَالَ إِنْ شِئْتَ دَعَوْتُ وَإِنْ شِئْتَ صَبَرْتَ فَهُوَ خَيْرٌ لَكَ قَالَ فَادْعُهُ قَالَ فَأَمَرَهُ أَنْ يَتَوَضَّأَ فَيُحْسِنَ وُضُوءَهُ وَيَدْعُوَ بِهَذَا الدُّعَاءِ اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ وَأَتَوَجَّهُ إِلَيْكَ بِنَبِيِّكَ مُحَمَّدٍ نَبِيِّ الرَّحْمَةِ إِنِّي تَوَجَّهْتُ بِكَ إِلَى رَبِّي فِي حَاجَتِي هَذِهِ لِتُقْضَى لِيَ اللَّهُمَّ فَشَفِّعْهُ فِيَّ
"Dari Utsman bin Hunaif, bahwa seorang lelaki buta mendatangi Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, lalu berkata: “Berdoalah kepada Allah agar Dia menyembuhkanku”. Beliau bersabda: “Jika engkau mau aku akan berdoa, tetapi jika engkau mau bersabar, itu lebih baik bagimu.” Lelaki tadi berkata: “Doakanlah kepadaNya”. Maka beliau memerintahkannya untuk berwudhu’ dengan membaguskan wudhu’nya, (pada riwayat lain: lalu shalat dua raka’at), lalu berdoa dengan doa ini: “Wahai Allah, sesungguhnya aku memohon kepadaMu, dan aku menghadapMu dengan NabiMu, Muhammad, Nabi pembawa rahmat. Sesungguhnya aku menghadap Rabbku denganmu (Nabi Muhammad) di dalam kebutuhanku ini, agar dipenuhi untukku. Wahai Allah, oleh karena itu terimalah permintaan beliau (Nabi Muhammad) untukku. (pada riwayat lain: maka lelaki tadi lalu melaksanakan, kemudian dia sembuh)."
Hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad, Tirmidzi no:3578, Nasa-i di dalam ‘Amalul Yaum wal Lailah no:659, Ibnu Majah, Thabarani di dalam Al-Kabir, Al-Hakim di dalam Al-Mustadrak. Dishahihkan oleh Al-Albani di dalam At-Tawassul Anwa’uhu wa Ahkamuhu, hal: 75-76.
Perkataan di dalam doa lelaki buta tersebut: “aku menghadap-Mu dengan NabiMu”, bisa memiliki beberapa kemungkinan makna:
a). Aku menghadapMu dengan –dzat/jasad- NabiMu
b). Aku menghadapMu dengan –jah (kedudukan)- NabiMu
c). Aku menghadapMu dengan –doa- NabiMu
Oleh karena itu harus ditentukan makna yang dimaksudkan perkataan tersebut berdasarkan dalil-dalil yang ada.
Orang-orang Sufi berdalil dengan hadits ini tentang bolehnya tawassul dengan dzat dan jah (kedudukan) Nabi, mereka tidak menyebutkan dalil kecuali kisah Utsman bin Hunaif, tambahan pada sebagian riwayat pada hadits di atas. Tetapi tambahan kisah ini dha’if sebagaimana dijelaskan oleh Syeikh Al-Albani di dalam At-Tawassul, hal: 92-96.
Sedangkan Salafus Shalih menjadikan hadits ini sebagai dalil tawassul dengan doa orang shalih yang masih hidup, dengan dalil-dalil sebagai berikut:
a). Bahwa orang buta itu mendatangi Nabi, agar beliau mendoakannya, dengan dalil perkataannya di dalam hadits di atas: “Berdoalah kepada Allah agar Dia menyembuhkanku”.
b). Bahwa Nabi menjanjikan doa untuknya, namun beliau juga menasehatkan untuk bersabar, yang itu lebih utama. Yaitu sabda beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam : “Jika engkau mau aku akan berdoa, tetapi jika engkau mau bersabar, itu lebih baik bagimu.”
c). Orang buta itu tetap meminta Nabi untuk mendoakannya, yaitu dengan perkataannya: “Doakanlah kepadaNya”. Sedangkan beliau pasti memenuhi janjinya, beliau telah menjanjikan untuk mendoakannya.
d). Bahwa para ulama menyebutkan hadits ini sebagai mu’jizat beliau dan doa beliau yang mustajab.
e). Bahwa tawassul dengan doa Nabi adalah tawassul yang disyari’atkan, sesuai dengan nash-nash Al-Kitab dan As-Sunah serta perbuatan para sahabat. Maka seandainya tawassul dengan dzat atau jah Nabi disyari’atkan, tentulah para sahabat tidak akan meninggalkannya.
Dan lain-lain. Lihat Al-Istighatsah Ar-Raddu ‘Alal Bakri, hal:391-392, tahqiq: Abdullah bin Dajin As-Sahli; At-Tawassul karya Al-Albani, hal: 76-83.
5. Hadits kedua yang antum sebutkan, artinya adalah: “Aku mendengar shalawat yang dilakukan oleh orang-orang yang mencintaiku, dan aku mengenal mereka. Sedangkan shalawat selain mereka diperlihatkan kepadaku.” Itu adalah jawaban beliau n , ketika ditanya: “Bagaimana pendapat anda terhadap shalawat yang dilakukan oleh orang-orang yang bershalawat yang tidak ada di hadapanmu, dan orang-orang yang akan datang setelah anda. Bagaimana keadaan keduanya di sisi anda?”
Bantahan
a). Hadits itu tidak disebutkan siapa yang meriwayatkannya dan bagaimana derajatnya, sehingga tidak dapat diterima sebagai hujjah!
b). Seandainya hadits itu shahih, maka di dalamnya tidak ada hujjah yang membolehkan tawassul dengan dzat atau jah Nabi n .
6. Kisah Bilal yang antum sebutkan, yang disebutkan dishahihkan oleh Imam Malik, bahwa Bilal bin Harits Radhiyallahu 'anhu ziarah ke kuburan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, di situ beliau berdo’a:
يَا رَسُوْلَ اللهِ اِسْتَسْقِ لأُمَّتِكَ فإِنّهُمْ هَلَكُوْا
"Wahai Rasulullah, mohonlah hujan untuk umatmu, karena sesungguhnya mereka binasa".
Kemudian Bilal tidur dan bermimpi didatangi oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yang berkata: “Hai Bilal, Insya Allah umatku akan diberikan hujan” ketika Bilal terjaga, hujan sudah turun.
Bantahan:
Kisah di atas perlu dicek kebenarannya, benarkah Imam Malik menshahihkan nya?
Kisah seperti itu disebutkan oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar di dalam Fathul Bari II/495-496 sebagai berikut:
"Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan dengan sanad yang shahih dari riwayat Abi Shalih As-Saman dari Malik Ad-Dar –dia adalah penjaga (baitul mal) Umar- , dia berkata: “Orang-orang tertimpa paceklik di zaman Umar, kemudian datanglan seorang laki-laki ke kubur Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, lalu berkata: “Wahai Rasulullah, mohonkanlah hujan untuk umatmu, karena sesungguhnya mereka telah binasa (terkena paceklik)”. Maka lelaki tadi bermimpi, didatangi seseorang dan dikatakan kepadanya: “Datanglah kepada Umar...”Al-Hadits. Dan Saif telah meriwayatkan di dalam Al-Futuh, bahwa orang yang bermimpi tersebut adalah Bilal bin Al-Harits Al-Muzni, salah seorang sahabat”.
Tetapi kisah ini dibantah oleh Syeikh Al-Albani di dalam At-Tawassul, hal : 131-134, secara ringkas sebagai berikut:
a). Tidak dapat diterima keshahihan riwayat ini, karena Malik Ad-Dar adalah perawi yang tidak dikenal (sifat) ‘adalah dan kecermatannya, sehingga riwayat ini dha’if. Sedangkan perkataan Al-Hafizh Ibnu Hajar di atas: “Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan dengan sanad yang shahih dari riwayat Abi Shalih”, tidak berarti riwayat itu shahih seluruh sanadnya, tetapi artinya sanadnya shahih sampai Abi Shalih.
b). Hal itu bertentangan dengan apa yang telah pasti di dalam agama, yaitu bahwa disukainya shalat istisqa’ untuk mohon hujan dari langit, yang ini disebutkan d idalam banyak hadits dan dipegangi oleh banyak ulama.
c). Seandainya riwayatnya shahih, juga tidak dapat diterima, karena orang yang meminta itu tidak diketahui namanya. Adapun disebutnya nama Bilal pada riwayat Saif (Ibnu Umar At-Tamimi) tidak berharga sedikitpun, karena Saif ini disepakati dha’ifnya oleh para ahli hadits.
d). Riwayat ini tidaklah ada di dalamnya tawassul dengan dzat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, tetapi hanyalah permintaan doa dari beliau agar Allah menurunkan hujan kepada umatnya. Tawassul dengan ini berbeda, walaupun minta dari Nabi setelah wafatnya juga tidak boleh.”
Syeikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz menyatakan: “Riwayat ini -seandainya shahih sebagaimana dikatakan oleh pensyarah (Al-Hafizh Ibnu Hajar)- bukanlah hujjah atas bolehnya minta hujan (kepada Allah) lewat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam setelah wafat beliau. Karena orang yang meminta itu majhul (tidak dikenal), dan karena perbuatan para sahabat menyelisihinya, sedangkan mereka adalah orang-orang yang paling mengetahui terhadap agama.
Tidak ada seorangpun dari mereka mendatangi kubur nabi –atau kubur lainnya- untuk minta hujan. Bahkan ketika terjadi kekeringan, Umar tidak meminta lewat Nabi (setelah wafat beliau), tetapi memohon hujan kepada Allah lewat perantaraan Abbas, dan tidak ada seorangpun dari para sahabat yang mengingkari Umar, maka hal itu menunjukkan bahwa itu adalah haq. Sedangkan yang dilakukan oleh orang tak dikenal itu merupakan kemungkaran, dan sarana menuju kemusyrikan, bahkan sebagian ulama menghukuminya termasuk jenis-jenis kemusyrikan.
Adapun di dalam riwayat Saif yang menyatakan bahwa nama orang yang meminta itu adalah Bilal bin Al-Harits, maka tentang keshahihannya perlu dikoreksi, dan pensyarah (Al-Hafizh Ibnu Hajar) tidak menyebutkan sanad Saif tersebut. Dan seandainya shahih-pun tidak dapat menjadi hujjah, karena perbuatan para pembesar sahabat menyelisihinya, sedangkan mereka adalah orang-orang yang paling mengetahui terhadap Rasulullah n dan agama beliau daripada selain mereka. Wallahu A’lam”. (Fote note Fathul Bari II/495)
Adapun hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam :
مَنْ رَآنِي فِي الْمَنَامِ فَقَدْ رَآنِي فَإِنَّ الشَّيْطَانَ لاَ يَتَمَثَّلُ بِي. رواه أبو هريرة
"Barangsiapa melihatku di dalam mimpi, maka sesungguhnya dia telah melihatku, karena setan tidak dapat menyerupaiku".
Ini memang hadits shahih, tetapi tidak berarti bahwa setiap orang yang mengaku bermimpi bertemu dengan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berarti dia benar-benar bertemu dengan beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam. Bisa jadi dia berdusta, atau bisa jadi setan mendatanginya, bukan sebagaimana wujud Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, lalu setan mengaku bahwa dia adalah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, sedangkan orang yang bermimpi itu tidak pernah berjumpa dengan Nabi, juga tidak pernah mempelajari Sunnahnya, bagaimana dia dapat mengetahui beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam ?!
7. Adapun kisah pembuatan jendela di atas kubur Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam yang diriwayatkan oleh Ad-Darimi tersebut, bantahan kami adalah sebagai berikut (Istighatsah, hal:402-404):
a). Riwayat ini dha’if, karena beberapa perkara:
- Di dalam sanadnya ada perawi dha’if bernama Sa’id bin Zaid Al-Azdi.
- Juga ada perawi dha’if lainnya bernama Amr bin Malik An-Nukri.
- Ada perawi bernama Abu Nu’man, dia berubah hafalannya karena tua, dan tidak diketahui apakah Ad-Darimi mendengar darinya sebelum berubah hafalan atau sesudahnya, sehingga riwayat ini tertolak.
- Kisah itu hanyalah dari ‘Aisyah, tidak dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, seandainya shahih bukan merupakan hujjah, karena bisa jadi hanyalah ijtihad (pendapat) beliau semata.
b). Syeikhul Islam rahimahullah berkata: “Adapun apa yang diriwayatkan dari Aisyah Radhiyallahu 'anha , yaitu pembuatan lobang (pada atap rumah) dari kubur Nabi ke langit agar supaya hujan turun, maka itu tidak shahih, sanadnya tidak sah. Termasuk yang menjelaskan kedustaannya adalah bahwa di zaman kehidupan Aisyah Radhiyallahu 'anha, rumah itu tidaklah ada lobangnya, bahkan tetap sebagaimana di zaman Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, sebagian beratap, sebagiannya terbuka, dan sinar matahari turun padanya”.
c). Di dalam tarikh (sejarah) Islam tidak dikenal tahun yang disebut dengan ‘amul fatqi (tahun fatqi).
d). Seandainya riwayat ini shahih, maka di dalamnya tidak ada dalil bolehnya tawassul dengan orang yang telah mati! Tetapi yang terjadi hanyalah membukakan atap untuk kubur, agar rahmat Allah turun padanya.
8. Riwayat seorang Arab yang mendatangi kubur Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, yang berdoa sambil berdiri, arti doanya adalah: “Wahai Allah, sesungguhnya Engkau telah memerintahkan untuk memerdekakan budak, maka inilah habibMu (kecintaanMu/Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam), dan saya budakMu (hambaMu), maka merdekakanlah (selamatkanlah) aku dari neraka di atas kubur habibMu. Maka ada seseorang yang berseru tanpa kelihatan orangnya: “Wahai engkau, engkau minta kemerdekaan (keselamatan) -dari neraka- hanya untukmu sendiri, kenapa engkau tidak minta kemerdekaan (keselamatan) -dari neraka- untuk seluruh kaum muslimin. Pergilah! Sesungguhnya Aku telah memerdekakanmu.”
Bantahan:
a). Riwayat itu bukan ayat Al-Qur’an, bukan hadits Nabi yang shahih, dan bukan ijma’ , maka tidak dapat diterima sebagai hujjah. Karena Ahlus Sunnah wal Jama’ah tidak berhujjah dengan hikayat-hikayat! Apalagi yang tidak jelas kebenarannya!
b). Kisah itu belum tentu shahih, bagaimana kita berhujjah dengannya?!
c). Seandainya kisah itu shahih, maka orang yang berseru –yang tanpa kelihatan orangnya- itu tidak diketahui siapa dia, mungkin sekali dia adalah setan yang berusaha menjerumuskan manusia ke dalam kesesatan. Kalau bukan setan, siapa dia? Apa dalilnya? Hal ini adalah masalah ghaib, yang kita tidak dapat berhujjah kecuali dengan Al-Kitab dab As-Sunnah.
d). Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: “Hikayat-hikayat ini yang terjadi pada orang-orang yang minta tolong kepada sebagian manusia yang telah mati atau orang-orang yang tidak ada di hadapannya, dan memang mereka mendapatkan kebiasaan-kebiasaan itu dilakukan oleh sebagian orang yang memiliki sebagian ilmu agama, melakukan ibadah dan zuhd, tetapi mereka tidak memiliki hadits yang diriwayatkan, dan tidak memiliki nukilan dari sahabat, tabi’i, dan tidak juga perkataan imam yang diridhai (ulama yang terpercaya-Red). Oleh karena inilah ketika orang-orang yang memiliki keutamaan di antara mereka diingatkan, merekapun sadar dan mereka mengetahui bahwa yang mereka lakukan itu bukanlah dari agama Islam, bahkan itu adalah menyerupai para penyembah berhala”. (Al-Istighatsah, hal:375)
9. a) Riwayat Imam Syafi’i sering sekali mendatangi kubur Imam Abi Hanifah, lalu memberi salam lalu berdo’a kepada Allah dengan bertawassulkan Abi Hanifah dalam usaha terkabulnya do’a.
b) Demikian juga Imam Ahmad bin Hambal berdo’a bertawassulkan Imam Syafi’i, sampai-sampai anaknya yang bernama Abdullah bin Ahmad bin Hambal menjadi heran, dan Imam berkata kepadanya: “Hai Abdullah, Imam Syafi’i bagi manusia seperti matahari, bagi badan seperti azimat yang bisa menjadi sebab keselamatan, dan seperti obat yang menjadi sebab kesembuhan”.
c) Dan Imam Syafi’i ketika diberitahu bahwa penduduk Magrib apabila mempunyai hajat, mereka berdo’a kepada Allah dengan bertawassulkan Imam Malik, beliau tidak mengingkari bahkan membenarkan”.
Bantahan:
a). Benarkah kisah-kisah tersebut dari para imam itu? Tidak cukup kisah itu tertulis di kitab-kitab, lalu diambil dan dipercayai! Walaupun seandainya kitab-kitab yang memuat kisah-kisah tersebut ditulis oleh orang yang terpercaya, namun dari siapa dia mengambil riwayat itu? Kebenaran kisah-kisah itu harus dibuktikan dengan dua hal, pertama: adanya sanad, dan kedua: sanadnyapun harus shahih!
b). Seandainya kisah-kisah itu benar, maka juga tidak dapat diterima hujjah dalam masalah agama. Karena hujjah dalam agama adalah Al-Kitab, As-Sunnah, dan Ijma’.
10. Arti hadits Abu Hurairah itu adalah: “Abu Razin berkata: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya jalanku melewati (kubur) orang-orang yang telah mati. Adakah perkataan bagiku, yang akan aku katakan jika aku melewati mereka? Beliau menjawab: “Katakanlah: Semoga keselamatan atas kamu wahai penduduk kubur, dari kalangan kaum muslimin dan mukminin. Kamu bagi kami adalah orang-orang yang telah terdahulu (meninggal), sedangkan kami bagi kamu adalah orang-orang yang mengikuti (akan meninggal), dan insya Allah, kami akan menyusul kamu”. Abu Razin bertanya: “Apakah mereka mendengar?” Beliau menjawab: “Mereka mendengar, tetapi tidak mampu menjawab –yaitu jawaban yang dapat didengar oleh orang yang hidup-. Wahai Abu Razin, tidakkah engkau suka para malaikat sejumlah mereka menjawab (salam)mu?
Bantahan:
a). Hadits ini munkar, sebagaimana dijelaskan oleh Syeikh Al-Albani di dalam Silsilah Al-Ahadits Adh-Dha’ifah no: 5225
b). Seandainya shahihpun, di dalamnya tidak ada dalil tentang tawassul dengan orang yang telah mati, paling tinggi hanyalah sebagai dalil bahwa orang yang mati itu mendengar, tetapi bukan berarti boleh dijadikan sarana tawassul atau tempat meminta!
11. Hadits ‘Aisyah itu diriwayatkan imam Muslim, sebagai berikut:
قُلْتُ كَيْفَ أَقُولُ لَهُمْ يَا رَسُولَ اللهِ قَالَ قُولِي السَّلاَمُ عَلَى أَهْلِ الدِّيَارِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُسْلِمِينَ وَيَرْحَمُ اللهُ الْمُسْتَقْدِمِينَ مِنَّا وَالْمُسْتَأْخِرِينَ وَإِنَّا إِنْ شَاءَ اللهُ بِكُمْ لَلاَحِقُونَ
"Aku (‘Aisyah) berkata: “Apa yang akan aku katakan kepada mereka wahai Rasulullah? Beliau menjawab: “Katakanlah: Semoga keselamatan atas kamu wahai penduduk kubur, dari kalangan kaum muslimin dan mukminin. Dan mudah-mudahan Allah merahmati orang-orang yang telah terdahulu (meninggal) dari kami dan orang-orang yang akhir (belum meninggal), dan insya Allah, kami akan menyusul kamu"
Bantahan:
a). Hadits ini shahih, tetapi di dalamnya tidak ada dalil tentang tawassul dengan orang yang telah mati, paling tinggi hanyalah sebagai dalil bahwa orang yang mati itu mendengar, sebagaimana di atas.
b). Tentang masalah orang yang mati itu mendengar atau tidak adalah perkara yang diperselisihkan para ulama, tetapi yang rajih (lebih kuat) adalah bahwa pada asalnya orang mati tidak mendengar. [Lihat Majalah As-Sunnah Edisi 10/Th.IV/1421-2000, hal:30-38, rubrik:Aqidah]
c). Kalau ada yang mengatakan: “Ketika berziarah apa gunanya memberi salam kepada orang-orang yang telah mati, jika mereka tidak mendengar?”. Maka jawabnya adalah: Bahwa hal itu merupakan doa untuk mereka, dan merupakan perkara ta’abbudiyyah, yaitu perkara ibadah yang kita harus taat, walaupun tidak memahami hikmahnya. Sebagaimana jika kita shalat menjadi makmum, maka di akhir shalat kita mengucapkan salam dengan pelan dan salam itu kita niatkan untuk para malaikat pencatat amalan, untuk imam, dan untuk seluruh makmum, walaupun mereka tidak mendengar. Dan hal itu umum di dalam bahasa Arab, tidak tersembunyi bagi orang-orang yang tahu. [Lihat Ayatul Bayinat fii Adami Sama’il Amwat, hal:95, karya Al-Alusi, tahqiq Syeikh Al-Albani]
d). Seandainya hadits itu menunjukkan orang mati dapat mendengar, tetapi di dalamnya juga tidak ada dalil bolehnya tawassul dengan mereka. Wallahu A’lam.
Demikianlah jawaban yang kami sampaikan mudah-mudahan dapat menghilangkan syubhat-syubhat yang ada pada penanya khususnya, dan kaum muslimin pada umumnya.
KESIMPULAN:
Di sini kami ringkaskan jawaban kami di atas, yaitu:
1. Tawassul, yaitu berdoa kepada Allah dengan perantara, ada yang disyari’atkan dan ada yang terlarang.
2. Tawassul yang disyari’atkan, yaitu: bertawassul dengan: a) Nama-nama Allah dan sifat-sufatNya. b) iman dan amal shalih orang yang berdoa. c) Doa orang shalih yang masih hidup. Adapun yang terlarang adalah yang tidak ada dalilnya, seperti: tawassul dengan orang yang telah mati, dengan dzat atau kehormatan Nabi, orang shalih, dan lainnya.
3. Seluruh dalil yang dipakai oleh orang-orang yang membolehkan tawassul dengan orang yang telah mati, ada dua kemungkinan:
a) Dalil itu lemah.
b) Dalil itu shahih, tetapi difahami dengan keliru.
Wallahu A’lam bish Shawab.
MEMBERSIHKAN HATI DARI FITNAH SYAHWAT DAN FITNAH SYUBHAT
Dari Hudzaifah Radhiyallahu anhu, ia berkata: Aku mendengar Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
تُـعْـرَضُ الْـفِـتَـنُ عَلَـى الْـقُـلُـوْبِ كَالْـحَصِيْـرِ عُـوْدًا عُوْدًا ، فَـأَيُّ قَـلْبٍ أُشْرِبَـهَا نُـكِتَ فِـيْـهِ نُـكْـتَـةٌ سَوْدَاءُ ، وَأَيُّ قَـلْبٍ أَنْـكَـرَهَا نُـكِتَ فِـيْـهِ نُـكْتَـةٌ بَيْضَاءُ ، حَتَّىٰ تَصِيْـرَ عَلَـىٰ قَـلْبَيْـنِ : عَلَـىٰ أَبْـيَـضَ مِثْـلِ الصَّفَا ، فَـلَا تَـضُرُّهُ فِـتْـنَـةٌ مَـا دَامَتِ السَّمٰـوَاتُ وَالْأَرْضُ ، وَالْآخَرُ أَسْوَدُ مُـرْبَادًّا ، كَالْكُوْزِ مُـجَخِّـيًا : لَا يَعْرِفُ مَعْرُوْفًـا وَلَا يُـنْـكِرُ مُنْكَـرًا ، إِلَّا مَا أُشْرِبَ مِنْ هَوَاهُ.
Fitnah-fitnah menempel dalam lubuk hati manusia sedikit demi sedikit bagaikan tenunan sehelai tikar. Hati yang menerimanya, niscaya timbul bercak (noktah) hitam, sedangkan hati yang mengingkarinya (menolak fitnah tersebut), niscaya akan tetap putih (cemerlang). Sehingga hati menjadi dua : yaitu hati yang putih seperti batu yang halus lagi licin, tidak ada fitnah yang membahayakannya selama langit dan bumi masih ada. Adapun hati yang terkena bercak (noktah) hitam, maka (sedikit demi sedikit) akan menjadi hitam legam bagaikan belanga yang tertelungkup (terbalik), tidak lagi mengenal yang ma’ruf (kebaikan) dan tidak mengingkari kemungkaran, kecuali ia mengikuti apa yang dicintai oleh hawa nafsunya.”
TAKHRIJ HADITS:
Hadits ini shahih. Diriwayatkan oleh :
1. Imam Muslim dalam Shahiih-nya (no. 144),
2. Imam Ahmad dalam Musnad-nya (V/405),
3. Imam al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah (no. 4218).
SYARAH HADITS:
Menurut bahasa, kata fitnah –bentuk tunggal dari kata fitan- berarti musibah, cobaan dan ujian. Makna kata ini berasal dari perkataan: فَتَنْتُ الْفِضَّةَ وَالذَّهَبَ, artinya aku uji perak dan emas dengan api agar dapat dibedakan antara yang buruk dan yang baik[1].
Menurut istilah (terminologi), kata fitnah disebutkan berulang dalam al-Qur'ân pada 72 ayat, dan seluruh maknanya berkisar pada ketiga makna di atas.
Setiap hari hati manusia didera oleh fitnah. Fitnah terbagi dua macam, yaitu fitnah syahwat dan fitnah syubhat (dan ini adalah fitnah yang paling besar). Keduanya bisa ada dalam diri seseorang, atau hanya salah satunya saja. Fitnah syahwat adalah fitnah keduniaan, seperti harta, kedudukan, pujian, sanjungan, wanita, dan yang lainnya. Fitnah syubhat adalah fitnah pada pemahaman, keyakinan, aliran, juga pemikiran yang menyimpang.
Ibnul Qayyim rahimahullah (wafat th. 751 H) menjelaskan tentang fitnah syubhat dan syahwat, “Fitnah syubhat ada karena lemahnya pengetahuan dan sedikitnya ilmu, apalagi jika dibarengi dengan jeleknya niat serta terturutinya hawa nafsu, maka itu adalah fitnah dan musibah yang besar. Maka katakanlah semaumu tentang orang sesat dan niatnya jelek, yang menjadi hakimnya adalah hawa nafsunya bukan petunjuk, dibarengi dengan lemahnya pengetahuan, tidak banyak tahu tentang ajaran yang dibawa Rasulullah, maka dia termasuk salah satu dari yang disebutkan Allâh Azza wa Jalla dalam firman-Nya :
إِنْ يَتَّبِعُونَ إِلَّا الظَّنَّ وَمَا تَهْوَى الْأَنْفُسُ
“… Mereka hanya mengikuti dugaan, dan apa yang diingini oleh keinginannya …” [an-Najm/53:23]
Allâh Azza wa Jalla telah mengabarkan bahwa mengikuti hawa nafsu akan menyesatkan seseorang dari jalan Allâh Azza wa Jalla , Allâh Azza wa Jalla berfirman :
يَا دَاوُودُ إِنَّا جَعَلْنَاكَ خَلِيفَةً فِي الْأَرْضِ فَاحْكُمْ بَيْنَ النَّاسِ بِالْحَقِّ وَلَا تَتَّبِعِ الْهَوَىٰ فَيُضِلَّكَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ ۚ إِنَّ الَّذِينَ يَضِلُّونَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ لَهُمْ عَذَابٌ شَدِيدٌ بِمَا نَسُوا يَوْمَ الْحِسَابِ
(Allâh berfirman), ‘Wahai Dawud! Sesungguhnya engkau Kami jadikan khalifah (penguasa) di bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah engkau mengikuti hawa nafsu, karena akan menyesatkan engkau dari jalan Allâh. Sungguh, orang-orang yang sesat dari jalan Allâh akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan.’” [Shâd/38:26]
Dan ujung dari fitnah ini adalah kekufuran dan kemunafikan. Dialah fitnahnya orang munafiqin, fitnahnya ahlul bid’ah sesuai dengan tingkatan kebid’ahan mereka. Mereka berbuat bid’ah dikarenakan fitnah syubhat yang menyebabkan al-haq menjadi tersamar bagi mereka dengan kebathilan, petunjuk tersamarkan dengan kesesatan.
Dan seseorang tidak akan selamat dari fitnah ini kecuali dengan mengikuti Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , berhukum dengannya dalam masalah agama yang kecil maupun yang besar, yang zhahir maupun bathin, dalam masalah keyakinan dan perbuatan, hak-haknya dan syariatnya. Maka dia menerima hakikat iman, syariat Islam, dan apa-apa yang Allâh tetapkan berupa sifat-sifat, perbuatan-perbuatan, serta nama-nama-Nya, dan apa-apa yang Allâh nafikan dari-Nya. Sebagaimana dia menerima dari Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam kewajiban shalat, waktu-waktunya, dan jumlah raka’atnya, kadar nishab zakat dan orang-orang yang berhak menerimanya, kewajiban berwudhu dan mandi junub, serta puasa Ramadhan. Jadi dia tidak boleh menjadikan Muhammad n sebagai Rasul dalam satu urusan agama dan tidak dalam urusan agama yang lain, tetapi dia (harus) menjadikan Muhammad n sebagai Rasul dalam segala sesuatu yang dibutuhkan oleh ummat dalam ilmu dan amal, dia tidak mengambil (syari’at) kecuali darinya. Jadi petunjuk itu tidak keluar dari perkataan dan perbuatan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , dan semua yang tidak sesuai dengannya (dengan syari’at yang beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bawa) adalah kesesatan.
Jenis fitnah yang kedua yaitu fitnah syahwat. Allâh Azza wa Jalla telah menyebutkan fitnah tersebut dalam firman-Nya :
كَالَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ كَانُوا أَشَدَّ مِنْكُمْ قُوَّةً وَأَكْثَرَ أَمْوَالًا وَأَوْلَادًا فَاسْتَمْتَعُوا بِخَلَاقِهِمْ فَاسْتَمْتَعْتُمْ بِخَلَاقِكُمْ كَمَا اسْتَمْتَعَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ بِخَلَاقِهِمْ وَخُضْتُمْ كَالَّذِي خَاضُوا ۚ أُولَٰئِكَ حَبِطَتْ أَعْمَالُهُمْ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ ۖ وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ
(Keadaan kamu kaum munafik dan musyrikin) seperti orang-orang sebelum kamu, mereka lebih kuat daripada kamu, dan lebih banyak harta dan anak-anaknya. Maka mereka telah menikmati bagiannya, dan kamu telah menikmati bagianmu sebagaimana orang-orang yang sebelummu menikmati bagiannya, dan kamu mempercakapkan (hal-hal yang bathil) sebagaimana mereka mempercakapkannya. Mereka itu sia-sia amalnya di dunia dan di akhirat. Mereka itulah orang-orang yang rugi.” [at-Taubah/9:69]
Maksudnya, bersenang-senanglah dengan bagian kalian di dunia dan syahwatnya. al-Khalâq yaitu bagian yang telah ditentukan. Kemudian Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “وَخُضْتُمْ كَالَّذِي خَاضُوا (dan kamu mempercakapkan (hal-hal yang bathil) sebagaimana mereka mempercakapkannya…” Percakapan yang bathil ini adalah syubhat.
Allâh Azza wa Jalla mengisyaratkan dalam ayat tersebut apa-apa yang bisa menimbulkan kerusakan hati dan agama, yaitu bersenang-senang dengan dunia (berupa harta dan anak-anak) dan percakapan-percakapan yang bathil. Karena kerusakan agama itu bisa terjadi dengan sebab keyakinan bathil dan membicarakannya, atau dengan perbuatan yang tidak sesuai dengan ilmu yang benar. Yang pertama adalah bid’ah dan sejenisnya, dan yang kedua adalah kefasikan amalan. Kerusakan pertama merupakan kerusakan dari segi syubhat, dan yang kedua dari segi syahwat.
Karena inilah Ulama salaf berkata, “Berhati-hatilah dari dua jenis manusia : Pengekor hawa nafsu yang terfitnah oleh hawa nafsunya dan pecinta dunia yang telah dibutakan oleh dunia.”
Mereka juga berkata, “Berhati-hatilah dari fitnah orang alim yang fajir (menyimpang), dan orang yang suka beribadah tetapi bodoh, karena fitnah mereka berdua adalah fitnah bagi orang-orang yang terfitnah.”
Asal atau akar dari semua fitnah itu adalah perbuatan mendahulukan akal daripada syari’at, dan hawa nafsu daripada akal. Yang pertama merupakan akar fitnah syubhat, dan yang kedua adalah akar fitnah syahwat.
Fitnah syubhat itu harus ditangkal dengan keyakinan, dan fitnah syahwat ditangkal dengan kesabaran. Karena itulah Allâh Subhanahu wa Ta’ala menjadikan kepemimpinan agama bergantung kepada dua perkara ini (sabar dan yakin). Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَجَعَلْنَا مِنْهُمْ أَئِمَّةً يَهْدُونَ بِأَمْرِنَا لَمَّا صَبَرُوا ۖ وَكَانُوا بِآيَاتِنَا يُوقِنُونَ
Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami selama mereka sabar. Mereka meyakini ayat-ayat Kami.” [as-Sajdah/32:24]
Ayat tersebut menunjukkan bahwa dengan sabar dan yakin, kepemimpinan dalam agama akan dapat diraih. Allâh Subhanahu wa Ta’ala menyatukan keduanya juga dalam firman-Nya:
وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ
“…Serta saling menasihati untuk kebenaran dan saling menasihati untuk kesabaran.” [al-‘Ashr/103:3]
Maka saling menasehati dalam kebenaran akan dapat melawan syubhat, dan saling menasehati dalam kesabaran akan menghentikan syahwat. Allâh menyatukan keduanya dalam firman-Nya :
وَاذْكُرْ عِبَادَنَا إِبْرَاهِيمَ وَإِسْحَاقَ وَيَعْقُوبَ أُولِي الْأَيْدِي وَالْأَبْصَارِ
“Dan ingatlah hamba-hamba Kami: Ibrahim, Ishaq dan Ya‘qub yang mempunyai kekuatan-kekuatan yang besar dan ilmu-ilmu (yang tinggi).” [Shâd/38:45]
Al-Aidii adalah kekuatan dalam beribadah kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala dan taat kepada-Nya, al-Abshâr adalah ilmu dalam agama Allâh. Perkataan para Ulama salaf pun berkisar pada pengertian tersebut.
Maka dengan kesempurnaan akal dan kesabaran, fitnah syahwat dapat dilawan, dan dengan kesempurnaan ilmu dan keyakinan, fitnah syubhat dapat dilawan. Wallahul musta’an.”[2]
Penyakit syahwat juga dijelaskan dengan ayat dan hadits. Allâh Azza wa Jalla berfirman :
زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوَاتِ مِنَ النِّسَاءِ وَالْبَنِينَ وَالْقَنَاطِيرِ الْمُقَنْطَرَةِ مِنَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَالْخَيْلِ الْمُسَوَّمَةِ وَالْأَنْعَامِ وَالْحَرْثِ ۗ ذَٰلِكَ مَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا ۖ وَاللَّهُ عِنْدَهُ حُسْنُ الْمَآبِ
Dijadikan terasa indah dalam pandangan manusia cinta terhadap apa yang diinginkan, berupa perempuan-perempuan, anak-anak, harta benda yang bertumpuk dalam bentuk emas dan perak, kuda pilihan, hewan ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allâh-lah tempat kembali yang baik.” [Ali ‘Imrân/3:14]
Kemudian Allâh Subhanahu wa Ta’ala menjelaskan bahwa sesungguhnya yang dimaksud dalam ayat ini adalah kebaikan itu bukan dengan syahwat, akan tetapi kebaikan itu yaitu apa-apa yang disediakan Allâh Subhanahu wa Ta’ala bagi siapa saja dari para hamba-Nya yang bertakwa dan selamat dari tujuan syahwat ini dan bersembunyi dari syahwat dengan apa-apa yang sudah dihalalkan oleh Allâh, serta sabar atas apa yang diharamkan oleh Allâh. Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
قُلْ أَؤُنَبِّئُكُمْ بِخَيْرٍ مِنْ ذَٰلِكُمْ ۚ لِلَّذِينَ اتَّقَوْا عِنْدَ رَبِّهِمْ جَنَّاتٌ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا وَأَزْوَاجٌ مُطَهَّرَةٌ وَرِضْوَانٌ مِنَ اللَّهِ ۗ وَاللَّهُ بَصِيرٌ بِالْعِبَادِ
Katakanlah: Inginkah aku kabarkan kepadamu apa yang lebih baik dari yang demikian itu. Untuk orang-orang yang bertaqwa (kepada Allâh), pada sisi Rabb mereka ada surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya. Dan (mereka dikaruniai) isteri-isteri yang disucikan serta keridhaan Allâh. Dan Allâh Maha Melihat akan hamba-hamba-Nya. [Ali ‘Imrân/3:15]
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Siapa saja di antara mereka yang bersabar terhadap fitnah, niscaya akan selamat dari fitnah yang lebih besar. Sebaliknya, siapa saja yang terbenam dalam fitnah, niscaya akan jatuh ke dalam fitnah yang lebih buruk lagi. Jika orang yang tengah hanyut dalam fitnah segera bertaubat dengan benar niscaya dia akan selamat. Namun, jika ia tetap tenggelam di dalamnya berati orang itu berada di atas jalan orang yang binasa. Karena itulah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
مَا تَرَكْتُ بَعْدِيْ فِتْنَةً هِيَ أَضَرُّ عَلَى الِرّجَالِ مِنَ الِنّسَاءِ.
“Tidak ada fitnah yang aku tinggalkan setelahku yang lebih berbahaya bagi laki-laki daripada (fitnah) wanita.[3,4]
Penyakit syahwat juga dijelaskan dalam firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala :
يَا نِسَاءَ النَّبِيِّ لَسْتُنَّ كَأَحَدٍ مِنَ النِّسَاءِ ۚ إِنِ اتَّقَيْتُنَّ فَلَا تَخْضَعْنَ بِالْقَوْلِ فَيَطْمَعَ الَّذِي فِي قَلْبِهِ مَرَضٌ
Wahai istri-istri Nabi! Kamu tidak seperti perempuan-perempuan yang lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk (melemah lembutkan suara) dalam berbicara sehingga orang yang di dalam hatinya ada penyakit menginginkan sesuatu…” [al-Ahzâb/33: 32]
Hati yang sakit akan terganggu oleh syahwat sekecil apa pun dan tidak akan mampu menangkal syubhat yang mendatanginya. Sementara hati yang sehat dan kuat, meski sering didatangi syahwat atau syubhat, namun ia berhasil menghalaunya dengan pertolongan Allâh Azza wa Jalla dan dengan kekuatan iman dan kesehatannya.
Sedangkan penyakit syubhat adalah sebagaimana dinyatakan di dalam firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala :
فِي قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ فَزَادَهُمُ اللَّهُ مَرَضًا
“Dalam hati mereka ada penyakit, lalu ditambah penyakitnya oleh Allâh...” [Al-Baqarah/2: 10]
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
إِنَّ لِـكُـلِّ أُمَّـةٍ فِتْنَـةً وَفِتْنَـةُ أُمَّـتِـي الْـمَـالُ.
Setiap ummat itu ada fitnahnya, dan fitnahnya ummatku adalah harta.[5]
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda :
مَا تَرَكْتُ بَعْدِيْ فِتْنَةً هِيَ أَضَرُّ عَلَى الِرّجَالِ مِنَ الِنّسَاءِ
Tidak ada fitnah yang aku tinggalkan setelahku yang lebih berbahaya bagi laki-laki daripada (fitnah) wanita.[6]
Fitnah ini akan masuk ke dalam hati manusia yang merupakan sebab hati menjadi sakit. Dan fitnah ini banyak sekali macamnya.
Di antara Jenis Fitnah Syahwat:
• Melihat kepada perkara-perkara yang haram dilihat, sering memandang perempuan yang bukan mahram, membaca majalah porno, melihat gambar-gambar yang terbuka auratnya, menonton film cabul, menonton TV, sinetron, dan lain-lainnya.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
... فَزِنَـى الْـعَيْـنَيـْنِ الـنَّظَـرُ ...
... dan zinanya kedua mata adalah dengan memandang... [7]
Menjaga pandangan dan kemaluan termasuk dalam tazkiyatun nufus. Allâh Azza wa Jalla berfirman :
قُلْ لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ۚ ذَٰلِكَ أَزْكَىٰ لَهُمْ ۗ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ
“Katakanlah kepada laki-laki yang beriman, agar mereka menjaga pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu lebih suci bagi mereka. Sungguh, Allâh Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat.” [an-Nûr/24:30]
• Ikhtilâth (campur-baur laki-laki dan perempuan), khalwat (berdua-duaan laki-laki dan perempuan), pacaran, mabuk asmara (kasmaran), dan sebagainya. Pacaran hukumnya haram dalam Islam.
• Bersentuhan antara laki-laki dan perempuan, atau berjabat tangan antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram, dan sebagainya. Berjabat tangan antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram hukumnya haram.
• Zina, kumpul kebo, nikah mut’ah, dan sebagainya. Nikah mut’ah sama dengan zina. Zina itu haram dan dosa besar.
• Homosex dan sodomi yang merupakan perbuatan kaum Luth. Hukumnya haram dan dosa besar.
• Onani dan masturbasi. Hukumnya haram.
Adapun di antara jenis fitnah syubhat adalah sebagaimana firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala:
فِي قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ فَزَادَهُمُ اللَّهُ مَرَضًا
Dalam hati mereka ada penyakit, lalu ditambah penyakitnya oleh Allâh ... [al-Baqarah/2:10]
Qatâdah, Mujâhid, dan lain-lain rahimahumullaah menafsirkan, “Di hatinya ada penyakit, yaitu penyakit syakk (keragu-raguan).”[8]
Fitnah syubhat adalah fitnah kesesatan, maksiat, bid’ah, kezhaliman, kebodohan, keyakinan, pemikiran, pemahaman yang sesat, aliran-aliran yang sesat, dan yang lainnya.
Fitnah syahwat membuat rusak niat dan tujuan dalam ibadah kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala . Dan fitnah syubhat membuat rusaknya ilmu dan keyakinan.
Tatkala manusia dihadapkan pada fitnah berupa syahwat dan syubhat, maka hati manusia akan terbagi menjadi dua macam:
Pertama: Hati yang ketika datang fitnah langsung menyerapnya seperti spons yang menyerap air, lalu muncul titik hitam di tubuhnya. Ia terus menyerap setiap fitnah yang ditawarkan kepadanya sehingga tubuhnya menghitam dan miring. Bila sudah hitam dan miring ia akan berhadapan dengan dua malapetaka yang sangat bahaya:
1. Tidak dapat membedakan mana yang ma’ruf (baik) dan mana yang munkar (buruk).
Terkadang penyakit ini semakin parah sehingga ia menganggap yang ma’ruf adalah munkar dan yang munkar adalah ma’ruf. Yang sunnah dianggap bid’ah dan yang bid’ah dianggap sunnah. Yang benar dianggap salah dan yang salah dianggap benar.
Ibnu Mas’ud Radhiyallahu anhu berkata :
هَـلَـكَ مَنْ لَـمْ يَعْرِفْ قَلْبُـهُ الْـمَعْرُوْفَ وَيُنْـكِرْ قَلْبُـهُ الْـمُنْـكَـرَ.
Binasalah orang yang hatinya tidak mengetahui yang ma’ruf dan tidak mengingkari kemungkaran. [9]
2. Menjadikan hawa nafsu sebagai sumber hukum yang lebih tinggi daripada apa yang diajarkan oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , selalu tunduk kepada hawa nafsu dan mengikuti kemauannya.
Kedua: Hati putih yang telah disinari oleh cahaya iman yang terang benderang. Jika hati semacam ini ditawari fitnah, ia akan mengingkari dan menolaknya sehingga sinarnya menjadi lebih kuat dan lebih terang.[10]
Nasihat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah :
Janganlah engkau jadikan hatimu seperti busa dalam menampung segala yang datang dan syubhat-syubhat, ia menyerapnya sehingga yang keluar dari busa tadi adalah syubhat-syubhat yang diserapnya tadi. Namun jadikanlah hatimu itu seperti kaca yang kokoh dan rapat (air tidak dapat merembes ke dalamnya) sehingga syubhat-syubhat tersebut hanya lewat di depannya dan tidak menempel di kaca. Dia melihat syubhat-syubhat tersebut dengan kejernihannya dan menolaknya dengan sebab kekokohannya. Karena kalau tidak demikian, apabila hatimu menyerap setiap syubhat yang datang kepadanya, maka hati tersebut akan menjadi tempat tinggal bagi segala syubhat.[11]
Wajib diperhatikan oleh setiap muslim dan muslimah bahwa hati manusia senantiasa berbolak balik. Hati ini tidak mudah dikendalikan. Hati sangatlah mudah untuk berubah. Bisa jadi, di pagi hari seseorang masih dalam keadaan beriman, namun sore harinya berubah kafir, atau sore hari ia beriman tapi di pagi harinya ia berubah kafir. Di pagi hari ia masih mengikuti Sunnah, namun di sore harinya ia meninggalkan Sunnah. Di pagi hari ia memulai dengan amal-amal ketaatan namun di sore hari ia bermaksiat. Pagi hari ia memanfaatkan waktu dengan amal-amal yang bermanfaat, namun di sore harinya ia mengerjakan hal-hal yang sia-sia.
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
بَادِرُوْا بِالْأَعْمَـالِ فِتَنًا كَقِطَعِ اللَّيْلِ الْـمُظْلِمِ ، يُصْبِحُ الرَّجُلُ مُؤْمِنًا وَيُمْسِي كَافِرًا ، أَوْ يُمْسِي مُـؤْمِنًـا وَيُصْبِحُ كَافِرًا ، يَبِيْعُ دِيْنَهُ بِعَرَضٍ مِنَ الدُّنْيَا.
Bersegeralah mengerjakan amal-amal shalih sebelum kedatangan fitnah-fitnah itu yang seperti potongan malam yang gelap; di pagi hari seseorang dalam keadaan beriman dan di sore hari menjadi kafir, atau di sore hari dalam keadaan beriman dan di pagi hari menjadi kafir karena ia menjual agamanya dengan keuntungan duniawi yang sedikit[12]
Inilah hati, yang selalu berbolak-balik karena ia berada di antara jari dari jari-jemari Allâh Yang Maha Penyayang. Karenanya, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mewasiatkan kepada ummatnya untuk memperbanyak permohonan kepada Allâh agar diberikan ketetapan hati.
Dari Anas bin Malik Radhiyallahu anhu , ia berkata, “Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam sering mengucapkan :
يَـا مُـقَـلِـّبَ الْـقُـلُـوْبِ ، ثَـبّـِتْ قَـلْبِـيْ عَلَـىٰ دِيْـنِـكَ
Ya Allâh, Yang membolak-balikkan hati, tetapkan hatiku di atas agama-Mu.
Anas Radhiyallahu anhu melanjutkan, “Wahai Rasûlullâh ! Kami telah beriman kepadamu dan kepada apa (ajaran) yang engkau bawa. Masihkah ada yang membuatmu khawatir atas kami?” Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab :
نَـعَمْ ، إِنَّ الْـقُـلُوْبَ بَـيْـنَ أُصْبُـعَـيْـنِ مِنْ أَصَابِعِ اللّٰـهِ يُـقَلِـّبُـهَـا كَـيْـفَ يَـشَاءُ.
Benar (ada yang aku khawatirkan kepada kalian), sesungguhnya hati-hati itu berada di antara dua jari dari jari-jemari Allâh, dimana Dia membolak-balikkan hati itu sekehendak-Nya.[13]
Hadits-hadits yang semakna juga diriwayatkan dari Ummu Salamah, ‘Aisyah, Shahabat-Shahabat lainnya Radhiyallahu anhum.[14]
Al-Qur-an adalah penawar dari penyakit syahwat dan syubhat. Sebab, al-Qur'ân berisi bukti-bukti dan dalil-dalil mutlak yang bisa membedakan antara haq (benar) dan bathil sehingga penyakit-penyakit syubhat yang merusak ilmu, keyakinan, dan pemahaman bisa hilang. Karena seseorang bisa melihat segala sesuatu sesuai dalil dari al-Qur'ân dan as-Sunnah dengan pemahaman yang benar.
Al-Qur'ân juga dapat mengobati penyakit syahwat karena di dalamnya terdapat hikmah dan petuah yang baik melalui targhîb (anjuran), tarhîb (peringatan), anjuran untuk bersikap zuhud terhadap dunia dan mengutamakan akhirat, contoh-contoh dan kisah-kisah yang mengandung banyak pelajaran dan petuah. Sehingga, apabila hati yang sehat mengetahui hal itu, ia akan menyukai hal-hal yang bermanfaat baginya di dunia dan akhirat, dan membenci segala yang merugikan dirinya.
Allâh Azza wa Jalla berfirman :
وَنُنَزِّلُ مِنَ الْقُرْآنِ مَا هُوَ شِفَاءٌ وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِينَ ۙ وَلَا يَزِيدُ الظَّالِمِينَ إِلَّا خَسَارًا
Dan Kami turunkan dari al-Qur'ân sesuatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman. Sedangkan bagi orang yang zhalim (al-Qur'ân) itu hanya akan menambah kerugian.” [Al-Isrâ'/17:82]
Setiap orang hendaklah mempelajari tanda-tanda (ciri-ciri) hati yang sakit dan hati yang sehat agar dapat mengetahui kondisi hatinya secara tepat. Bila hatinya sakit, ia harus berusaha untuk mengobatinya dengan al-Qur'ân dan as-Sunnah menurut pemahaman Salafush Shalih serta senantiasa menjaga kesehatannya, mudah-mudahan kita meninggal dunia dengan hati yang selamat (sehat). Karena hati yang baik, sehat, dan selamatlah yang akan diterima oleh Allâh Subhanahu wa Ta’ala pada hari Kiamat.[15]
FAWAA-ID:
1. Hati adalah tempat ujian.
2. Hati manusia setiap hari dimasuki oleh fitnah, baik fitnah syahwat maupun fitnah syubhat.
3. Fitnah syahwat berkaitan dengan fitnah keduniaan, seperti harta, kedudukan, pujian, sedangkan fitnah syubhat berkaitan dengan fitnah pada pemahaman, keyakinan, aliran, juga pemikiran yang menyimpang.
4. Sumber fitnah syubhat yaitu perbuatan mendahulukan akal daripada syari’at sedangkan asal fitnah syahwat mendahulukan hawa nafsu daripada akal.
5. Fitnah syubhat adalah fitnahnya orang-orang munafik dan ahlul bid’ah karena fitnah syubhat ini membuat mereka tidak memberdakan antara yang haq dan yang bathil, dan antara petunjuk dan kesesatan. Semuanya menjadi rancu
6. Fitnah syubhat bisa ditangkal dengan keyakinan dan fitnah syubhat ditolak dengan kesabaran.
7. Hidup dan bersihnya hati merupakan pokok segala kebaikan, adapun mati dan gelapnya hati adalah pokok segala keburukan.
8. Seseorang tidak akan selamat dari fitnah syubhat dan syahwat kecuali dengan mengikuti Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
9. Fitnah syahwat bisa merusak niat dan tujuan dalam ibadah kepada Allâh Azza wa Jalla . Dan fitnah syubhat merusak ilmu dan keyakinan.
10. Wajib bagi kita berhati-hati dalam berbicara dan beramal, jangan mengikuti langkah-langkah setan yang telah mengotori hati manusia dengan fitnah syubhat dan syahwat.
11. Orang yang terkena fitnah syubhat atau syahwat tidak bisa membedakan lagi antara yang ma’ruf dan munkar, kecuali mengikuti hawa nafsunya.
12. Obat yang paling mujarab untuk membersihkan hati adalah dengan menuntut ilmu syar’i berdasarkan al-Qur'ân dan Sunnah menurut pemahaman salafus shalih, mentauhidkan Allâh dan menjauhkan syirik, ikhlas, beriman dengan keimanan yang benar, serta menjauhkan perbuatan nifak dan bid’ah.
13. Selalu berdo’a dengan do’a yang diajarkan oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
يَـا مُـقَـلِـّبَ الْـقُـلُـوْبِ ، ثَـبّـِتْ قَـلْبِـيْ عَلَـىٰ دِيْـنِـكَ
Ya Allâh, Yang membolak-balikkan hati, tetapkan hatiku di atas agama-Mu.
Mudah-mudahan makalah ini bermanfaat untuk penulis dan para pembaca. Dan mudah-mudahan Allâh melindungi kita dari fitnah syahwat dan syubhat dan menunjuki kita di atas sunnah, menetapkan hati kita di atas Islam dan Sunnah, serta diberikan istiqamah sampai akhir hayat.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 02/Tahun XVI/1433H/2012M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Lisânul ‘Arab (XIII/317).
[2]. Ighâtsatul Lahfân fi Mashâyidisy Syaithân, Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, ditakhrîj oleh Syaikh al-Albâni dan ditahqiq oleh Syaikh Ali Abdul Hamid al-Halabi, (II/887-891), dengan sedikit diringkas.
[3]. Shahih: HR. Al-Bukhari (no. 5096) dan Muslim (no. 2740 (97)), dari Shahabat Usamah bin Zaid Radhiyallahu anhuma .
[4]. Ighâtsatul Lahfân fi Mashâyidisy Syaithân, (II/886). Lihat al-Fitnah wa Mauqiful Muslim minha, Dr. Muhammad Abdul Wahhab al-‘Aqil, cet. Daar Adhwa-us Salaf, hlm. 25.
[5]. Shahih: HR. at-Tirmidzi (no. 2336), Ahmad (IV/160), Ibnu Hibban (no. 2470-al-Mawârid), dan al-Hâkim (IV/318), lafazh ini milik at-Tirmidzi, beliau berkata, “Hadits ini hasan shahih.” Dari Shahabat Ka’ab bin ‘Iyadh Radhiyallahu anhu . Lihat Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah (no. 592).
[6]. Shahih: HR. al-Bukhari (no. 5096) dan Muslim (no. 2740 (97)), dari Shahabat Usamah bin Zaid Radhiyallahu anhuma.
[7]. Shahih: HR. al-Bukhari (no. 6612), Muslim (no. 2657 (20)), Ahmad (II/276) dan Abu Dawud (no. 2152).
[8]. Tafsîr Ibni Katsîr, tahqiq Sami Salamah, cet. Daar Thaybah, (I/180).
[9]. Atsar shahih: HR. ath-Thabrani dalam al-Mu’jamul Kabîr (IX/no. 8564) dan Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushannaf (no. 38577). Imam al-Haitsami berkata dalam Majma’uz Zawâ-id (VII/257), “Rawi-rawinya adalah rawi-rawi kitab ash-Shahîh.”
[10]. Lihat Mawâridul Amân al-Muntaqa min Ighâtsatil Lahfân (hlm. 39-40) dan al-Bahrur Râ-iq fiz Zuhdi war Raqâ-iq (hlm. 54-55).
[11]. Lihat Miftâh Dâris Sa’âdah (I/443) oleh Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyah, tahqiq Syaikh ‘Ali bin Hasan al-Halabi.
[12]. Shahih: HR. Muslim (no. 118 (186)), at-Tirmidzi (no. 2195), Ahmad (II/304, 523), Ibnu Hibban (no. 1868-Mawârid), dan selainnya dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu .
[13]. Shahih: HR. at-Tirmidzi (no. 2140), dan selainnya.
[14]. Sunan at-Tirmidzi (no. 3522) dengan sanad yang shahih.
[15]. Lihat buku penulis “Tazkiyatun Nufus”, hlm. 41-42, cet. Pustaka at-Taqwa.
تُـعْـرَضُ الْـفِـتَـنُ عَلَـى الْـقُـلُـوْبِ كَالْـحَصِيْـرِ عُـوْدًا عُوْدًا ، فَـأَيُّ قَـلْبٍ أُشْرِبَـهَا نُـكِتَ فِـيْـهِ نُـكْـتَـةٌ سَوْدَاءُ ، وَأَيُّ قَـلْبٍ أَنْـكَـرَهَا نُـكِتَ فِـيْـهِ نُـكْتَـةٌ بَيْضَاءُ ، حَتَّىٰ تَصِيْـرَ عَلَـىٰ قَـلْبَيْـنِ : عَلَـىٰ أَبْـيَـضَ مِثْـلِ الصَّفَا ، فَـلَا تَـضُرُّهُ فِـتْـنَـةٌ مَـا دَامَتِ السَّمٰـوَاتُ وَالْأَرْضُ ، وَالْآخَرُ أَسْوَدُ مُـرْبَادًّا ، كَالْكُوْزِ مُـجَخِّـيًا : لَا يَعْرِفُ مَعْرُوْفًـا وَلَا يُـنْـكِرُ مُنْكَـرًا ، إِلَّا مَا أُشْرِبَ مِنْ هَوَاهُ.
Fitnah-fitnah menempel dalam lubuk hati manusia sedikit demi sedikit bagaikan tenunan sehelai tikar. Hati yang menerimanya, niscaya timbul bercak (noktah) hitam, sedangkan hati yang mengingkarinya (menolak fitnah tersebut), niscaya akan tetap putih (cemerlang). Sehingga hati menjadi dua : yaitu hati yang putih seperti batu yang halus lagi licin, tidak ada fitnah yang membahayakannya selama langit dan bumi masih ada. Adapun hati yang terkena bercak (noktah) hitam, maka (sedikit demi sedikit) akan menjadi hitam legam bagaikan belanga yang tertelungkup (terbalik), tidak lagi mengenal yang ma’ruf (kebaikan) dan tidak mengingkari kemungkaran, kecuali ia mengikuti apa yang dicintai oleh hawa nafsunya.”
TAKHRIJ HADITS:
Hadits ini shahih. Diriwayatkan oleh :
1. Imam Muslim dalam Shahiih-nya (no. 144),
2. Imam Ahmad dalam Musnad-nya (V/405),
3. Imam al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah (no. 4218).
SYARAH HADITS:
Menurut bahasa, kata fitnah –bentuk tunggal dari kata fitan- berarti musibah, cobaan dan ujian. Makna kata ini berasal dari perkataan: فَتَنْتُ الْفِضَّةَ وَالذَّهَبَ, artinya aku uji perak dan emas dengan api agar dapat dibedakan antara yang buruk dan yang baik[1].
Menurut istilah (terminologi), kata fitnah disebutkan berulang dalam al-Qur'ân pada 72 ayat, dan seluruh maknanya berkisar pada ketiga makna di atas.
Setiap hari hati manusia didera oleh fitnah. Fitnah terbagi dua macam, yaitu fitnah syahwat dan fitnah syubhat (dan ini adalah fitnah yang paling besar). Keduanya bisa ada dalam diri seseorang, atau hanya salah satunya saja. Fitnah syahwat adalah fitnah keduniaan, seperti harta, kedudukan, pujian, sanjungan, wanita, dan yang lainnya. Fitnah syubhat adalah fitnah pada pemahaman, keyakinan, aliran, juga pemikiran yang menyimpang.
Ibnul Qayyim rahimahullah (wafat th. 751 H) menjelaskan tentang fitnah syubhat dan syahwat, “Fitnah syubhat ada karena lemahnya pengetahuan dan sedikitnya ilmu, apalagi jika dibarengi dengan jeleknya niat serta terturutinya hawa nafsu, maka itu adalah fitnah dan musibah yang besar. Maka katakanlah semaumu tentang orang sesat dan niatnya jelek, yang menjadi hakimnya adalah hawa nafsunya bukan petunjuk, dibarengi dengan lemahnya pengetahuan, tidak banyak tahu tentang ajaran yang dibawa Rasulullah, maka dia termasuk salah satu dari yang disebutkan Allâh Azza wa Jalla dalam firman-Nya :
إِنْ يَتَّبِعُونَ إِلَّا الظَّنَّ وَمَا تَهْوَى الْأَنْفُسُ
“… Mereka hanya mengikuti dugaan, dan apa yang diingini oleh keinginannya …” [an-Najm/53:23]
Allâh Azza wa Jalla telah mengabarkan bahwa mengikuti hawa nafsu akan menyesatkan seseorang dari jalan Allâh Azza wa Jalla , Allâh Azza wa Jalla berfirman :
يَا دَاوُودُ إِنَّا جَعَلْنَاكَ خَلِيفَةً فِي الْأَرْضِ فَاحْكُمْ بَيْنَ النَّاسِ بِالْحَقِّ وَلَا تَتَّبِعِ الْهَوَىٰ فَيُضِلَّكَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ ۚ إِنَّ الَّذِينَ يَضِلُّونَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ لَهُمْ عَذَابٌ شَدِيدٌ بِمَا نَسُوا يَوْمَ الْحِسَابِ
(Allâh berfirman), ‘Wahai Dawud! Sesungguhnya engkau Kami jadikan khalifah (penguasa) di bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah engkau mengikuti hawa nafsu, karena akan menyesatkan engkau dari jalan Allâh. Sungguh, orang-orang yang sesat dari jalan Allâh akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan.’” [Shâd/38:26]
Dan ujung dari fitnah ini adalah kekufuran dan kemunafikan. Dialah fitnahnya orang munafiqin, fitnahnya ahlul bid’ah sesuai dengan tingkatan kebid’ahan mereka. Mereka berbuat bid’ah dikarenakan fitnah syubhat yang menyebabkan al-haq menjadi tersamar bagi mereka dengan kebathilan, petunjuk tersamarkan dengan kesesatan.
Dan seseorang tidak akan selamat dari fitnah ini kecuali dengan mengikuti Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , berhukum dengannya dalam masalah agama yang kecil maupun yang besar, yang zhahir maupun bathin, dalam masalah keyakinan dan perbuatan, hak-haknya dan syariatnya. Maka dia menerima hakikat iman, syariat Islam, dan apa-apa yang Allâh tetapkan berupa sifat-sifat, perbuatan-perbuatan, serta nama-nama-Nya, dan apa-apa yang Allâh nafikan dari-Nya. Sebagaimana dia menerima dari Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam kewajiban shalat, waktu-waktunya, dan jumlah raka’atnya, kadar nishab zakat dan orang-orang yang berhak menerimanya, kewajiban berwudhu dan mandi junub, serta puasa Ramadhan. Jadi dia tidak boleh menjadikan Muhammad n sebagai Rasul dalam satu urusan agama dan tidak dalam urusan agama yang lain, tetapi dia (harus) menjadikan Muhammad n sebagai Rasul dalam segala sesuatu yang dibutuhkan oleh ummat dalam ilmu dan amal, dia tidak mengambil (syari’at) kecuali darinya. Jadi petunjuk itu tidak keluar dari perkataan dan perbuatan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , dan semua yang tidak sesuai dengannya (dengan syari’at yang beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bawa) adalah kesesatan.
Jenis fitnah yang kedua yaitu fitnah syahwat. Allâh Azza wa Jalla telah menyebutkan fitnah tersebut dalam firman-Nya :
كَالَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ كَانُوا أَشَدَّ مِنْكُمْ قُوَّةً وَأَكْثَرَ أَمْوَالًا وَأَوْلَادًا فَاسْتَمْتَعُوا بِخَلَاقِهِمْ فَاسْتَمْتَعْتُمْ بِخَلَاقِكُمْ كَمَا اسْتَمْتَعَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ بِخَلَاقِهِمْ وَخُضْتُمْ كَالَّذِي خَاضُوا ۚ أُولَٰئِكَ حَبِطَتْ أَعْمَالُهُمْ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ ۖ وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ
(Keadaan kamu kaum munafik dan musyrikin) seperti orang-orang sebelum kamu, mereka lebih kuat daripada kamu, dan lebih banyak harta dan anak-anaknya. Maka mereka telah menikmati bagiannya, dan kamu telah menikmati bagianmu sebagaimana orang-orang yang sebelummu menikmati bagiannya, dan kamu mempercakapkan (hal-hal yang bathil) sebagaimana mereka mempercakapkannya. Mereka itu sia-sia amalnya di dunia dan di akhirat. Mereka itulah orang-orang yang rugi.” [at-Taubah/9:69]
Maksudnya, bersenang-senanglah dengan bagian kalian di dunia dan syahwatnya. al-Khalâq yaitu bagian yang telah ditentukan. Kemudian Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “وَخُضْتُمْ كَالَّذِي خَاضُوا (dan kamu mempercakapkan (hal-hal yang bathil) sebagaimana mereka mempercakapkannya…” Percakapan yang bathil ini adalah syubhat.
Allâh Azza wa Jalla mengisyaratkan dalam ayat tersebut apa-apa yang bisa menimbulkan kerusakan hati dan agama, yaitu bersenang-senang dengan dunia (berupa harta dan anak-anak) dan percakapan-percakapan yang bathil. Karena kerusakan agama itu bisa terjadi dengan sebab keyakinan bathil dan membicarakannya, atau dengan perbuatan yang tidak sesuai dengan ilmu yang benar. Yang pertama adalah bid’ah dan sejenisnya, dan yang kedua adalah kefasikan amalan. Kerusakan pertama merupakan kerusakan dari segi syubhat, dan yang kedua dari segi syahwat.
Karena inilah Ulama salaf berkata, “Berhati-hatilah dari dua jenis manusia : Pengekor hawa nafsu yang terfitnah oleh hawa nafsunya dan pecinta dunia yang telah dibutakan oleh dunia.”
Mereka juga berkata, “Berhati-hatilah dari fitnah orang alim yang fajir (menyimpang), dan orang yang suka beribadah tetapi bodoh, karena fitnah mereka berdua adalah fitnah bagi orang-orang yang terfitnah.”
Asal atau akar dari semua fitnah itu adalah perbuatan mendahulukan akal daripada syari’at, dan hawa nafsu daripada akal. Yang pertama merupakan akar fitnah syubhat, dan yang kedua adalah akar fitnah syahwat.
Fitnah syubhat itu harus ditangkal dengan keyakinan, dan fitnah syahwat ditangkal dengan kesabaran. Karena itulah Allâh Subhanahu wa Ta’ala menjadikan kepemimpinan agama bergantung kepada dua perkara ini (sabar dan yakin). Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَجَعَلْنَا مِنْهُمْ أَئِمَّةً يَهْدُونَ بِأَمْرِنَا لَمَّا صَبَرُوا ۖ وَكَانُوا بِآيَاتِنَا يُوقِنُونَ
Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami selama mereka sabar. Mereka meyakini ayat-ayat Kami.” [as-Sajdah/32:24]
Ayat tersebut menunjukkan bahwa dengan sabar dan yakin, kepemimpinan dalam agama akan dapat diraih. Allâh Subhanahu wa Ta’ala menyatukan keduanya juga dalam firman-Nya:
وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ
“…Serta saling menasihati untuk kebenaran dan saling menasihati untuk kesabaran.” [al-‘Ashr/103:3]
Maka saling menasehati dalam kebenaran akan dapat melawan syubhat, dan saling menasehati dalam kesabaran akan menghentikan syahwat. Allâh menyatukan keduanya dalam firman-Nya :
وَاذْكُرْ عِبَادَنَا إِبْرَاهِيمَ وَإِسْحَاقَ وَيَعْقُوبَ أُولِي الْأَيْدِي وَالْأَبْصَارِ
“Dan ingatlah hamba-hamba Kami: Ibrahim, Ishaq dan Ya‘qub yang mempunyai kekuatan-kekuatan yang besar dan ilmu-ilmu (yang tinggi).” [Shâd/38:45]
Al-Aidii adalah kekuatan dalam beribadah kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala dan taat kepada-Nya, al-Abshâr adalah ilmu dalam agama Allâh. Perkataan para Ulama salaf pun berkisar pada pengertian tersebut.
Maka dengan kesempurnaan akal dan kesabaran, fitnah syahwat dapat dilawan, dan dengan kesempurnaan ilmu dan keyakinan, fitnah syubhat dapat dilawan. Wallahul musta’an.”[2]
Penyakit syahwat juga dijelaskan dengan ayat dan hadits. Allâh Azza wa Jalla berfirman :
زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوَاتِ مِنَ النِّسَاءِ وَالْبَنِينَ وَالْقَنَاطِيرِ الْمُقَنْطَرَةِ مِنَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَالْخَيْلِ الْمُسَوَّمَةِ وَالْأَنْعَامِ وَالْحَرْثِ ۗ ذَٰلِكَ مَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا ۖ وَاللَّهُ عِنْدَهُ حُسْنُ الْمَآبِ
Dijadikan terasa indah dalam pandangan manusia cinta terhadap apa yang diinginkan, berupa perempuan-perempuan, anak-anak, harta benda yang bertumpuk dalam bentuk emas dan perak, kuda pilihan, hewan ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allâh-lah tempat kembali yang baik.” [Ali ‘Imrân/3:14]
Kemudian Allâh Subhanahu wa Ta’ala menjelaskan bahwa sesungguhnya yang dimaksud dalam ayat ini adalah kebaikan itu bukan dengan syahwat, akan tetapi kebaikan itu yaitu apa-apa yang disediakan Allâh Subhanahu wa Ta’ala bagi siapa saja dari para hamba-Nya yang bertakwa dan selamat dari tujuan syahwat ini dan bersembunyi dari syahwat dengan apa-apa yang sudah dihalalkan oleh Allâh, serta sabar atas apa yang diharamkan oleh Allâh. Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
قُلْ أَؤُنَبِّئُكُمْ بِخَيْرٍ مِنْ ذَٰلِكُمْ ۚ لِلَّذِينَ اتَّقَوْا عِنْدَ رَبِّهِمْ جَنَّاتٌ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا وَأَزْوَاجٌ مُطَهَّرَةٌ وَرِضْوَانٌ مِنَ اللَّهِ ۗ وَاللَّهُ بَصِيرٌ بِالْعِبَادِ
Katakanlah: Inginkah aku kabarkan kepadamu apa yang lebih baik dari yang demikian itu. Untuk orang-orang yang bertaqwa (kepada Allâh), pada sisi Rabb mereka ada surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya. Dan (mereka dikaruniai) isteri-isteri yang disucikan serta keridhaan Allâh. Dan Allâh Maha Melihat akan hamba-hamba-Nya. [Ali ‘Imrân/3:15]
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Siapa saja di antara mereka yang bersabar terhadap fitnah, niscaya akan selamat dari fitnah yang lebih besar. Sebaliknya, siapa saja yang terbenam dalam fitnah, niscaya akan jatuh ke dalam fitnah yang lebih buruk lagi. Jika orang yang tengah hanyut dalam fitnah segera bertaubat dengan benar niscaya dia akan selamat. Namun, jika ia tetap tenggelam di dalamnya berati orang itu berada di atas jalan orang yang binasa. Karena itulah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
مَا تَرَكْتُ بَعْدِيْ فِتْنَةً هِيَ أَضَرُّ عَلَى الِرّجَالِ مِنَ الِنّسَاءِ.
“Tidak ada fitnah yang aku tinggalkan setelahku yang lebih berbahaya bagi laki-laki daripada (fitnah) wanita.[3,4]
Penyakit syahwat juga dijelaskan dalam firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala :
يَا نِسَاءَ النَّبِيِّ لَسْتُنَّ كَأَحَدٍ مِنَ النِّسَاءِ ۚ إِنِ اتَّقَيْتُنَّ فَلَا تَخْضَعْنَ بِالْقَوْلِ فَيَطْمَعَ الَّذِي فِي قَلْبِهِ مَرَضٌ
Wahai istri-istri Nabi! Kamu tidak seperti perempuan-perempuan yang lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk (melemah lembutkan suara) dalam berbicara sehingga orang yang di dalam hatinya ada penyakit menginginkan sesuatu…” [al-Ahzâb/33: 32]
Hati yang sakit akan terganggu oleh syahwat sekecil apa pun dan tidak akan mampu menangkal syubhat yang mendatanginya. Sementara hati yang sehat dan kuat, meski sering didatangi syahwat atau syubhat, namun ia berhasil menghalaunya dengan pertolongan Allâh Azza wa Jalla dan dengan kekuatan iman dan kesehatannya.
Sedangkan penyakit syubhat adalah sebagaimana dinyatakan di dalam firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala :
فِي قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ فَزَادَهُمُ اللَّهُ مَرَضًا
“Dalam hati mereka ada penyakit, lalu ditambah penyakitnya oleh Allâh...” [Al-Baqarah/2: 10]
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
إِنَّ لِـكُـلِّ أُمَّـةٍ فِتْنَـةً وَفِتْنَـةُ أُمَّـتِـي الْـمَـالُ.
Setiap ummat itu ada fitnahnya, dan fitnahnya ummatku adalah harta.[5]
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda :
مَا تَرَكْتُ بَعْدِيْ فِتْنَةً هِيَ أَضَرُّ عَلَى الِرّجَالِ مِنَ الِنّسَاءِ
Tidak ada fitnah yang aku tinggalkan setelahku yang lebih berbahaya bagi laki-laki daripada (fitnah) wanita.[6]
Fitnah ini akan masuk ke dalam hati manusia yang merupakan sebab hati menjadi sakit. Dan fitnah ini banyak sekali macamnya.
Di antara Jenis Fitnah Syahwat:
• Melihat kepada perkara-perkara yang haram dilihat, sering memandang perempuan yang bukan mahram, membaca majalah porno, melihat gambar-gambar yang terbuka auratnya, menonton film cabul, menonton TV, sinetron, dan lain-lainnya.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
... فَزِنَـى الْـعَيْـنَيـْنِ الـنَّظَـرُ ...
... dan zinanya kedua mata adalah dengan memandang... [7]
Menjaga pandangan dan kemaluan termasuk dalam tazkiyatun nufus. Allâh Azza wa Jalla berfirman :
قُلْ لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ۚ ذَٰلِكَ أَزْكَىٰ لَهُمْ ۗ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ
“Katakanlah kepada laki-laki yang beriman, agar mereka menjaga pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu lebih suci bagi mereka. Sungguh, Allâh Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat.” [an-Nûr/24:30]
• Ikhtilâth (campur-baur laki-laki dan perempuan), khalwat (berdua-duaan laki-laki dan perempuan), pacaran, mabuk asmara (kasmaran), dan sebagainya. Pacaran hukumnya haram dalam Islam.
• Bersentuhan antara laki-laki dan perempuan, atau berjabat tangan antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram, dan sebagainya. Berjabat tangan antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram hukumnya haram.
• Zina, kumpul kebo, nikah mut’ah, dan sebagainya. Nikah mut’ah sama dengan zina. Zina itu haram dan dosa besar.
• Homosex dan sodomi yang merupakan perbuatan kaum Luth. Hukumnya haram dan dosa besar.
• Onani dan masturbasi. Hukumnya haram.
Adapun di antara jenis fitnah syubhat adalah sebagaimana firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala:
فِي قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ فَزَادَهُمُ اللَّهُ مَرَضًا
Dalam hati mereka ada penyakit, lalu ditambah penyakitnya oleh Allâh ... [al-Baqarah/2:10]
Qatâdah, Mujâhid, dan lain-lain rahimahumullaah menafsirkan, “Di hatinya ada penyakit, yaitu penyakit syakk (keragu-raguan).”[8]
Fitnah syubhat adalah fitnah kesesatan, maksiat, bid’ah, kezhaliman, kebodohan, keyakinan, pemikiran, pemahaman yang sesat, aliran-aliran yang sesat, dan yang lainnya.
Fitnah syahwat membuat rusak niat dan tujuan dalam ibadah kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala . Dan fitnah syubhat membuat rusaknya ilmu dan keyakinan.
Tatkala manusia dihadapkan pada fitnah berupa syahwat dan syubhat, maka hati manusia akan terbagi menjadi dua macam:
Pertama: Hati yang ketika datang fitnah langsung menyerapnya seperti spons yang menyerap air, lalu muncul titik hitam di tubuhnya. Ia terus menyerap setiap fitnah yang ditawarkan kepadanya sehingga tubuhnya menghitam dan miring. Bila sudah hitam dan miring ia akan berhadapan dengan dua malapetaka yang sangat bahaya:
1. Tidak dapat membedakan mana yang ma’ruf (baik) dan mana yang munkar (buruk).
Terkadang penyakit ini semakin parah sehingga ia menganggap yang ma’ruf adalah munkar dan yang munkar adalah ma’ruf. Yang sunnah dianggap bid’ah dan yang bid’ah dianggap sunnah. Yang benar dianggap salah dan yang salah dianggap benar.
Ibnu Mas’ud Radhiyallahu anhu berkata :
هَـلَـكَ مَنْ لَـمْ يَعْرِفْ قَلْبُـهُ الْـمَعْرُوْفَ وَيُنْـكِرْ قَلْبُـهُ الْـمُنْـكَـرَ.
Binasalah orang yang hatinya tidak mengetahui yang ma’ruf dan tidak mengingkari kemungkaran. [9]
2. Menjadikan hawa nafsu sebagai sumber hukum yang lebih tinggi daripada apa yang diajarkan oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , selalu tunduk kepada hawa nafsu dan mengikuti kemauannya.
Kedua: Hati putih yang telah disinari oleh cahaya iman yang terang benderang. Jika hati semacam ini ditawari fitnah, ia akan mengingkari dan menolaknya sehingga sinarnya menjadi lebih kuat dan lebih terang.[10]
Nasihat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah :
Janganlah engkau jadikan hatimu seperti busa dalam menampung segala yang datang dan syubhat-syubhat, ia menyerapnya sehingga yang keluar dari busa tadi adalah syubhat-syubhat yang diserapnya tadi. Namun jadikanlah hatimu itu seperti kaca yang kokoh dan rapat (air tidak dapat merembes ke dalamnya) sehingga syubhat-syubhat tersebut hanya lewat di depannya dan tidak menempel di kaca. Dia melihat syubhat-syubhat tersebut dengan kejernihannya dan menolaknya dengan sebab kekokohannya. Karena kalau tidak demikian, apabila hatimu menyerap setiap syubhat yang datang kepadanya, maka hati tersebut akan menjadi tempat tinggal bagi segala syubhat.[11]
Wajib diperhatikan oleh setiap muslim dan muslimah bahwa hati manusia senantiasa berbolak balik. Hati ini tidak mudah dikendalikan. Hati sangatlah mudah untuk berubah. Bisa jadi, di pagi hari seseorang masih dalam keadaan beriman, namun sore harinya berubah kafir, atau sore hari ia beriman tapi di pagi harinya ia berubah kafir. Di pagi hari ia masih mengikuti Sunnah, namun di sore harinya ia meninggalkan Sunnah. Di pagi hari ia memulai dengan amal-amal ketaatan namun di sore hari ia bermaksiat. Pagi hari ia memanfaatkan waktu dengan amal-amal yang bermanfaat, namun di sore harinya ia mengerjakan hal-hal yang sia-sia.
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
بَادِرُوْا بِالْأَعْمَـالِ فِتَنًا كَقِطَعِ اللَّيْلِ الْـمُظْلِمِ ، يُصْبِحُ الرَّجُلُ مُؤْمِنًا وَيُمْسِي كَافِرًا ، أَوْ يُمْسِي مُـؤْمِنًـا وَيُصْبِحُ كَافِرًا ، يَبِيْعُ دِيْنَهُ بِعَرَضٍ مِنَ الدُّنْيَا.
Bersegeralah mengerjakan amal-amal shalih sebelum kedatangan fitnah-fitnah itu yang seperti potongan malam yang gelap; di pagi hari seseorang dalam keadaan beriman dan di sore hari menjadi kafir, atau di sore hari dalam keadaan beriman dan di pagi hari menjadi kafir karena ia menjual agamanya dengan keuntungan duniawi yang sedikit[12]
Inilah hati, yang selalu berbolak-balik karena ia berada di antara jari dari jari-jemari Allâh Yang Maha Penyayang. Karenanya, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mewasiatkan kepada ummatnya untuk memperbanyak permohonan kepada Allâh agar diberikan ketetapan hati.
Dari Anas bin Malik Radhiyallahu anhu , ia berkata, “Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam sering mengucapkan :
يَـا مُـقَـلِـّبَ الْـقُـلُـوْبِ ، ثَـبّـِتْ قَـلْبِـيْ عَلَـىٰ دِيْـنِـكَ
Ya Allâh, Yang membolak-balikkan hati, tetapkan hatiku di atas agama-Mu.
Anas Radhiyallahu anhu melanjutkan, “Wahai Rasûlullâh ! Kami telah beriman kepadamu dan kepada apa (ajaran) yang engkau bawa. Masihkah ada yang membuatmu khawatir atas kami?” Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab :
نَـعَمْ ، إِنَّ الْـقُـلُوْبَ بَـيْـنَ أُصْبُـعَـيْـنِ مِنْ أَصَابِعِ اللّٰـهِ يُـقَلِـّبُـهَـا كَـيْـفَ يَـشَاءُ.
Benar (ada yang aku khawatirkan kepada kalian), sesungguhnya hati-hati itu berada di antara dua jari dari jari-jemari Allâh, dimana Dia membolak-balikkan hati itu sekehendak-Nya.[13]
Hadits-hadits yang semakna juga diriwayatkan dari Ummu Salamah, ‘Aisyah, Shahabat-Shahabat lainnya Radhiyallahu anhum.[14]
Al-Qur-an adalah penawar dari penyakit syahwat dan syubhat. Sebab, al-Qur'ân berisi bukti-bukti dan dalil-dalil mutlak yang bisa membedakan antara haq (benar) dan bathil sehingga penyakit-penyakit syubhat yang merusak ilmu, keyakinan, dan pemahaman bisa hilang. Karena seseorang bisa melihat segala sesuatu sesuai dalil dari al-Qur'ân dan as-Sunnah dengan pemahaman yang benar.
Al-Qur'ân juga dapat mengobati penyakit syahwat karena di dalamnya terdapat hikmah dan petuah yang baik melalui targhîb (anjuran), tarhîb (peringatan), anjuran untuk bersikap zuhud terhadap dunia dan mengutamakan akhirat, contoh-contoh dan kisah-kisah yang mengandung banyak pelajaran dan petuah. Sehingga, apabila hati yang sehat mengetahui hal itu, ia akan menyukai hal-hal yang bermanfaat baginya di dunia dan akhirat, dan membenci segala yang merugikan dirinya.
Allâh Azza wa Jalla berfirman :
وَنُنَزِّلُ مِنَ الْقُرْآنِ مَا هُوَ شِفَاءٌ وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِينَ ۙ وَلَا يَزِيدُ الظَّالِمِينَ إِلَّا خَسَارًا
Dan Kami turunkan dari al-Qur'ân sesuatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman. Sedangkan bagi orang yang zhalim (al-Qur'ân) itu hanya akan menambah kerugian.” [Al-Isrâ'/17:82]
Setiap orang hendaklah mempelajari tanda-tanda (ciri-ciri) hati yang sakit dan hati yang sehat agar dapat mengetahui kondisi hatinya secara tepat. Bila hatinya sakit, ia harus berusaha untuk mengobatinya dengan al-Qur'ân dan as-Sunnah menurut pemahaman Salafush Shalih serta senantiasa menjaga kesehatannya, mudah-mudahan kita meninggal dunia dengan hati yang selamat (sehat). Karena hati yang baik, sehat, dan selamatlah yang akan diterima oleh Allâh Subhanahu wa Ta’ala pada hari Kiamat.[15]
FAWAA-ID:
1. Hati adalah tempat ujian.
2. Hati manusia setiap hari dimasuki oleh fitnah, baik fitnah syahwat maupun fitnah syubhat.
3. Fitnah syahwat berkaitan dengan fitnah keduniaan, seperti harta, kedudukan, pujian, sedangkan fitnah syubhat berkaitan dengan fitnah pada pemahaman, keyakinan, aliran, juga pemikiran yang menyimpang.
4. Sumber fitnah syubhat yaitu perbuatan mendahulukan akal daripada syari’at sedangkan asal fitnah syahwat mendahulukan hawa nafsu daripada akal.
5. Fitnah syubhat adalah fitnahnya orang-orang munafik dan ahlul bid’ah karena fitnah syubhat ini membuat mereka tidak memberdakan antara yang haq dan yang bathil, dan antara petunjuk dan kesesatan. Semuanya menjadi rancu
6. Fitnah syubhat bisa ditangkal dengan keyakinan dan fitnah syubhat ditolak dengan kesabaran.
7. Hidup dan bersihnya hati merupakan pokok segala kebaikan, adapun mati dan gelapnya hati adalah pokok segala keburukan.
8. Seseorang tidak akan selamat dari fitnah syubhat dan syahwat kecuali dengan mengikuti Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
9. Fitnah syahwat bisa merusak niat dan tujuan dalam ibadah kepada Allâh Azza wa Jalla . Dan fitnah syubhat merusak ilmu dan keyakinan.
10. Wajib bagi kita berhati-hati dalam berbicara dan beramal, jangan mengikuti langkah-langkah setan yang telah mengotori hati manusia dengan fitnah syubhat dan syahwat.
11. Orang yang terkena fitnah syubhat atau syahwat tidak bisa membedakan lagi antara yang ma’ruf dan munkar, kecuali mengikuti hawa nafsunya.
12. Obat yang paling mujarab untuk membersihkan hati adalah dengan menuntut ilmu syar’i berdasarkan al-Qur'ân dan Sunnah menurut pemahaman salafus shalih, mentauhidkan Allâh dan menjauhkan syirik, ikhlas, beriman dengan keimanan yang benar, serta menjauhkan perbuatan nifak dan bid’ah.
13. Selalu berdo’a dengan do’a yang diajarkan oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
يَـا مُـقَـلِـّبَ الْـقُـلُـوْبِ ، ثَـبّـِتْ قَـلْبِـيْ عَلَـىٰ دِيْـنِـكَ
Ya Allâh, Yang membolak-balikkan hati, tetapkan hatiku di atas agama-Mu.
Mudah-mudahan makalah ini bermanfaat untuk penulis dan para pembaca. Dan mudah-mudahan Allâh melindungi kita dari fitnah syahwat dan syubhat dan menunjuki kita di atas sunnah, menetapkan hati kita di atas Islam dan Sunnah, serta diberikan istiqamah sampai akhir hayat.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 02/Tahun XVI/1433H/2012M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Lisânul ‘Arab (XIII/317).
[2]. Ighâtsatul Lahfân fi Mashâyidisy Syaithân, Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, ditakhrîj oleh Syaikh al-Albâni dan ditahqiq oleh Syaikh Ali Abdul Hamid al-Halabi, (II/887-891), dengan sedikit diringkas.
[3]. Shahih: HR. Al-Bukhari (no. 5096) dan Muslim (no. 2740 (97)), dari Shahabat Usamah bin Zaid Radhiyallahu anhuma .
[4]. Ighâtsatul Lahfân fi Mashâyidisy Syaithân, (II/886). Lihat al-Fitnah wa Mauqiful Muslim minha, Dr. Muhammad Abdul Wahhab al-‘Aqil, cet. Daar Adhwa-us Salaf, hlm. 25.
[5]. Shahih: HR. at-Tirmidzi (no. 2336), Ahmad (IV/160), Ibnu Hibban (no. 2470-al-Mawârid), dan al-Hâkim (IV/318), lafazh ini milik at-Tirmidzi, beliau berkata, “Hadits ini hasan shahih.” Dari Shahabat Ka’ab bin ‘Iyadh Radhiyallahu anhu . Lihat Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah (no. 592).
[6]. Shahih: HR. al-Bukhari (no. 5096) dan Muslim (no. 2740 (97)), dari Shahabat Usamah bin Zaid Radhiyallahu anhuma.
[7]. Shahih: HR. al-Bukhari (no. 6612), Muslim (no. 2657 (20)), Ahmad (II/276) dan Abu Dawud (no. 2152).
[8]. Tafsîr Ibni Katsîr, tahqiq Sami Salamah, cet. Daar Thaybah, (I/180).
[9]. Atsar shahih: HR. ath-Thabrani dalam al-Mu’jamul Kabîr (IX/no. 8564) dan Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushannaf (no. 38577). Imam al-Haitsami berkata dalam Majma’uz Zawâ-id (VII/257), “Rawi-rawinya adalah rawi-rawi kitab ash-Shahîh.”
[10]. Lihat Mawâridul Amân al-Muntaqa min Ighâtsatil Lahfân (hlm. 39-40) dan al-Bahrur Râ-iq fiz Zuhdi war Raqâ-iq (hlm. 54-55).
[11]. Lihat Miftâh Dâris Sa’âdah (I/443) oleh Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyah, tahqiq Syaikh ‘Ali bin Hasan al-Halabi.
[12]. Shahih: HR. Muslim (no. 118 (186)), at-Tirmidzi (no. 2195), Ahmad (II/304, 523), Ibnu Hibban (no. 1868-Mawârid), dan selainnya dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu .
[13]. Shahih: HR. at-Tirmidzi (no. 2140), dan selainnya.
[14]. Sunan at-Tirmidzi (no. 3522) dengan sanad yang shahih.
[15]. Lihat buku penulis “Tazkiyatun Nufus”, hlm. 41-42, cet. Pustaka at-Taqwa.
ASAS PENETAPAN HALAL DAN HARAM.
يَا أَيُّهَا النَّاسُ كُلُوا مِمَّا فِي الْأَرْضِ حَلَالًا طَيِّبًا وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ ۚ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ ﴿١٦٨﴾ إِنَّمَا يَأْمُرُكُمْ بِالسُّوءِ وَالْفَحْشَاءِ وَأَنْ تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ مَا لَا تَعْلَمُونَ
Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu. Sesungguhnya syaitan itu hanya menyuruh kamu berbuat jahat dan keji, dan mengatakan terhadap Allâh apa yang tidak kamu ketahui. [al-Baqarah/2:168-169]
PENJELASAN AYAT:
KAUM MUKMININ DIPERINTAH UNTUK MENGKONSUMSI YANG HALAL DAN BAIK
Melalui ayat ini, Allâh Azza wa Jalla memanggil seluruh umat manusia, baik yang beriman ataupun manusia yang kufur kepada-Nya. Allâh Azza wa Jalla mengingatkan mereka akan anugerah berupa perintah kepada mereka untuk memakan apa saja yang ada di bumi, baik yang berupa biji-bijian, sayuran, dan buah-buahan, serta daging hewan dan binatang dengan dua kriteria: حَلاَلاً (yang dihalalkan bagi mereka), bukan barang yang diharamkan atau didapatkan melalui cara yang haram seperti ghashab, mencuri dan lainnya. Kedua, طَيَّباً (yang baik), maksudnya bukan barang yang khabîts (buruk) seperti bangkai, darah, daging babi dan barang-barang bersifat buruk lainnya. [1]
Maksud sesuatu yang halal adalah segala yang diizinkan oleh Allah. Sementara makna thayyib, yaitu segala yang suci, tidak najis dan tidak menjijikkan yang dijauhi jiwa manusia. Dengan demikian, dzat makanan (dan minuman) tersebut baik, tidak membahayakan tubuh dan akal mereka. [2]
Pada ayat lain, Allâh Azza wa Jalla mengarahkan perintah semakna secara khusus kepada kaum Mukminin semata dengan berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ وَاشْكُرُوا لِلَّهِ إِنْ كُنْتُمْ إِيَّاهُ تَعْبُدُونَ
Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezeki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allâh, jika benar-benar hanya kepada-Nya kamu beribadah [al-Baqarah/2:172].
Di sini, Allâh Azza wa Jalla mengarahkan perintah ini secara khusus kepada kaum Mukminin karena mereka sajalah pada hakekatnya yang dapat mengambil manfaat dari perintah-perintah dan larangan-larangan-Nya, didorong keimanan mereka kepada-Nya. Allâh Azza wa Jalla memerintahkan mereka untuk mengkonsumsi yang baik-baik dari rezeki yang diberikan kepada mereka dan bersyukur kepada Allâh Azza wa Jalla atas kenikmatan yang tercurahkan dengan cara mempergunakannya dalam ketaatan kepada Allâh Azza wa Jalla dan bekal untuk tujuan itu.
Bila pandangan kita arahkan pada ayat ini, perintah mengkonsumsi makanan yang tertuang di dalamnya hanya mempersyaratkan makanan yang baik-baik saja, tidak menyinggung status halalnya. Hal ini dikarenakan keimanan yang tertanam pada kalbu seorang Mukmin akan menghalanginya mengambil sesuatu yang tidak halal.[3]
Demikianlah semestinya seorang Mukmin, selalu memastikan apa yang masuk ke perutnya adalah barang-barang halal, menghindari sesuatu yang masih meragukan dan mencurigakan agar terhindar dari yang diharamkan Allâh Azza wa Jalla . Dan jangan pernah berpikir untuk memakan makanan haram atau mencarinya dengan cara-cara yang terlarang. Syaikh Abu Bakar Jâbir al-Jazâiri berpesan, “(Ayat ini menunjukkan) kewajiban (seorang Mukmin) mencari rezeki halal dan membatasi diri dengannya saja dalam hidup meskipun dalam kondisi sulit”.[4]
Dengan rahmat dan kasih-Nya, Allâh Azza wa Jalla memberi ruang gerak yang lebih luas bagi manusia untuk memilih makanan dan minuman. Ini lantaran makanan yang diharamkan jauh lebih sedikit ketimbang yang dihalalkan. Di pasar tradisional misalnya, bila dibandingkan jumlah dagangan yang halal dengan jualan yang dilarang, tentu lebih banyak yang pertama, bahkan jauh lebih banyak. Walillâhil hamd.
ASAS PENGHALALAN DAN PENGHARAMAN DALAM ISLAM
Syariat Islam dalam menghalalkan dan mengharamkan makanan selalu mempertimbangkan kemaslahatan dan madharat (bahaya). Segala yang diharamkan pastilah mengandung seratus persen bahaya atau memuat unsur bahaya yang dominan.[5] Demikianlah diantara keistimewaan syariat Islam, karena bersumber dari Allâh Azza wa Jalla , Dzat Yang Maha Bijaksana (al-Hakîm) dan Maha Mengetahui (al-‘Alîm) akan segala kemaslahatan bagi hamba.
Selain dua ayat yang telah dikemukakan di atas, ada beberapa ayat lain yang menggariskan dan menerangkan asas dan manhaj Islam dalam penetapan halal dan haramnya satu makanan. Allâh Azza wa Jalla berfirman:
اللَّهُ الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ الْأَرْضَ قَرَارًا وَالسَّمَاءَ بِنَاءً وَصَوَّرَكُمْ فَأَحْسَنَ صُوَرَكُمْ وَرَزَقَكُمْ مِنَ الطَّيِّبَاتِ
Allâhlah yang menjadikan bumi bagi kamu tempat menetap dan langit sebagai atap, dan membentuk kamu lalu membaguskan rupamu serta member kamu rezeki dengan sebagian yang baik-baik [al-Mukmin/40:64].
Allâh Azza wa Jalla berfirman:
وَيُحِلُّ لَهُمُ الطَّيِّبَاتِ وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبَائِثَ
Dan di (Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam) menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk [al-A’râf/7:157].
Mari kita perhatikan kaedah yang telah disimpulkan Syaikh Shaleh al-Fauzân mengenai manhaj Islam dalam menghalalkan dan mengharamkan yang menunjukkan salah satu keindahan Islam : 'Setiap barang yang thâhir (suci lawan dari najis), yang tidak mengandung bahaya sama sekali, seperti biji-bijian, buah-buahan, hewan-hewan hukumnya halal. Dan setiap barang najis, seperti bangkai dan darah, atau barang yang mutanajjis (terkena najis) dan setiap barang yang mengandung madharat (bahaya) semisal racun dan lainnya hukumnya haram (dikonsumsi)' (al-Ath'imah hlm. 28).
Tampak bahwa yang halal adalah hal-hal yang baik, dan yang diharamkan adalah hal-hal yang buruk dan berbahaya.
Dalil yang menunjukkan diperhitungkannya kesucian (tidak najisnya) barang yang dikonsumsi firman Allâh Azza wa Jalla:
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ
Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah daging babi [al-Mâidah/5:3]
Bangkai darah dan daging babi merupakan barang najis secara dzat, dan barang najis adalah khabîts (buruk).[6]
Sementara di antara dalil yang mengharuskan bebasnya barang konsumsi dari unsur yang berbahaya firman Allâh Azza wa Jalla.
وَلَا تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ
Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan [al-Baqarah/2:195]
Allâh Azza wa Jalla berfirman:
وَلَا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ
Dan janganlah kamu membunuh dirimu [an-Nisâ/4:29]
Ayat-ayat ini menunjukkan bahwa segala yang khabîts atau membahayakan diharamkan dikonsumsi dan dimanfaatkan. [7]
Demikian manhaj penghalalan dan pengharaman sesuatu seperti manhaj Islam dalam seluruh aspek kehidupan yang mengedepankan kemaslahatan dan perlindungan terhadap jiwa, badan, akal. Sementara di masa Jahiliyah, penetapan halal dan haram merujuk hawa nafsu dan taklid buta terhadap ajaran nenek moyang. Begitu pula yang terjadi pada agama Nasrani, halal dan haram berdasarkan kehendak pemuka agama mereka.
Dari sini, seorang Mukmin harus mengutamakan dan mendahulukan ketetapan Allâh Azza wa Jalla dan Rasul-Nya saat berhadapan dengan ketetapan adat atau budaya yang mengharamkan sesuatu yang dihalalkan oleh Islam, atau sebaliknya menghalalkan sesuatu yang diharamkan oleh Islam. Sebab secara prinsip, penetapan halal dan haram adalah hak Allâh Azza wa Jalla . Barang siapa mengharamkan yang halal dan menghalalkan yang haram pada hakekatnya telah memposisikan diri sebagai sekutu Allâh Azza wa Jalla dalam hak tasyrî' (penetapan syariat). Karenanya, Allâh Azza wa Jalla mencela kaum Yahudi dan Nasrani karena ketaatan mereka yang berlebihan terhadap para pemuka agama mereka, sampai menghalalkan dan mengharamkan apa yang dikatakan oleh pemuka agama mereka. Dengan ini, mereka telah menjadikan para pendeta itu sebagai tandingan-tandingan Allâh.
Allâh Azza wa Jalla berfirman:
اتَّخَذُوا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ
Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allâh [at-Taubah/9:31]
Begitu pula, Allâh Azza wa Jalla mencela kaum musyrikin pada masa Jahiliyah yang menghalalkan bangkai yang telah diharamkan Allâh Azza wa Jalla dan mengharamkan beberapa jenis binatang ternak yang dihalalkan oleh Allâh Azza wa Jalla , karena mengikuti warisan budaya nenek moyang dan hawa nafsu mereka.
Allâh Azza wa Jalla berfirman:
مَا جَعَلَ اللَّهُ مِنْ بَحِيرَةٍ وَلَا سَائِبَةٍ وَلَا وَصِيلَةٍ وَلَا حَامٍ ۙ وَلَٰكِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا يَفْتَرُونَ عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ ۖ وَأَكْثَرُهُمْ لَا يَعْقِلُونَ﴿١٠٣﴾وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ تَعَالَوْا إِلَىٰ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَإِلَى الرَّسُولِ قَالُوا حَسْبُنَا مَا وَجَدْنَا عَلَيْهِ آبَاءَنَا ۚ أَوَلَوْ كَانَ آبَاؤُهُمْ لَا يَعْلَمُونَ شَيْئًا وَلَا يَهْتَدُونَ
Allâh sekali-kali tidak pernah mensyariatkan adanya bahirah, sâibah, washîilah dan hâm, akan tetapi orang-orang kafir membuat-buat kedustaan terhadap Allâh , dan kebanyakan mereka tidak mengerti. Apabila dikatakan kepada mereka: “Marilah mengikuti apa yang diturunkan Allâh dan mengikuti Rasul, mereka menjawab, Cukuplah untuk kami apa yang kami dapati bapak-bapak kami mengerjakannya”. Dan apakah mereka mengikuti juga nenek moyang mereka walaupun nenek moyang itu tidak mengetahui apa-apa dan tidak (pula) mendapat petunjuk? [al-Mâidah/5:103-104].
BAHAYA KONSUMSI HARAM
Konsumsi barang halal dan baik berpengaruh positif pada kejernihan hati dan dikabulkannya doa dan diterimanya ibadah oleh Allâh Azza wa Jalla . Sebaliknya, makanan haram akan menghalangi diterimanya doa dan ibadah. Allâh Azza wa Jalla berfirman tentang kaum Yahudi.
أُولَٰئِكَ الَّذِينَ لَمْ يُرِدِ اللَّهُ أَنْ يُطَهِّرَ قُلُوبَهُمْ ۚ لَهُمْ فِي الدُّنْيَا خِزْيٌ ۖ وَلَهُمْ فِي الْآخِرَةِ عَذَابٌ عَظِيمٌ﴿٤١﴾سَمَّاعُونَ لِلْكَذِبِ أَكَّالُونَ لِلسُّحْتِ
Mereka itu (orang Yahudi) adalah orang-orang yang Allâh tidak hendak mensucikan hati mereka. mereka beroleh kehinaan di dunia dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar. Mereka itu adalah orang-orang yang suka mendengar berita bohong, banyak memakan yang haram [al-Mâidah/5:41-42].
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Wahai manusia, sesungguhnya Allâh itu Maha Baik, tidak menerima kecuali yang baik (saja), dan sesungguhnya Allâh memerintahkan kepada kaum mukminin dengan yang diperintahkanNya kepada para rasul. Allâh berfirman : {“Hai rasul-rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik, dan kerjakanlah amal yang saleh. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”} (al-Mukminûn/23:51). Allâh berfirman: {“Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu”} . Selanjutnya, beliau menceritakan seorang lelaki yang menempuh perjalanan jauh, dalam keadaan rambut acak-acakan, berdebu, ia menengadahkan dua tangannya ke arah langit (seraya berdoa) ya rabbi, ya rabbi, ya rabbi, sementara makanannya haram, minumannya haram, dan pakaiannya haram serta dirinya dinutrisi dengan haram, bagaimana doanya dikabulkan?”. [HR. Muslim no. 1015]
LARANGAN MENGIKUTI LANGKAH SETAN
Setelah memerintahkan para hamba-Nya untuk mematuhi perintah-Nya karena akan mendatangkan kebaikan bagi mereka, Allâh melarang mereka mengikuti langkah-langkah setan. Yang dimaksud langkah-langkah setan adalah segala cara dan upaya setan untuk menyesatkan para pengikutnya, seluruh maksiat yang ia perintahkan seperti kekufuran, perbuatan fusûq )keluar dari ketaatan kepada Allâh Azza wa Jalla ) dan perbuatan kezhaliman yang bertentangan dengan ketaatan kepada Allâh Azza wa Jalla.[8] Di antara contoh langkah setan adalah mengharamkan bahîrah, sâibah dan washîlah[9] serta lainnya.
Ini berdasarkan hadits ‘Iyâdzh bin Himâr al-Mujâsyi Radhiyallahu anhu dari Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , beliau bersabda:
كُلُّ مَا نَحَلْتُهُ عَبْدًا حَلَالٌ وَإِنِّيْ خَلَقْتُ عِبَادِيْ حُنَـفَاءَ كلَّهُمْ وَإِنَّهُمْ أَتَتْهُمُ الشَّيَاطِيْنُ فَاجْتَالَتْهُمْ عَنْ دِيْنِهِمْ وَحَرَّمَتْ عَلَْيْهِمْ مَا أَحْلَلْتُ لَهُمْ
Allâh berfirman: “Sesungguhnya setiap harta yang Aku berikan kepada hamba-Ku, maka itu adalah halal bagi mereka. Dan Aku menciptakan hamba-hamba-Ku dalam keadaan hanif (lurus). Lalu setan mendatangi mereka, dan menyeret (menyimpangkan) mereka dari agama mereka (yang lurus), serta mengharamkan atas mereka yang Aku halalkan bagi mereka”. [HR. Muslim hadits no.2865]
Selanjutnya, Allâh Azza wa Jalla memberitahukan alasan agar kita semua menjauhi langkah-langkah setan karena merupakan musuh yang nyata kaum Mukminin. Permusuhan setan kaum Mukminin sangat jelas. Setan tidak menghendaki kecuali menipu dan menjadikan mereka penghuni neraka Sa’ir. Di sini, Allâh Azza wa Jalla tidak hanya melarang mengikuti langkah-langkah setan, akan tetapi juga menyebutkan permusuhannya yang sangat besar agar kita mewaspadainya serta menerangkan bahwa segala yang diperintahkan dan dibisikkan setan adalah perkara-perkara yang paling buruk dan mendatangkan kerusakan paling parah. [10]
Imam Ibnu Katsîr rahimahullah mengatakan, “Sesungguhnya setan , musuh kalian itu, menyuruh kalian melakukan perbuatan-perbuatan buruk. Yang lebih keji (parah dari itu), menyuruh berbuat faahisyah (perbuatan keji) seperti perzinaan dan lainnya. Dan (menyuruh) yang lebih buruk lagi dari itu, yaitu mengatakan sesuatu tentang Allâh Azza wa Jalla tanpa dasar ilmu (dari-Nya). Termasuk orang yang berkata mengenai Allâh Azza wa Jalla tanpa dasar ilmu (sembarangan) adalah setiap orang kafir dan orang yang berbuat bid’ah”. [11]
RENUNGAN
Syaikh 'Abdur Rahmân as-Sa’di rahimahullah mengajak kita sekalian untuk melakukan introspeksi diri. Setelah menyebutkan bahwa Allâh Azza wa Jalla hanya memerintahkan kepada keadilan, kebaikan, dan memberi kaum kerabat dan melarang dari perbuat keji, mungkar dan kezhaliman beliau berkata, “Hendaknya seseorang melihat dirinya, apakah ia mengikuti seruan Allâh yang menghendaki kebaikan dan kebahagiaan abadi bagi dirinya di dunia dan akherat, atau mengikuti ajakan setan yang merupakan musuh manusia yang hanya menginginkan keburukan baginya dan berusaha dengan sekuat tenaganya untuk membinasakannya di dunia dan akherat? ”.[12]
BEBERAPA PELAJARAN DARI AYAT:
1.Kewajiban mencari rezeki halal dan membatasi diri dengannya saja dalam hidup.
2. Hukum asal makanan dan minuman adalah ibâhah (diperbolehkan) untuk dikonsumsi maupun dimanfaatkan, sampai ada larangan khusus.
3. Yang halal adalah segala yang dihalalkan oleh Allâh Azza wa Jalla dan yang haram adalah yang diharamkan oleh Allâh Azza wa Jalla. Dalam masalah ini, akal tidak berperan sama sekali.
4. barang haram ada dua jenis: barang yang memang diharamkan dzatnya, sesuatu yang khabiits (jelas keburukannya), lawan dari thayyib, atau diharamkan karena berhubungan dengan pelanggaran terhadap hak Allâh Azza wa Jalla karena didapatkan melalui cara yang haram atau melanggar hak sesama manusia karena diambil dari orang lain dengan paksa misalnya.
5. Wajib menjauhi segala hal yang buruk dan keji yang dibisikkan oleh setan.
6. Haramnya mengikuti langkah-langkah setan yang mencakup setiap keyakinan, perbuatan dan perkataan yang dilarang syariat. Wallâhu a’lam.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 02/Tahun XVI/1433H/2012M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Tafsir Ibnu Katsir 1/482, Tafsir as-Sa’di hlm.68
[2]. Lihat Tafsir Ibnu Katsir 1/482, Aisarut Tafâsir 1/70
[3]. Lihat Tafsir as-Sa’di hlm.70
[4]. Aisarut Tafâsir 1/71
[5]. Adapun larangan mengkonsumsi sebagian yang baik-baik pada bangsa Yahudi, itu merupakan hukuman bagi mereka atas tindak kezhaliman yang mereka perbuat. Lihat QS. an-Nisâ`:/4:160 , al-An'âm/6:146
[6]. Lihat juga QS. al-A’raf:157
[7]. Al-Ath'imah hlm. 28
[8]. Tafsir Ibnu Jarir ath-Thabari 1/102, Tafsir Ibnu Katsir 1/482, Tafsir as-Sa’di hlm. 68
[9]. Bahîrah ialah unta betina yang telah beranak lima kali dan anak yang kelima itu jantan, lalu unta betina itu dibelah telinganya, dilepaskan, tidak boleh ditunggangi lagi dan tidak boleh diambil air susunya. Sâibah adalah unta betina yang dibiarkan pergi ke mana saja lantaran sesuatu nazar. Washîlah yaitu seekor domba betina melahirkan anak kembar yang terdiri dari jantan, dan betina, maka yang jantan ini disebut washîlah, tidak boleh disembelih dan diserahkan kepada berhala..
[10]. Lihat Tafsir as-Sa’di hlm. 68
[11]. Tafsir Ibnu Katsir 1/483
[12]. Tafsir as-Sa'di hlm. 69 secara ringkas.
tuntunan cara menjalankan agama islam
Sesungguhnya Allâh Subhanahu wa Ta’ala telah menciptakan manusia, dari tidak ada menjadi ada. Allâh Azza wa Jalla telah memberikan berbagai keperluan hidup manusia di dunia ini. Dia juga memberikan akal dan naluri, yang dengannya -secara global- manusia dapat membedakan mana yang bermanfaat dan yang berbahaya.
Allâh Azza wa Jalla menjadikan manusia dapat mendengar, melihat, berfikir, berbicara, dan berusaha. Sungguh, semua itu sebagai ujian, apakah manusia akan bersyukur kepada Penciptanya ? Beribadah kepada-Nya semata, taat dan tunduk terhadap syari’at-Nya ? Ataukah mengingkari nikmat-Nya dan menentang agama-Nya ?!
Karena sesungguhnya Allâh Azza wa Jalla menciptakan jin dan manusia adalah untuk beribadah kepada-Nya semata. Allâh Subhanahu wa Ta’ala tidak menghendaki dari mereka apa yang dikehendaki majikan terhadap budaknya, yaitu membantunya untuk meraih rizqi dan makanan. Bahkan Allâh Subhanahu wa Ta’ala semata yang menjamin rizqi seluruh makhluk-Nya. Allâh berfirman menjelaskan hakekat ini dalam al-Qur’ân :
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada- Ku. [adz-Dzâriyât/51:56]
Oleh karena itu sebagai manusia, kita wajib beribadah kepada-Nya, dengan mengikuti agama Islam yang Allâh Subhanahu wa Ta’ala ridhai, karena Allâh Azza wa Jalla tidak akan menerima agama selainnya. Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ اللَّهِ الْإِسْلَامُ
Sesungguhnya agama di sisi Allâh hanyalah Islam. [Ali-‘Imron/3:19]
Allâh Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman :
وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ
Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) darinya, dan di akhirat dia termasuk orang-orang yang rugi. [Ali-‘Imran/3: 85]
BAGAIMANA CARA MEN JALANKAN AGAMA ISLAM?
Umat Islam yang menjalankan agama Islam, mereka beribadah hanya kepada Rabb yang haq, yaitu Allâh Azza wa Jalla dengan mengikuti Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, melaksanakan shalat lima waktu dengan kiblat yang satu, yaitu Ka’bah di kota Mekah, memiliki tujuan yang satu, yaitu meraih ridha Allâh Subhanahu wa Ta’ala . harapan mereka yaitu bisa meraih kebahagiaan sempurna dengan dimasukkan ke surga dan selamat dari neraka. Dan Allâh Azza wa Jalla memerintahkan kaum Mukminin agar bersatu di atas kebenaran dan melarang berpecah-belah.
Namun dalam kenyataan hidup ini, kita melihat umat yang berselisih, berpecah-belah, saling membenci dan menjauhi ! Banyak yang fanatik kepada seorang ustadz, kyai, atau syaikh, atau fanatik kepada madzhab, kelompok atau organisasi keagamaan!
Padahal agama Islam telah ada dan telah sempurna sebelum kelahiran atau kemunculan perkara-perkara atau orang-orang yang mereka fanatiki. Tidakkah lebih baik umat kembali ke agama mereka ? Kembali ke agama yang telah diajarkan oleh Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mulia ?
Dalam tulisan ini, kami berusaha menyajikan sedikit nasehat bagi kami khususnya dan bagi kaum Muslimin secara umum tentang cara menjalankan agama Islam. Semoga sajian ini bermanfaat !
SUMBER AGAMA ISLAM
Sumber aqidah (keyakinan) dan hukum agama Islam adalah al-Qur’ân, yang merupakan firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala , dan as-Sunnah (al-Hadits), yang merupakan tuntunan dari Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Keduanya merupakan wahyu Allâh Azza wa Jalla kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
Allâh Azza wa Jalla memerintahkan seluruh manusia untuk mengikuti kitab suci al-Qur’ân yang telah Dia turunkan dalam firman-Nya :
وَهَٰذَا كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ مُبَارَكٌ فَاتَّبِعُوهُ وَاتَّقُوا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ
Dan al-Qur'ân itu adalah kitab yang Kami turunkan yang diberkati, maka ikutilah dia dan bertaqwalah agar kamu diberi rahmat, [al-An’âm/6:155]
Demikian juga telah disepakati oleh seluruh umat Islam bahwa sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan sumber kedua syari’at Islam dalam seluruh sisi kehidupan beragama. Berpegang terhadap al-Kitab dan as-Sunnah adalah jaminan dari kesesatan. Allâh Azza wa Jalla berfirman :
وَأَطِيعُوا اللَّهَ وَرَسُولَهُ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ
Dan taatlah kepada Allâh dan Rasul-Nya jika kamu adalah orang-orang beriman [al-Anfâl/8 : 1]
Syaikh Abdurrahman bin Nâshir as-Sa’di rahimahullah berkata dalam tafsir ayat ini, “Sesungguhnya keimanan itu mengajak kepada ketaatan kepada Allâh dan Rasul-Nya."[1]
Demikian juga Allâh Azza wa Jalla sebutkan di antara sifat orang-orang kafir adalah berpaling dari mentaati Allâh dan Rasul-Nya. Allâh Azza wa Jalla berfirman :
قُلْ أَطِيعُوا اللَّهَ وَالرَّسُولَ ۖ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْكَافِرِينَ
Katakanlah, "Ta'atilah Allâh dan Rasul-Nya; Jika kamu berpaling, maka sesungguhnya Allâh tidak menyukai orang-orang kafir". [Ali ‘Imrân/3: 32]
Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Ini menunjukkan bahwa menyelisihi thariqah (jalan; ajaran) Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan kekafiran, dan Allâh Azza wa Jalla tidak menyukai orang-orang yang bersifat dengannya, walaupun dia mengaku dan menyangka bahwa dia mencintai Allâh Azza wa Jalla dan mendekatkan diri kepada-Nya, sampai dia mengikuti Rasul, Nabi yang ummi, penutup seluruh rasul, dan utusan Allâh kepada jin dan manusia”[2]
Dan Sungguh, berpegang kepada al-Qur’ân dan as-Sunnah merupakan jaminan dari kesesatan. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
تَرَكْتُ فِيْكُمْ أَمْرَيْنِ لَنْ تَضِلُّوْا مَا تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا : كِتَابَ اللهِ وَ سُنَّةَ رَسُوْلِهِ
Aku telah tinggalkan pada kamu dua perkara. Kamu tidak akan sesat selama berpegang kepada keduanya: kitab Allâh dan Sunnah rasul-Nya. [Hadits Shahih Lighairihi. Riwayat Mâlik dan lainnya]
KESEMPURNAAN ISLAM
Termasuk prinsip-prinsip agama yang wajib diyakinia dalah agama Islam telah disempurnakan oleh Allâh Azza wa Jalla . Maka tugas manusia adalah mempelajari dan mentaatinya. Allâh Azza wa Jalla berfirman :
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا
Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu menjadi agamamu. [al-Mâidah/5: 3]
Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata di dalam tafsirnya: “Ini nikmat Allâh Azza wa Jalla terbesar kepada umat ini, yaitu Allâh Azza wa Jalla menyempurnakan agama mereka untuk mereka. Sehingga mereka tidak membutuhkan agama apapun selainnya, dan mereka tidak membutuhkan seorang Nabi-pun selain Nabi mereka. Oleh karena inilah Allâh menjadikan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai penutup seluruh para Nabi dan (Allâh) mengutus beliau kepada seluruh manusia dan jin. Tidak ada yang halal kecuali apa yang beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam halalkan. Tidak ada yang haram kecuali apa yang beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam haramkan. Tidak ada agama kecuali apa yang beliau syari’atkan. Segala sesuatu yang beliau beritakan, maka hal itu haq dan benar (sesuai kenyataan), tidak ada kedustaan padanya dan tidak ada kesalahan”.[3]
NABI SHALLALLAHU ALAIHI WA SALLAM TELAH MENUNAIKAN AMANAH
Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkewajiban menyampaikan agama, dan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melakukannya dengan sebaik-baiknya. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menyampaikan Islam dengan sempurna, tanpa dikurangi. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak wafat kecuali agama ini telah sempurna. Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
مَا تَرَكْتُ شَيْئًا مِمَّا أَمَرَكُمُ اللهُ بِهِ إِلاَّ وَقَدْ أَمَرْتُكُمْ بِهِ وَلاَ شَيْئًا مِمَّا نَهَاكُمُ عَنْهُ إِلاَّ وَقَدْ نَهَيْتُكُمْ عَنْهُ
Tidaklah aku meninggalkan sesuatu dari apa yang Allâh perintahkan kepada kamu kecuali aku telah memerintahkannya. Dan tidaklah aku meninggalkan sesuatu dari apa yang Allâh Azza wa Jalla larang kepada kamu kecuali aku telah melarangnya. [Hadits Shahîh dengan seluruh jalur riwayatnya. riwayat Syâfi’i rahimahullah , al-Baihaqi, al-Khathib al-Baghdadi, dll. Dishahihkan oleh syaikh al-Albâni rahimahullah dalam Silsilah ash-Shahîhah, 4/416-417 dan syaikh Ahmad Syâkir t dalam Ta’lîq ar-Risâlah, hlm. 93-103. Dinukil dari al-Bid’ah wa Atsaruhâ as-sayyi’ fil Ummah, hlm. 25]
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda :
مَا بَقِيَ شَيْئٌ يُقَرِّبُ مِنَ الْجَنَّةِ وَيُبَاعِدُ مِنَ النَّارِ إِلاَّ وَقَدْ بُيِّنَ لَكُمْ
Tidaklah tersisa sesuatupun yang akan mendekatkan ke sorga dan menjauhkan dari neraka kecuali telah dijelaskan kepada kamu. [Hadits Shahîh. Lihat penjelasannya dalam ar-Risâlah karya imam Syâfi’i, hlm. 93, ta’liq syaikh Ahmad Syâkir. Dinukil dari ‘Ilmu Ushûlil Bida’, hlm. 19]
KONSEKWENSI KESEMPURNAAN ISLAM
Setelah kita mengetahui kesempurnaan Islam, maka di antara konsekwensinya adalah kita cukup mempelajari agama Islam ini, kemudian mengamalkannya, mendakwahkannya, dan bersabar dalam semua hal di atas. Kita tidak boleh membuat-buat dan menambahkan perkara baru apapun ke dalam agama ini, sebagaimana kita tidak boleh menguranginya.
Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
Barangsiapa melakukan suatu amalan yang tidak ada tuntunan kami padanya, maka amalan itu tertolak. [HR. Muslim, no. 1718]
Dan inilah yang dipahami oleh para Ulama kita semenjak dahulu.
Imam Mâlik bin Anas rahimahullah berkata, “Barangsiapa membuat bid’ah (perkara baru) dalam Islam, dia memandangnya sebagai kebaikan, maka sesungguhnya dia telah menyangka bahwa Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengkhianati risalah (tugas menyampaikan agama), karena Allâh Azza wa Jalla telah berfirman, “Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agamamu. (al-Mâidah/5 :3) Oleh karena itu, apa saja yang pada hari itu tidak menjadi agama, pada hari inipun juga tidak menjadi agama”. [Kitab al-I’tishâm, 2/64, karya Imam Asy-Syâtibi]
MEMAHAMI AL-QUR’AN DAN AS-SUNNAH DENGAN BIMBINGAN ULAMA
Memahami al-Qur’an dan as-Sunnah harus dengan bimbingan Ulama, karena Ulama adalah pewaris para Nabi. Rasûlullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
وَإِنَّ الْعُلَمَاءَ وَرَثَةُ الْأَنْبِيَاءِ وَإِنَّ الْأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوا دِينَارًا وَلَا دِرْهَمًا وَرَّثُوا الْعِلْمَ فَمَنْ أَخَذَهُ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ
Dan sesungguhnya para ulama itu pewaris para Nabi. Para Nabi itu tidak mewariskan dinar dan dirham, tetapi mewariskan ilmu. Baramngsiapa yang mengambilnya maka dia telah mengambil bagian yang banyak. [HR. Abu Dâwud no:3641, dan ini lafazhnya; Tirmidzi no:3641; Ibnu Mâjah no: 223; Ahmad 4/196; Darimi no: 1/98. Dihasankan Syaikh Salîm al-Hilâli dalam Bahjatun Nâzhirin 2/470, hadits no: 1388]
Para Ulama yang pertama kali dijadikan rujukan untuk memahami agama adalah para ulama dari generasi sahabat, tabi’in, dan tabi’ut tabi’in, karena mereka adalah manusia terbaik dari kalangan umat ini. Rasûlullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ
Sebaik-baik manusia adalah generasiku (yaitu generasi sahabat), kemudian orang-orang yang mengiringinya (yaitu generasi tabi’in), kemudian orang-orang yang mengiringinya (yaitu generasi tabi’ut tabi’in). [Hadits Mutawatir, riwayat Bukhari, dan lainnya]
Imam Ibnul Qoyyim rahimahullah berkata, "Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberitakan bahwa sebaik-baik generasi adalah generasi beliau secara mutlak. Itu mengharuskan mendahulukan mereka di dalam seluruh masalah dari masalah-masalah kebaikan”. [I’lâmul Muwaqqi’în 2/398), penerbit: Darul Hadits, Kairo, th: 1422 H / 2002 H]
Para sahabat adalah manusia terbaik karena mereka adalah murid-murid Rasûlullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Mereka lebih memahami al-Qur'an dari generasi-generasi sesudahnya, karena mereka menghadiri turunnya al-Qur’ân, mengetahui sebab-sebab turunnya, dan mereka juga bertanya kepada Rasûlullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang ayat yang sulit mereka fahami.
Al-Qur’an juga turun untuk menjawab pertanyaan mereka, memberikan jalan keluar problem mereka, dan mengikuti kehidupan mereka yang umum maupun yang khusus.
Mereka juga sebagai orang-orang yang paling mengetahui bahasa al-Qur’ân, karena ia diturunkan denga bahasa mereka. Dengan demikian mengikuti pemahaman mereka merupakan hujjah terhadap generasi setelah mereka.
Demikian juga para Ulama yang datang setelah tiga generasi utama tersebut, yang mengikuti jejak mereka, karena memang Allâh Azza wa Jalla akan selalu membangkitkan para Ulama setiap zaman. Bahkan Allâh Azza wa Jalla menjanjikan adanya mujaddid (pembaharu agama) pada setiap seratus tahun. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
يَحْمِلُ هَذَا الْعِلْمَ مِنْ كُلِّ خَلَفٍ عُدُوْلُهُ : يَنْفُوْنَ عَنْهُ تَحْرِيْفَ الْغَالِيْنَ وَتَأْوِيْلَ الْجَاهِلِيْنَ وَ إِنْتِحِالَ الْمُبْطِلِيْنَ
Ilmu agama ini akan dibawa oleh orang-orang yang lurus pada setiap generasi: mereka akan menolak tahrif (perobahan) yang dilakukan oleh orang-orang yang melewati batas; ta’wil (penyimpangan arti) yang dilakukan oleh orang-orang yang bodoh; dan kedustaan yang dilakukan oleh orang-orang yang berbuat kepalsuan. [HR. Ibnu ‘Adi di dalam Al-Kamil; Al-Baihaqi di dalam Sunan Kubra; dll. Dishahihkan oleh Imam Ahmad; dihasankan oleh Syeikh Salim Al-Hilali di dalam Hilyatul ‘Alim Al-Mu’allim, hal:77; juga oleh Syeikh Ali bin Hasan di dalam Tashfiyah wat Tarbiyyah]
Hadits ini jelas dan tegas menunjukkan sifat-sifat pengemban ilmu agama, yaitu ‘adalah (lurus; istiqâmah), maka sepantasnya ilmu itu hanyalah diambil dari mereka.
MENYIKAPI PERSELISIHAN
Allâh Azza wa Jalla berfirman :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ ۖ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
Hai orang-orang yang beriman, ta'atilah Allâh dan ta'atilah Rasul (Nya), dan ulil amri (Ulama dan umaro’) di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allâh (al-Quran) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allâh dan hari kemudian. Yang demikian itu adalah lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. [An-Nisa’/4: 59]
Imam Ibnul Qoyyim rahimahullah berkata, “Allâh Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan untuk mentaati-Nya dan mentaati Rasul-Nya. Allâh Azza wa Jalla mengulangi kata kerja (yakni: ta'atilah!) untuk memberitahukan bahwa mentaati Rasul-Nya wajib secara otonomi, dengan tanpa membandingkan apa yang beliau perintahkan dengan al-Qur’ân. Bahkan jika beliau memerintahkan, wajib mentaatinya secara mutlak, sama saja apakah yang beliau perintahkan itu ada dalam al-Qur’ân atau tidak ada. Karena sesungguhnya beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam diberi al-Kitab dan yang semisalnya bersamanya”. [I’lâmul Muwaqqi’in 2/46), penerbit: Darul Hadits, Kairo, th: 1422 H / 2002 H]
Beliau rahimahullah juga berkata, “Kemudian Allâh Azza wa Jallamemerintahkan orang-orang yang beriman agar mengembalikan apa yang mereka perselisihkan kepada kepada Allâh dan Rasul-Nya, jika mereka adalah orang-orang yang beriman. Dan Dia memberitakan kepada mereka, bahwa hal itu lebih utama bagi mereka di dunia ini, dan lebih baik akibatnya di akhirnya. Ini memuat beberapa perkara:
Diantaranya, orang-orang yang beriman terkadang berselisih pada sebagian hukum, dan mereka tidak keluar dari keimanan dengan sebab (perselisihan) itu, jika mereka mengembalikan apa yang mereka perselisihkan kepada Allâh Azza wa Jalla dan Rasul-Nya, sebagaimana Allâh Azza wa Jalla syaratkan terhadap mereka. Dan tidak ada keraguan bahwa ketetapan sesuatu yang digantungkan dengan syarat, maka sesuatu itu akan hilang dengan sebab ketiadaan syarat.
Firman Allâh Azza wa Jalla ((Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu)) meliputi seluruh yang diperselisihkan oleh orang-orang yang beriman dari masalah-masalah agama, yang kecil dan yang besar, yang terang maupun yang samar.
Manusia telah sepakat bahwa mengembalikan kepada Allâh Azza wa Jalla adalah mengembalikan kepada kitab-Nya, mengembalikan kepada Rasul-Nya adalah mengembalikan kepada diri beliau di saat hidup beliau, dan kepada Sunnahnya setelah wafat beliau.
Allâh Azza wa Jalla menjadikan “mengembalikan apa yang mereka perselisihkan kepada kepada Allâh dan RasulNya” termasuk kewajiban dan konsekwensi iman, maka jika itu tidak ada, imanpun hilang. [Diringkas dari I’lamul Muwaqqi’in 2/47-48), penerbit: Darul Hadits, Kairo, th: 1422 H / 2002 H]
Oleh karena itu sikap seorang mukmin adalah menerima dengan sepenuh hati. jika telah datang kepadanya ayat dari kitab suci al-Qur’ân, atau hadits shahih dari Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam , dengan pemahaman yang benar, pemahaman para ulama Ahlus Sunnah wal Jamâ’ah.
Semoga sedikit tulisan ini bermanfaat bagi kita semua. Wallahul Musta’an.
Allâh Azza wa Jalla menjadikan manusia dapat mendengar, melihat, berfikir, berbicara, dan berusaha. Sungguh, semua itu sebagai ujian, apakah manusia akan bersyukur kepada Penciptanya ? Beribadah kepada-Nya semata, taat dan tunduk terhadap syari’at-Nya ? Ataukah mengingkari nikmat-Nya dan menentang agama-Nya ?!
Karena sesungguhnya Allâh Azza wa Jalla menciptakan jin dan manusia adalah untuk beribadah kepada-Nya semata. Allâh Subhanahu wa Ta’ala tidak menghendaki dari mereka apa yang dikehendaki majikan terhadap budaknya, yaitu membantunya untuk meraih rizqi dan makanan. Bahkan Allâh Subhanahu wa Ta’ala semata yang menjamin rizqi seluruh makhluk-Nya. Allâh berfirman menjelaskan hakekat ini dalam al-Qur’ân :
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada- Ku. [adz-Dzâriyât/51:56]
Oleh karena itu sebagai manusia, kita wajib beribadah kepada-Nya, dengan mengikuti agama Islam yang Allâh Subhanahu wa Ta’ala ridhai, karena Allâh Azza wa Jalla tidak akan menerima agama selainnya. Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ اللَّهِ الْإِسْلَامُ
Sesungguhnya agama di sisi Allâh hanyalah Islam. [Ali-‘Imron/3:19]
Allâh Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman :
وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ
Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) darinya, dan di akhirat dia termasuk orang-orang yang rugi. [Ali-‘Imran/3: 85]
BAGAIMANA CARA MEN JALANKAN AGAMA ISLAM?
Umat Islam yang menjalankan agama Islam, mereka beribadah hanya kepada Rabb yang haq, yaitu Allâh Azza wa Jalla dengan mengikuti Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, melaksanakan shalat lima waktu dengan kiblat yang satu, yaitu Ka’bah di kota Mekah, memiliki tujuan yang satu, yaitu meraih ridha Allâh Subhanahu wa Ta’ala . harapan mereka yaitu bisa meraih kebahagiaan sempurna dengan dimasukkan ke surga dan selamat dari neraka. Dan Allâh Azza wa Jalla memerintahkan kaum Mukminin agar bersatu di atas kebenaran dan melarang berpecah-belah.
Namun dalam kenyataan hidup ini, kita melihat umat yang berselisih, berpecah-belah, saling membenci dan menjauhi ! Banyak yang fanatik kepada seorang ustadz, kyai, atau syaikh, atau fanatik kepada madzhab, kelompok atau organisasi keagamaan!
Padahal agama Islam telah ada dan telah sempurna sebelum kelahiran atau kemunculan perkara-perkara atau orang-orang yang mereka fanatiki. Tidakkah lebih baik umat kembali ke agama mereka ? Kembali ke agama yang telah diajarkan oleh Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mulia ?
Dalam tulisan ini, kami berusaha menyajikan sedikit nasehat bagi kami khususnya dan bagi kaum Muslimin secara umum tentang cara menjalankan agama Islam. Semoga sajian ini bermanfaat !
SUMBER AGAMA ISLAM
Sumber aqidah (keyakinan) dan hukum agama Islam adalah al-Qur’ân, yang merupakan firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala , dan as-Sunnah (al-Hadits), yang merupakan tuntunan dari Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Keduanya merupakan wahyu Allâh Azza wa Jalla kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
Allâh Azza wa Jalla memerintahkan seluruh manusia untuk mengikuti kitab suci al-Qur’ân yang telah Dia turunkan dalam firman-Nya :
وَهَٰذَا كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ مُبَارَكٌ فَاتَّبِعُوهُ وَاتَّقُوا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ
Dan al-Qur'ân itu adalah kitab yang Kami turunkan yang diberkati, maka ikutilah dia dan bertaqwalah agar kamu diberi rahmat, [al-An’âm/6:155]
Demikian juga telah disepakati oleh seluruh umat Islam bahwa sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan sumber kedua syari’at Islam dalam seluruh sisi kehidupan beragama. Berpegang terhadap al-Kitab dan as-Sunnah adalah jaminan dari kesesatan. Allâh Azza wa Jalla berfirman :
وَأَطِيعُوا اللَّهَ وَرَسُولَهُ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ
Dan taatlah kepada Allâh dan Rasul-Nya jika kamu adalah orang-orang beriman [al-Anfâl/8 : 1]
Syaikh Abdurrahman bin Nâshir as-Sa’di rahimahullah berkata dalam tafsir ayat ini, “Sesungguhnya keimanan itu mengajak kepada ketaatan kepada Allâh dan Rasul-Nya."[1]
Demikian juga Allâh Azza wa Jalla sebutkan di antara sifat orang-orang kafir adalah berpaling dari mentaati Allâh dan Rasul-Nya. Allâh Azza wa Jalla berfirman :
قُلْ أَطِيعُوا اللَّهَ وَالرَّسُولَ ۖ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْكَافِرِينَ
Katakanlah, "Ta'atilah Allâh dan Rasul-Nya; Jika kamu berpaling, maka sesungguhnya Allâh tidak menyukai orang-orang kafir". [Ali ‘Imrân/3: 32]
Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Ini menunjukkan bahwa menyelisihi thariqah (jalan; ajaran) Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan kekafiran, dan Allâh Azza wa Jalla tidak menyukai orang-orang yang bersifat dengannya, walaupun dia mengaku dan menyangka bahwa dia mencintai Allâh Azza wa Jalla dan mendekatkan diri kepada-Nya, sampai dia mengikuti Rasul, Nabi yang ummi, penutup seluruh rasul, dan utusan Allâh kepada jin dan manusia”[2]
Dan Sungguh, berpegang kepada al-Qur’ân dan as-Sunnah merupakan jaminan dari kesesatan. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
تَرَكْتُ فِيْكُمْ أَمْرَيْنِ لَنْ تَضِلُّوْا مَا تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا : كِتَابَ اللهِ وَ سُنَّةَ رَسُوْلِهِ
Aku telah tinggalkan pada kamu dua perkara. Kamu tidak akan sesat selama berpegang kepada keduanya: kitab Allâh dan Sunnah rasul-Nya. [Hadits Shahih Lighairihi. Riwayat Mâlik dan lainnya]
KESEMPURNAAN ISLAM
Termasuk prinsip-prinsip agama yang wajib diyakinia dalah agama Islam telah disempurnakan oleh Allâh Azza wa Jalla . Maka tugas manusia adalah mempelajari dan mentaatinya. Allâh Azza wa Jalla berfirman :
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا
Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu menjadi agamamu. [al-Mâidah/5: 3]
Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata di dalam tafsirnya: “Ini nikmat Allâh Azza wa Jalla terbesar kepada umat ini, yaitu Allâh Azza wa Jalla menyempurnakan agama mereka untuk mereka. Sehingga mereka tidak membutuhkan agama apapun selainnya, dan mereka tidak membutuhkan seorang Nabi-pun selain Nabi mereka. Oleh karena inilah Allâh menjadikan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai penutup seluruh para Nabi dan (Allâh) mengutus beliau kepada seluruh manusia dan jin. Tidak ada yang halal kecuali apa yang beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam halalkan. Tidak ada yang haram kecuali apa yang beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam haramkan. Tidak ada agama kecuali apa yang beliau syari’atkan. Segala sesuatu yang beliau beritakan, maka hal itu haq dan benar (sesuai kenyataan), tidak ada kedustaan padanya dan tidak ada kesalahan”.[3]
NABI SHALLALLAHU ALAIHI WA SALLAM TELAH MENUNAIKAN AMANAH
Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkewajiban menyampaikan agama, dan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melakukannya dengan sebaik-baiknya. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menyampaikan Islam dengan sempurna, tanpa dikurangi. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak wafat kecuali agama ini telah sempurna. Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
مَا تَرَكْتُ شَيْئًا مِمَّا أَمَرَكُمُ اللهُ بِهِ إِلاَّ وَقَدْ أَمَرْتُكُمْ بِهِ وَلاَ شَيْئًا مِمَّا نَهَاكُمُ عَنْهُ إِلاَّ وَقَدْ نَهَيْتُكُمْ عَنْهُ
Tidaklah aku meninggalkan sesuatu dari apa yang Allâh perintahkan kepada kamu kecuali aku telah memerintahkannya. Dan tidaklah aku meninggalkan sesuatu dari apa yang Allâh Azza wa Jalla larang kepada kamu kecuali aku telah melarangnya. [Hadits Shahîh dengan seluruh jalur riwayatnya. riwayat Syâfi’i rahimahullah , al-Baihaqi, al-Khathib al-Baghdadi, dll. Dishahihkan oleh syaikh al-Albâni rahimahullah dalam Silsilah ash-Shahîhah, 4/416-417 dan syaikh Ahmad Syâkir t dalam Ta’lîq ar-Risâlah, hlm. 93-103. Dinukil dari al-Bid’ah wa Atsaruhâ as-sayyi’ fil Ummah, hlm. 25]
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda :
مَا بَقِيَ شَيْئٌ يُقَرِّبُ مِنَ الْجَنَّةِ وَيُبَاعِدُ مِنَ النَّارِ إِلاَّ وَقَدْ بُيِّنَ لَكُمْ
Tidaklah tersisa sesuatupun yang akan mendekatkan ke sorga dan menjauhkan dari neraka kecuali telah dijelaskan kepada kamu. [Hadits Shahîh. Lihat penjelasannya dalam ar-Risâlah karya imam Syâfi’i, hlm. 93, ta’liq syaikh Ahmad Syâkir. Dinukil dari ‘Ilmu Ushûlil Bida’, hlm. 19]
KONSEKWENSI KESEMPURNAAN ISLAM
Setelah kita mengetahui kesempurnaan Islam, maka di antara konsekwensinya adalah kita cukup mempelajari agama Islam ini, kemudian mengamalkannya, mendakwahkannya, dan bersabar dalam semua hal di atas. Kita tidak boleh membuat-buat dan menambahkan perkara baru apapun ke dalam agama ini, sebagaimana kita tidak boleh menguranginya.
Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
Barangsiapa melakukan suatu amalan yang tidak ada tuntunan kami padanya, maka amalan itu tertolak. [HR. Muslim, no. 1718]
Dan inilah yang dipahami oleh para Ulama kita semenjak dahulu.
Imam Mâlik bin Anas rahimahullah berkata, “Barangsiapa membuat bid’ah (perkara baru) dalam Islam, dia memandangnya sebagai kebaikan, maka sesungguhnya dia telah menyangka bahwa Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengkhianati risalah (tugas menyampaikan agama), karena Allâh Azza wa Jalla telah berfirman, “Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agamamu. (al-Mâidah/5 :3) Oleh karena itu, apa saja yang pada hari itu tidak menjadi agama, pada hari inipun juga tidak menjadi agama”. [Kitab al-I’tishâm, 2/64, karya Imam Asy-Syâtibi]
MEMAHAMI AL-QUR’AN DAN AS-SUNNAH DENGAN BIMBINGAN ULAMA
Memahami al-Qur’an dan as-Sunnah harus dengan bimbingan Ulama, karena Ulama adalah pewaris para Nabi. Rasûlullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
وَإِنَّ الْعُلَمَاءَ وَرَثَةُ الْأَنْبِيَاءِ وَإِنَّ الْأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوا دِينَارًا وَلَا دِرْهَمًا وَرَّثُوا الْعِلْمَ فَمَنْ أَخَذَهُ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ
Dan sesungguhnya para ulama itu pewaris para Nabi. Para Nabi itu tidak mewariskan dinar dan dirham, tetapi mewariskan ilmu. Baramngsiapa yang mengambilnya maka dia telah mengambil bagian yang banyak. [HR. Abu Dâwud no:3641, dan ini lafazhnya; Tirmidzi no:3641; Ibnu Mâjah no: 223; Ahmad 4/196; Darimi no: 1/98. Dihasankan Syaikh Salîm al-Hilâli dalam Bahjatun Nâzhirin 2/470, hadits no: 1388]
Para Ulama yang pertama kali dijadikan rujukan untuk memahami agama adalah para ulama dari generasi sahabat, tabi’in, dan tabi’ut tabi’in, karena mereka adalah manusia terbaik dari kalangan umat ini. Rasûlullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ
Sebaik-baik manusia adalah generasiku (yaitu generasi sahabat), kemudian orang-orang yang mengiringinya (yaitu generasi tabi’in), kemudian orang-orang yang mengiringinya (yaitu generasi tabi’ut tabi’in). [Hadits Mutawatir, riwayat Bukhari, dan lainnya]
Imam Ibnul Qoyyim rahimahullah berkata, "Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberitakan bahwa sebaik-baik generasi adalah generasi beliau secara mutlak. Itu mengharuskan mendahulukan mereka di dalam seluruh masalah dari masalah-masalah kebaikan”. [I’lâmul Muwaqqi’în 2/398), penerbit: Darul Hadits, Kairo, th: 1422 H / 2002 H]
Para sahabat adalah manusia terbaik karena mereka adalah murid-murid Rasûlullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Mereka lebih memahami al-Qur'an dari generasi-generasi sesudahnya, karena mereka menghadiri turunnya al-Qur’ân, mengetahui sebab-sebab turunnya, dan mereka juga bertanya kepada Rasûlullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang ayat yang sulit mereka fahami.
Al-Qur’an juga turun untuk menjawab pertanyaan mereka, memberikan jalan keluar problem mereka, dan mengikuti kehidupan mereka yang umum maupun yang khusus.
Mereka juga sebagai orang-orang yang paling mengetahui bahasa al-Qur’ân, karena ia diturunkan denga bahasa mereka. Dengan demikian mengikuti pemahaman mereka merupakan hujjah terhadap generasi setelah mereka.
Demikian juga para Ulama yang datang setelah tiga generasi utama tersebut, yang mengikuti jejak mereka, karena memang Allâh Azza wa Jalla akan selalu membangkitkan para Ulama setiap zaman. Bahkan Allâh Azza wa Jalla menjanjikan adanya mujaddid (pembaharu agama) pada setiap seratus tahun. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
يَحْمِلُ هَذَا الْعِلْمَ مِنْ كُلِّ خَلَفٍ عُدُوْلُهُ : يَنْفُوْنَ عَنْهُ تَحْرِيْفَ الْغَالِيْنَ وَتَأْوِيْلَ الْجَاهِلِيْنَ وَ إِنْتِحِالَ الْمُبْطِلِيْنَ
Ilmu agama ini akan dibawa oleh orang-orang yang lurus pada setiap generasi: mereka akan menolak tahrif (perobahan) yang dilakukan oleh orang-orang yang melewati batas; ta’wil (penyimpangan arti) yang dilakukan oleh orang-orang yang bodoh; dan kedustaan yang dilakukan oleh orang-orang yang berbuat kepalsuan. [HR. Ibnu ‘Adi di dalam Al-Kamil; Al-Baihaqi di dalam Sunan Kubra; dll. Dishahihkan oleh Imam Ahmad; dihasankan oleh Syeikh Salim Al-Hilali di dalam Hilyatul ‘Alim Al-Mu’allim, hal:77; juga oleh Syeikh Ali bin Hasan di dalam Tashfiyah wat Tarbiyyah]
Hadits ini jelas dan tegas menunjukkan sifat-sifat pengemban ilmu agama, yaitu ‘adalah (lurus; istiqâmah), maka sepantasnya ilmu itu hanyalah diambil dari mereka.
MENYIKAPI PERSELISIHAN
Allâh Azza wa Jalla berfirman :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ ۖ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
Hai orang-orang yang beriman, ta'atilah Allâh dan ta'atilah Rasul (Nya), dan ulil amri (Ulama dan umaro’) di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allâh (al-Quran) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allâh dan hari kemudian. Yang demikian itu adalah lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. [An-Nisa’/4: 59]
Imam Ibnul Qoyyim rahimahullah berkata, “Allâh Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan untuk mentaati-Nya dan mentaati Rasul-Nya. Allâh Azza wa Jalla mengulangi kata kerja (yakni: ta'atilah!) untuk memberitahukan bahwa mentaati Rasul-Nya wajib secara otonomi, dengan tanpa membandingkan apa yang beliau perintahkan dengan al-Qur’ân. Bahkan jika beliau memerintahkan, wajib mentaatinya secara mutlak, sama saja apakah yang beliau perintahkan itu ada dalam al-Qur’ân atau tidak ada. Karena sesungguhnya beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam diberi al-Kitab dan yang semisalnya bersamanya”. [I’lâmul Muwaqqi’in 2/46), penerbit: Darul Hadits, Kairo, th: 1422 H / 2002 H]
Beliau rahimahullah juga berkata, “Kemudian Allâh Azza wa Jallamemerintahkan orang-orang yang beriman agar mengembalikan apa yang mereka perselisihkan kepada kepada Allâh dan Rasul-Nya, jika mereka adalah orang-orang yang beriman. Dan Dia memberitakan kepada mereka, bahwa hal itu lebih utama bagi mereka di dunia ini, dan lebih baik akibatnya di akhirnya. Ini memuat beberapa perkara:
Diantaranya, orang-orang yang beriman terkadang berselisih pada sebagian hukum, dan mereka tidak keluar dari keimanan dengan sebab (perselisihan) itu, jika mereka mengembalikan apa yang mereka perselisihkan kepada Allâh Azza wa Jalla dan Rasul-Nya, sebagaimana Allâh Azza wa Jalla syaratkan terhadap mereka. Dan tidak ada keraguan bahwa ketetapan sesuatu yang digantungkan dengan syarat, maka sesuatu itu akan hilang dengan sebab ketiadaan syarat.
Firman Allâh Azza wa Jalla ((Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu)) meliputi seluruh yang diperselisihkan oleh orang-orang yang beriman dari masalah-masalah agama, yang kecil dan yang besar, yang terang maupun yang samar.
Manusia telah sepakat bahwa mengembalikan kepada Allâh Azza wa Jalla adalah mengembalikan kepada kitab-Nya, mengembalikan kepada Rasul-Nya adalah mengembalikan kepada diri beliau di saat hidup beliau, dan kepada Sunnahnya setelah wafat beliau.
Allâh Azza wa Jalla menjadikan “mengembalikan apa yang mereka perselisihkan kepada kepada Allâh dan RasulNya” termasuk kewajiban dan konsekwensi iman, maka jika itu tidak ada, imanpun hilang. [Diringkas dari I’lamul Muwaqqi’in 2/47-48), penerbit: Darul Hadits, Kairo, th: 1422 H / 2002 H]
Oleh karena itu sikap seorang mukmin adalah menerima dengan sepenuh hati. jika telah datang kepadanya ayat dari kitab suci al-Qur’ân, atau hadits shahih dari Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam , dengan pemahaman yang benar, pemahaman para ulama Ahlus Sunnah wal Jamâ’ah.
Semoga sedikit tulisan ini bermanfaat bagi kita semua. Wallahul Musta’an.
Langganan:
Postingan (Atom)