Minggu, 06 April 2014





almanhaj.or.id news feed  [Valid RSS]

Kategori Bahasan : Aqidah

Bilamana Hari Kebangkitan Tiba? (1)

Rabu, 4 September 2013 19:07:51 WIB

Setelah ditiup sangkakala pada tiupan ash-sha'iq, maka manusia pun mati, lalu Allah membangkitkan mereka dari tulang-tulang ekor yang tumbuh disirami hujan, seperti tumbuhnya sayuran, sebagaimana telah dijelaskan dalam hadits di atas. Setelah sempurna susunan dan tubuh mereka, kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan Malaikat Israfil untuk meniup sangkakala lagi, sehingga ruh-ruh kembali kepada jasadnya, dan manusia pun bangkit berdiri menunggu keputusan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Demikianlah hari keluarnya mereka dari kuburnya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman : "Dan dengarkanlah (seruan) pada hari penyeru (malaikat) menyeru dari tempat yang dekat.(Yaitu) pada hari mereka mendengar teriakan dengan sebenar-benarnya itulah hari keluar (dari kubur). Sesungguhnya Kami menghidupkan dan mematikan dan hanya kepada Kami-lah tempat kembali (semua makhluk). (Yaitu) pada hari bumi terbelah-belah menampakkan mereka (lalu mereka keluar) dengan cepat. Yang demikian itu adalah pengumpulan yang mudah bagi Kami". Disinilah orang kafir berkata:"Aduh celakalah kami! Siapakah yang membangkitkan kami dari tempat tidur kami (kubur)?" Sedangkan mukmin menyatakan : "Inilah yang dijanjikan (Rabb) Yang Maha Pemurah dan benarlah rasul-rasul(Nya)"
   

Bilamana Hari Kebangkitan Tiba? (2)

Rabu, 4 September 2013 13:00:52 WIB

Dari al Miqdad Radhiyallahu anhu , ia berkata : Aku telah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : "Pada hari Kiamat, matahari akan mendekat (kepada) makhluk (manusia) hingga jaraknya dari mereka seperti ukuran satu mil". Sulaim bin 'Amir berkata,"Demi Allah! Aku tidak mengerti yang dimaksud dengan satu mil tersebut, apakah ukuran dunia ataukah mil yang digunakan sebagai alat celak mata?" Beliau berkata: "Sehingga manusia berada sesuai dengan ukuran amalannya dalam keringatnya. Ada di antara mereka yang keringatnya sampai kedua mata kakinya. Ada yang sampai kedua lututnya, dan ada yang sampai pinggangnya, serta ada yang keringatnya menenggelamkannya. Dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan isyarat dengan tangannya ke mulut beliau. Syaikh Ibnu 'Utsaimin berkata : "Jarak satu mil ini, baik satu mil yang biasa atau mil alat celak, semuanya dekat. Apabila sedemikian rupa panasnya matahari di dunia, padahal jarak antara kita dengannya sangat jauh, bagaimana jika matahari tersebut berada satu mil di atas kepala kita?" Hingga manusia bercucuran keringat dan keringatnya menenggelamkan mereka. Ada yang hanya mencapai kedua mata kakinya. Ada yang sampai kedua lututnya, dan ada yang sampai pinggangnya, serta ada yang keringatnya menenggelamkan mulutnya.
   

Yaumul Ba'ts, Hari Kebangkitan

Selasa, 3 September 2013 12:29:29 WIB

Syaikh Muhammad bin Shalih al 'Utsaimin rahimahullah berkata,"Sesungguhnya hikmah menuntut adanya al ba'ts setelah kematian, agar supaya setiap jiwa dibalas dengan apa yang telah dia usahakan. Seandainya (pembalasan, Red.) itu tidak ada, berarti penciptaan manusia sia-sia, tidak ada nilainya, dan tidak ada hikmahnya. Dan (berarti) tidak ada perbedaan antara manusia dengan binatang dalam kehidupan ini". Kemudian beliau saimin rahimahullah berkata, "Sesungguhnya perkara al ba'ts telah mutawatir berita dari para nabi dan rasul di dalam kitab-kitab Allah dan syari'at-syari'at dari langit. Umat mereka telah menerimanya dengan penerimaan yang sebenarnya. Maka bagaimana engkau (orang-orang kafir, Pen.) mengingkari al ba'ts, sedangkan engkau membenarkan apa yang diberitakan kepadamu (yang datang) dari seorang filosof, atau pemilik suatu prinsip (aliran), atau pemilik suatu pemikiran, padahal beritanya tidaklah mencapai apa yang telah dicapai oleh berita tentang al ba'ts, baik di dalam sarana pemberitaan, dan di dalam bukti kenyataan"
   

Hisab Pada Hari Pembalasan

Senin, 2 September 2013 13:29:20 WIB

Lalu Allah menemui hambaNya dan berkata : “Wahai Fulan! Bukankah Aku telah memuliakanmu, menjadikan engkau sebagai pemimpin, menikahkanmu dan menundukkan untukmu kuda dan onta, serta memudahkanmu memimpin dan memiliki harta banyak?" Maka ia menjawab: “Benar”. Allah berkata lagi: “Apakah engkau telah meyakini akan menjumpaiKu?” Maka ia menjawab: “Tidak,” maka Allah berfirman : “Aku biarkan engkau sebagaimana engkau telah melupakanKu”. Kemudian (Allah) menemui orang yang ketiga dan menyampaikan seperti yang disampaikan di atas. Lalu ia (orang itu) menjawab: "Wahai Rabbku! Aku telah beriman kepadaMu, kepada kitab suciMu dan rasul-rasul Mu. Juga aku telah shalat, bershadaqah," dan ia memuji dengan kebaikan semampunya. Allah menjawab: "Kalau begitu, sekarang (pembuktiannya)," kemudian dikatakan kepadanya: "Sekarang Kami akan membawa para saksi atasmu," dan orang tersebut berfikir siapa yang akan bersaksi atasku. Lalu mulutnya dikunci dan dikatakan kepada paha, daging dan tulangnya: "Bicaralah!" Lalu paha, daging dan tulangnya bercerita tentang amalannya, dan itu untuk menghilangkan udzur dari dirinya. Itulah nasib munafik dan orang yang Allah murkai.
   

Dunia Diciptakan Karena Nur (Cahaya) Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam?

Sabtu, 15 Juni 2013 12:44:20 WIB

Di antara keyakinan keliru yang digagas oleh aqthâb (tokoh) Sufi, disebarkan dan dibela oleh mereka, aqidah Nur Muhammad. Mereka pun membakukan ushul (landasan-landasan) untuk membenarkan aqidah ini dalam kitab-kitab yang mereka tulis dan dalam syair-syair mereka susun. Hanya, meski cukup terkenal aqidah ini, namun para Ulama mereka belum satu kata dalam mendefinisikannya secara detail dan jelas. Masing-masing menyampaikannya sesuai dengan perasaan dan apa yang terbetik pada firasatnya (?!). Mereka mengatakan, “(Yang dimaksud Nur Muhammad) bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam diciptakan dari cahaya, dan yang pertama kali diciptakan oleh Allâh Azza wa Jalla adalah cahaya Muhammad; dan bumi seisinya diciptakan karena Rasûlullâh, kalaulah tidak ada beliau, maka bumi tidak akan pernah ada dan diciptakan” Yûsuf Ismâil an-Nabhâni salah satu pembela ideologi ini menjelaskan makna istilah yang aneh ini dengan berkata, “Ketahuilah, bahwasannya tatkala kehendak al-Haq (Allâh) berhubungan dengan penciptaan para makhluk-Nya, Allâh Azza wa Jalla telah menampakkan haqiqat Muhammad dari cahaya-cahaya-Nya, kemudian dengan sebabnya tersingkaplah seluruh alam dari atas hingga bawahnya ……
   

Mengimani Shirâth, Jembatan Di Atas Neraka

Senin, 13 Mei 2013 23:21:53 WIB

Meski banyak sekali dalil yang mengharuskan umat mengimani adanya shirâth, namun ada saja kelompok yang menyimpang dalam masalah ini, yaitu kaum Mu’tazilah. Mereka tidak mengimani adanya shirâth yang hakiki pada hari Kiamat, karena –menurut mereka- hal itu tidak masuk akal dan tidak logis (?!). Syubhat yang merasuki hati mereka dalam pengingkaran ini, bagaimana mungkin manusia bisa melewati di atas benda yang lebih halus dari rambut, lebih tajam dari pedang, amat licin dan selalu bergerak-gerak? Para Ulama telah membantah dan menjawab pernyataan aneh mereka ini dan orang-orang yang meragukan wujud shirâth, seperti Imam al-Qurthubi rahimahullah. Setelah menyebutkan perkataan mereka, beliau berkata, "Apa yang disebutkan oleh orang ini adalah tertolak berdasarkan hadits-hadits yang kita sebutkan, bahwa beriman dengan hal itu adalah wajib. Sesungguhnya (Allâh) Dzat yang mampu menahan burung di udara, tentu sanggup menahan orang Mukmin di atas shirâth tersebut. Baik, dengan berlari maupun berjalan. Tidak boleh dialihkan dari makna hakiki kepada makna majazi kecuali bila mustahil..."
   

First  Prev  1  2  3  4  5  6  7  Next  Last

PERUSAK KEISLAMAN

Allah Azza wa Jalla telah memberikan karunia yang sangat berharga kepada umat ini. Diutusnya Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai Rasulullâh dengan membawa agama Islam merupakan nikmat agung. Allah Azza wa Jalla berfirman :

لَقَدْ مَنَّ اللَّهُ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ إِذْ بَعَثَ فِيهِمْ رَسُولًا مِّنْ أَنفُسِهِمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِن كَانُوا مِن قَبْلُ لَفِي ضَلَالٍ مُّبِينٍ

Sungguh Allah telah memberi karunia kepada orangorang yang beriman ketika Allah mengutus di antara mereka seorang rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka al-kitab dan al-hikmah. Dan sesungguhnya sebelum (kedatangan Nabi) itu, mereka adalah benarbenar dalam kesesatan yang nyata. [Ali Imrân/3:164]

Oleh karena itu, kita wajib mensyukuri, menjaga dan memohon kepada Allah Azza wa Jalla agar kita dilindungi dari segala yang bisa merusak nikmat yang sangat berharga ini. Selama kita masih diberi kesempatan hidup oleh Allah Azza wa Jalla, janganlah kita merasa bahwa nikmat ini (Islam) akan tetap ada dan terpelihara pada diri kita. Nabi Ibrâhîm Alaihissallam, meski beliau Alaihissallam telah menghancurkan berhala yang disembah oleh kaumnya kala itu, beliau Alaihissallam tetap mengkhawatirkan diri beliau. Beliau Alaihissallam berdo’a :

وَاجْنُبْنِي وَبَنِيَّ أَن نَّعْبُدَ الْأَصْنَامَ

Dan jauhkanlah aku beserta anak cucuku dari penyembahan terhadap berhala-berhala [Ibrâhîm/14:35]

Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga mengajarkan kepada kita agar berdo’a kepada Allah Azza wa Jalla supaya kita diberi ketetapan hati di atas nikmat yang agung ini. Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam sering membaca doa :

يَا مُقَلِّبَ الْقُلُو بِ ثَبِّتْ قَلْبِي عَلَى دِينِكَ

Wahai Dzat yang membolak-balik hati, tetapkanlah hatiku pada agama-Mu

Apalagi di zaman seperti sekarang ini, saat kepedulian terhadap agama ini mengalami penurunan drastis. Sementara para penyeru kesesatan bebas berkeliaran untuk menjajakan kesesatan lewat berbagai media. Kesesatan-kesesatan yang mereka jajakan dibungkus dengan kulit indah mempesona. Sehingga tak mengherankan, karena ketidaktahuan, banyak orang yang silau dan menerima kesesatan ini sebagai sebuah kebenaran yang dijadikan sebagai pedoman. Akibatnya, yang benar dianggap suatu yang keliru dan sebaliknya, kekufuran dianggap sebuah kemajuan dan dielu-elukan. Na’udzubillâh. Nikmat Islam ini berangsur-angsur hilang dari seseorang, akhirnya dia murtad (keluar dari Islam) dan statusnya berubah menjadi kafir.

Para Ulama’ sejak zaman dahulu telah memberikan porsi perhatian lebih terhadap masalah-masalah yang bisa menyebabkan seseorang menjadi murtad (keluar dari agama Islam) ini. Mereka telah menyusun kitab kitab untuk menjelaskan permasalahan ini. Mereka juga membuat bab khusus dalam kitab-kitab fikih yang mereka sebut dengan “Bab Hukum Murtad”. Dalam bab ini, mereka menjelaskan dan memberikan perincian tentang hal-hal yang bisa membatalkan keislaman seseorang dan juga hukum orang yang melakukan pembatal-pembatal ini.

Banyak hal yang bisa menyebabkan seseorang menjadi murtad. Di antaranya, ada yang berbentuk perkataan, perbuatan, keyakinan dan keragu-raguan. Perkataan-perkataan yang dilontarkan seseorang terkadang bisa menyebabkan dia menjadi kafir ketika itu juga. Begitu juga dengan tindakan yang dilakukan seseorang atau keyakinan kuat dalam hati yang dipegangi dengan erat-erat ataupun keraguan-raguan yang dipendam dalam hatinya terkadang bisa menyeret seseorang ke lembah kekufuran. Na’ûdzubillâh.

MURTAD DENGAN SEBAB PERKATAAN
Syaikh Shâlih Fauzân hafizhahullâh mengatakan, “Seseorang bisa murtad dengan sebab perkataan jika dia mengucapkan kalimat kufur atau syirik, bukan dalam keadaan terpaksa, baik serius, gurau atau bercanda. Jika ada orang yang mengucapkan kufur, maka dia dihukumi murtad, kecuali jika dia terpaksa mengucapkannya. Allah Azza wa Jalla berfirman :

وَلَقَدْ قَالُوا كَلِمَةَ الْكُفْرِ وَكَفَرُوا بَعْدَ إِسْلَامِهِمْ

Sesungguhnya mereka telah mengucapkan perkataan kekafiran, dan telah menjadi kafir sesudah Islam. [at-Taubah/9:74]

Tentang orang-orang yang mencela Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Sahabat Radhiyallahu ‘anhum dengan mengatakan, “Kami tidak pernah melihat orang-orang yang sama dengan para ahli baca kita (maksudnya Rasulullâh dan para Sahabat), ”Mereka ini ucapannya bohong, lebih memikirkan perut dan paling pengecut saat berjumpa musuh, Allah Azza wa Jalla berfirman :

وَلَئِن سَأَلْتَهُمْ لَيَقُولُنَّ إِنَّمَا كُنَّا نَخُوضُ وَنَلْعَبُ ۚ قُلْ أَبِاللَّهِ وَآيَاتِهِ وَرَسُولِهِ كُنتُمْ تَسْتَهْزِئُونَ لَا تَعْتَذِرُوا قَدْ كَفَرْتُم بَعْدَ إِيمَانِكُمْ

Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentulah mereka akan menjawab, “Sesungguhnya kami hanyalah bersenda gurau dan bermain-main saja.” Katakanlah, “Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan rasul-Nya kamu selalu berolokolok?” Kalian tidak usah minta maaf, karena kalian telah kafir sesudah beriman. [at-Taubah/9:65-66]

Ketika tahu Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa salalm menerima wahyu tentang ucapan mereka, mereka bergegas menemui Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam, menjelaskannya dan meminta maaf. Namun Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak bergeming.” Selanjutnya Syaikh Shalih Fauzân hafidzahullâh menyimpulkan, “Ini menunjukkan bahwa orang yang mengucapkan kalimat-kalimat kufur bukan karena terpaksa, bisa menjadi kafir, meskipun dia menganggap sedang bermain, bergurau atau demi menghibur orang lain. Ini juga sebagai bantahan terhadap golongan Murji’ah yang berpendapat bahwa seseorang tidak bisa kafir dengan sebab perkataan semata kecuali kalau perkataan itu disertai keyakinan dalam hati.” [1]

Syaikh Bin Bâz rahimahullah memberikan contoh perkataan yang bisa menyeret seseorang ke dalam jurang kekufuran yaitu mencela Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya, seperti mengatakan, “Allah Azza wa Jalla zhalim; Allah Azza wa Jalla bakhîl; Allah Azza wa Jalla faqîr; Allah Azza wa Jalla tidak mengetahui sebagian masalah, Allah Azza wa Jalla tidak mampu dalam sebagian masalah. [2]

Beliau rahimahullah juga memasukkan perkataan, “Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla tidak mewajibkan kita melakukan shalat.” dalam perkataan kufur. Beliau rahimahullah mengatakan, “Orang yang mengucapkan perkataan ini telah kafir, keluar dari agama Islam, berdasarkan ijmâ’. Kecuali jika dia memang tidak tahu dan bertempat tinggal di daerah terpencil, jauh dari kaum Muslimin. Orang seperti ini harus diajari. Jika setelah diajari, dia masih seperti itu, berarti dia kafir. Sedangkan jika orang yang mengucapkan itu, orang yang berdomisili di tengah kaum Muslimin serta memahami ajaran-ajaran agama, maka ini merupakan sebuah kemurtadan. Orang ini harus diminta supaya bertaubat. Jika dia bertaubat maka alhamdulillâh, namun jika tidak maka dia kenai hukuman mati.” [3]

Termasuk perkataan yang bisa menyebabkan kekufuran yaitu berdo’a kepada selain Allah Azza wa Jalla, seperti ucapan, “Wahai Fulan! bantulah saya, selamatkanlah saya! Sembuhkanlah saya!” yang diarahkan kepada orang yang sudah meninggal atau kepada jin, setan atau kepada orang yang sedang tidak ada di lokasi permohonan. Ini termasuk ucapan kekufuran.[4]

Ucapan-ucapan kufur ini jika terpaksa diucapkan, misalnya diancam dibunuh atau akan disiksa jika tidak mengucapkannya, maka ketika itu si pengucap tidak dihukumi kafir, dengan syarat hatinya tetap teguh meyakini Islam. Sebagaimana kisah ‘Amâr bin Yâsir Radhiyallahu ‘anhu yang terpaksa mengucapkan kalimat kufur setelah dipaksa oleh orang-orang kafir dengan berbagai siksa. Allah Azza wa Jalla berfirman :

إِلَّا مَنْ أُكْرِهَ وَقَلْبُهُ مُطْمَئِنٌّ بِالْإِيمَانِ

Kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa). [an-Naml/16:106]

MURTAD DENGAN SEBAB PERBUATAN
Syaikh Bin Bâz rahimahullah memberikan contoh perbuatan-perbuatan yang bisa menyebabkan pelakunya terjerumus dalam kemurtadan yaitu :

1. Sengaja meninggalkan shalat meskipun dia tetap meyakini shalat itu wajib, menurut pendapat yang terkuat dari dua pendapat dalam masalah ini. Ini merupakan sebuah tindakan kemurtadan. Berdasarkan sabda Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

الْعَهْدُ الَّذِي بَيْنَنَا وَ بَيْنَهُمْ الصَّلاَ ةُ فَمَنْ تَرَكَهَا فَقَدْ كَفَرَ

Batas antara kita dengan mereka adalah shalat, barangsiapa yang meninggalkan shalat berarti dia telah kafir. [HR Ahmad, at-Tirmidzi, an-Nasâ’i, Ibnu Mâjah dengan sanad shahîh]

Juga Sabda Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

بَيْنَ الرَّجُلِ وَبَيْنَ الشِّرْكِ وَالْكُفْرِ تَرْكُ الصَّلاَ ةِ

Batas antara seseorang dengan kesyirikan serta kekufuran adalah meninggalkan shalat. [HR Imam Muslim dalam shahîh beliau rahimahullah]

2. Melecehkan al-Qur’ân dengan cara diduduki, dilumuri benda najis atau diinjak. Orang yang melakukan perbuatan ini telah murtad dari Islam.

3. Melakukan ibadah thawaf di kuburan (mengelilinginya-red) dengan tujuan mendekatkan diri atau menyembah penghuni kuburan. Sedangkan thawaf dikuburan dengan tujuan beribadah kepada Allah Azza wa Jalla, maka ini termasuk perbuatan bid’ah yang bisa menggerogoti dien seseorang. Ini juga sebagai salah satu pintu kesyirikan. Hanya saja pelakunya tidak sampai murtad.

4. Menyembelih untuk selain Allah Azza wa Jalla, misalnya menyembelih binatang dengan tujuan beribadah kepada penghuni kubur; beribadah kepada jin dan lain sebagainya. Daging binatang yang disembelih itu hukum haram untuk dikonsumsi sedangkan orang yang melakukan ritual ini telah murtad, keluar dari Islam. [5]

Syaikh Shâlih Fauzân hafizhahullâh menegaskan bahwa orang yang menyembelih untuk berhala, patung atau sujud kepadanya, maka dia telah menjadi musyrik , meskipun dia masih shalat,puasa dan haji. Karena keislaman telah batal dengan sebab perilaku syiriknya. Na’ûdzubillâh.[6]

MURTAD DENGAN SEBAB KEYAKINAN
Keyakinan dalam kalbu seseorang bisa menyebabkan dia selamat atau sebaliknya bisa membawa petaka yang tidak berkesudahan jika dia meninggal sebelum bertaubat. Meskipun keyakinan ini tidak terucap atau belum mampu diwujudkan dalam dunia nyata. Di antara contoh keyakinan berbahaya ini adalah:

1. Berkeyakinan bahwa Allah Azza wa Jalla itu fakir, zhalim memiliki sifat buruk lainnya. Meskipun ini belum terucap, orang yang memendam keyakinan ini telah keluar dari Islam menurut ijmâ’ kaum Muslimin.

2. Berkeyakinan bahwa tidak ada hari kebangkitan setelah kematian atau berkeyakinan bahwa itu hanya ilusi yang tidak ada dalam alam nyata, tidak ada surga dan neraka.

3. Berkeyakinan bahwa Rasul terakhir, Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak jujur serta berkeyakinan bahwa Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam bukan rasul terakhir. Keyakinan ini menyebabkan kekufuran meskipun orang yang meyakini hal ini tidak mengucapkannya.

4. Berkeyakinan bahwa berdoa atau beribadah kepada selain Allah Azza wa Jalla tidak apa-apa, seperti berdoa atau beribadah kepada para nabi, matahari, bintang-bintang atau lain sebagainya. Allah Azza wa Jalla berfirman :

ذَٰلِكَ بِأَنَّ اللَّهَ هُوَ الْحَقُّ وَأَنَّ مَا يَدْعُونَ مِن دُونِهِ هُوَ الْبَاطِلُ وَأَنَّ اللَّهَ هُوَ الْعَلِيُّ الْكَبِيرُ

(Kuasa Allah) yang demikian itu, adalah Karena Sesungguhnya Allah, dialah (Rabb) yang Hak dan Sesungguhnya apa saja yang mereka seru selain dari Allah, Itulah yang batil, [al-Hajj/22:62]

Dan masih banyak dalil lain yang semakna. Jadi orang yang berkeyakinan bahwa seseorang boleh beribadah kepada selain Allah Azza wa Jalla berarti dia telah kafir. Jika keyakinan ini diucapkan dengan lisannya berarti dia kafir dengan dua sebab yaitu ucapan dan keyakinan. Jika ada yang seperti itu lalu dia juga berdo’a kepada selain Allah Azza wa Jalla berarti dia kafir dengan tiga sebab sekaligus, ucapan, keyakinan dan perbuatan.

Termasuk dalam point ini, apa yang dilakukan oleh para penyembah kuburan saat ini di berbagai daerah. Mereka mendatangi kuburan orang-orang yang dianggap shalih atau dianggap wali lalu mereka meminta tolong kepadanya. Orang yang melakukan seperti ini berarti dia telah kafir dengan tiga sebab yaitu keyakinan, perkataan dan perbuatan [7].

MURTAD DENGAN SEBAB RAGU
Jika ada seseorang yang meragukan kebenaran risalah yang dibawa oleh Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam atau meragukan keberadaan hari kebangkitan setelah kematian atau keberadaan surga dan neraka, maka orang ini telah kafir. Meskipun dia masih shalat, puasa atau melakukan berbagai amal kebaikan, selama hatinya masih menyimpan keragu-raguan maka dia tetap kafir. Namun, yang perlu kita ingat, bahwa kita sebagai manusia hanya bisa menghukumi secara zhahir saja [8].

Artinya, jika kita melihat seseorang yang secara zhahir dia melakukan shalat, puasa, haji, zakat dan lain sebagainya, maka kita menghukumi dia sebagai seorang Muslim dan kita perlakukan sebagai seorang Muslim. Jika dia meninggal kita shalatkan dan dimakamkan sebagaimana syari’at Islam. Sedangkan keyakinan yang tersembunyi dalam hatinya, yakinkah dia ataukah ragu, beriman ataukah kafir, hanya Allah Azza wa Jalla yang tahu.

Inilah empat hal yang bisa menyebabkan seseorang menjadi murtad :
1. Mengucapkan kalimat kufur atau syirik, bukan karena terpaksa.
2. Meyakini suatu yang kufur atau syirik.
3. Melakukan perbuatan kufur atau syirik.
4. Ragu terhadap kebenaran dien yang dibawa oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam

Sebagai seorang Muslim yang mendambakan keselamatan dunia dan akhirat, maka seharusnya kita berusaha sekuat tenaga untuk menjaga agar jangan sampai keyakinan kita terhadap agama ini tidak terkikis sedikit demi sedikit akibat dari perbuatan kita sendiri, yang pada gilirannya nanti hilang. Na’ûdzubillâh.

Semoga Allah Azza wa Jalla menjauhkan kita dari segala yang bisa merusak atau membatalkan keislaman kita. Amin

MARÂJI :
- Majmû’ Fatâwâ Wa Maqâlât Mutanawwi’ah, Syaikh ‘Abdul Azîz bin ‘Abdillâh bin Bâz, Cet. Muassasah al-Haramain al-Khairiyyah
- Durûs Fi Syarhi Nawâqidhil Islâm, Syaikh Shâlih bin Fauzân al-Fauzân, Cet. Ketiga, Maktabatur Rusyd

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 11/Tahun XIII/1431H/2010M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondanrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858197]
_______
Footnote
[1]. Lihat Durûs Fi Syarhi Nawâqidhil Islâm, hlm. 20-21
[2]. Majmû’ Fatâwâ Wa Maqalât Mutanawwi’ah, 8/15
[3]. Majmû’ Fatâwâ Wa Maqalât Mutanawwi’ah 8/15
[4]. Lihat Durûs Fî Syarhi Nawâqidhil Islâm, hlm. 21
[5]. Majmû’ Fatâwâ Wa Maqâlât Mutanawwi’ah, 8/15-17
[6]. Lihat Durûs Fi Syarhi Nawâqidil Islâm, hlm. 24
[7]. Majmû’ Fatâwâ Wa Maqâlât Mutanawwi’ah, 8/17-18
[8]. Lihat Durûs Fi Syarhu Nawâqidil Islâm, hlm. 24

MEMANDANG WAJAH ALLAH ADALAH ANUGRAH TERBESAR

 Salah satu prinsip dasar Ahlus sunnah wal jamâ’ah yang tercantum dalam kitab-kitab aqidah para Ulama salaf adalah kewajiban mengimani bahwa kaum Mukminin akan melihat wajah Allâh Azza wa Jalla yang maha mulia di akhirat nanti. Ini adalah balasan terhadap keimanan dan keyakinan mereka yang benar kepada Allâh Azza wa Jalla semasa hidup di dunia.

Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah,, salah seorang imam Ahlus sunnah wal jamâ’ah di zamannya, menegaskan prinsip dasar Ahlus sunnah yang agung ini dalam ucapan beliau rahimahullah, “(Termasuk prinsip-prinsip dasar Ahlus sunnah adalah kewajiban) mengimani (bahwa kaum Mukminin) akan melihat (wajah Allâh Azza wa Jalla yang maha mulia) pada hari kiamat, sebagaimana yang diriwayatkan dari Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits-hadits yang shahih”[1] 

Imam Ismail bin Yahya al-Muzani rahimahullah berkata [2] , “Pada hari kimat, para penghuni surga akan melihat (wajah) Rabb mereka (Allâh Azza wa Jalla), mereka tidak merasa ragu dan bimbang dalam melihat Allâh Azza wa Jalla, sehingga wajah-wajah mereka akan ceria dengan kemuliaan dari-Nya dan dengan karunia-Nya mata-mata mereka akan melihat kepada-Nya, dalam kenikmatan (hidup) yang kekal abadi…”[3] .

Demikian pula imam Abu Ja’far ath-Thahawi rahimahullah [4] menegaskan prinsip yang agung ini dengan lebih terperinci dalam ucapannya, “Memandang wajah Allâh Azza wa Jalla bagi penghuni surga adalah kebenaran (yang wajib diimani), (dengan pandangan) yang tidak menyeluruh (artinya, tidak melihat secara keseluruhan) dan tanpa (menanyakan) bagaimana (keadaan yang sebenarnya), sebagaimana yang ditegaskan dalam kitabullah (al-Qur’an) : 

وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ نَاضِرَةٌ ﴿٢٢﴾ إِلَىٰ رَبِّهَا نَاظِرَةٌ

Wajah-wajah (orang-orang mu'min) pada hari itu berseri-seri (indah). Kepada Rabbnyalah mereka melihat [al-Qiyâmah/75:22-23]

Penafsiran ayat ini haruslah sebagaimana yang Allâh Azza wa Jalla kehendaki (bukan berdasarkan akal dan hawa nafsu manusia), dan semua hadits shahih dari Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menjelaskan masalah ini adalah (benar) seperti yang beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam sabdakan, dan maknanya seperti yang beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam inginkan. Kita tidak boleh membicarakan masalah ini dengan menta’wil (menyelewengkan arti yang sebenarnya) dengan akal kita (semata-mata), serta tidak mereka-reka dengan hawa nafsu kita, karena tidak akan selamat (keyakinan seseorang) dalam beragama kecuali jika dia tunduk dan patuh kepada Allâh Azza wa Jalla dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta mengembalikan ilmu dalam hal-hal yang kurang jelas baginya kepada orang yang mengetahuinya (para ulama Ahlus sunnah)”[5] .

DASAR PENETAPAN AQIDAH INI
1. Firman Allâh Azza wa Jalla: 

وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ نَاضِرَةٌ ﴿٢٢﴾ إِلَىٰ رَبِّهَا نَاظِرَةٌ

Wajah-wajah (orang-orang mu'min) pada hari itu berseri-seri (indah). Kepada Rabbnyalah mereka melihat [al-Qiyâmah/75:22-23]

Ayat yang mulia ini menunjukkan bahwa orang-orang yang beriman akan melihat wajah Allâh Azza wa Jalladengan mata mereka di akhirat nanti. Karena dalam ayat ini Allâh Subhanahu wa Ta’ala menggandengakan kata “melihat” dengan kata depan “ilâ” yang berarti bahwa penglihatan tersebut berasal dari wajah-wajah mereka. Artinya mereka melihat wajah Allâh Azza wa Jalladengan indera penglihatan mereka.[6] 

Bahkan firman Allâh Azza wa Jalla ini menunjukkan bahwa wajah-wajah mereka yang indah dan berseri-seri karena kenikmatan di surga yang mereka rasakan, menjadi semakin indah dengan mereka melihat wajah Allâh Azza wa Jalla. Dan waktu mereka melihat wajah Allâh Subhanahu wa Ta’ala adalah sesuai dengan tingkatan surga yang mereka tempati, ada yang melihat-Nya setiap hari di waktu pagi dan petang, dan ada yang melihat-Nya hanya satu kali dalam setiap pekan [7] .

2. Firman Allâh Azza wa Jalla:

لِلَّذِينَ أَحْسَنُوا الْحُسْنَىٰ وَزِيَادَةٌ ۖ وَلَا يَرْهَقُ وُجُوهَهُمْ قَتَرٌ وَلَا ذِلَّةٌ ۚ أُولَٰئِكَ أَصْحَابُ الْجَنَّةِ ۖ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ 

Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik (surga) dan tambahannya (melihat wajah Allâh Azza wa Jalla). Dan muka mereka tidak ditutupi debu hitam dan tidak (pula) kehinaan. Mereka itulah penghuni surga. Mereka kekal di dalamnya [Yûnus/10:26]

Kata “tambahan” dalam ayat ini ditafsirkan langsung oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits yang shahih, yaitu dengan kenikmatan melihat wajah Allâh Azza wa Jalla, dan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang paling memahami makna firman Allâh Azza wa Jalla[8] . Dalam hadits yang shahih dari seorang sahabat yang mulia, Shuhaib bin Sinan Radhiyallahu anhu , Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : 

إِذَا دَخَلَ أَهْلُ الْجَنَّةِ الْجَنَّةَ قَالَ يَقُولُ اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى تُرِيدُونَ شَيْئًا أَزِيدُكُمْ فَيَقُولُونَ أَلَمْ تُبَيِّضْ وُجُوهَنَا أَلَمْ تُدْخِلْنَا الْجَنَّةَ وَتُنَجِّنَا مِنْ النَّارِ قَالَ فَيَكْشِفُ الْحِجَابَ فَمَا أُعْطُوا شَيْئًا أَحَبَّ إِلَيْهِمْ مِنْ النَّظَرِ إِلَى رَبِّهِمْ عَزَّ وَجَلَّ حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ هَارُونَ عَنْ حَمَّادِ بْنِ سَلَمَةَ بِهَذَا الْإِسْنَادِ وَزَادَ ثُمَّ تَلَا هَذِهِ الْآيَةَ لِلَّذِينَ أَحْسَنُوا الْحُسْنَى وَزِيَادَةٌ

Jika penghuni surga telah masuk surga, Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman, (yang artinya) “Apakah kalian (wahai penghuni surga) menginginkan sesuatu sebagai tambahan (dari kenikmatan surga) ?" Maka mereka menjawab, "Bukankah Engkau telah memutihkan wajah-wajah kami ? Bukankah Engkau telah memasukkan kami ke dalam surga dan menyelamatkan kami dari (azab) neraka ?" Maka (pada waktu itu) Allâh membuka hijab (yang menutupi wajah-Nya Yang Maha Mulia), dan penghuni surga tidak pernah mendapatkan suatu (kenikmatan) yang lebih mereka sukai dari pada melihat (wajah) Allâh Azza wa Jalla”. Kemudian Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca ayat tersebut di atas.[9] 

Dalam hadits ini dengan gamblang, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan bahwa kenikmatan melihat wajah Allâh Azza wa Jallaadalah kenikmatan paling mulia dan agung serta melebihi kenikmatan lainnya di surga.[10] 

Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata, ”(Kenikmatan) yang paling agung dan tinggi (yang melebihi semua) kenikmatan di surga adalah memandang wajah Allâh yang maha mulia. Karena inilah “tambahan” yang paling agung (melebihi) semua (kenikmatan) yang Allâh berikan kepada para penghuni surga. Mereka berhak mendapatkan kenikmatan tersebut bukan (semata-mata) karena amal perbuatan mereka, tetapi karena karunia dan rahmat Allâh”[11] .

Lebih lanjut imam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah rahimahullah dalam kitab beliau Ighâtsatul Lahafân[12] menjelaskan bahwa kenikmatan tertinggi di akhirat ini (yaitu melihat wajah Allâh Azza wa Jalla) merupakan balasan yang Allâh Azza wa Jalla berikan kepada orang yang merasakan kenikmatan tertinggi di dunia, yaitu kesempurnaan dan kemanisan iman, kecintaan yang sempurna dan kerinduan untuk bertemu dengan-Nya, serta perasaan tenang dan bahagia ketika mendekatkan diri dan berzikir kepada-Nya. Beliau rahimahullah menjelaskan hal ini berdasarkan lafazh doa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sebuah hadits yang shahih, “Aku meminta kepada-Mu (ya Allâh) kenikmatan memandang wajah-Mu (di akhirat nanti) dan aku meminta kepada-Mu kerinduan untuk bertemu dengan-Mu (sewaktu di dunia)…”[13] 

3. Firman Allâh Azza wa Jalla:

لَهُمْ مَا يَشَاءُونَ فِيهَا وَلَدَيْنَا مَزِيدٌ 

Mereka di dalam surga memperoleh apa yang mereka kehendaki; dan pada sisi Kami (ada) tambahannya (yaitu melihat wajah Allâh Azza wa Jalla). [Qâf/50:35]

4. Firman Allâh Azza wa Jalla:

كَلَّا إِنَّهُمْ عَنْ رَبِّهِمْ يَوْمَئِذٍ لَمَحْجُوبُونَ 

Sekali-kali tidak, sesungguhnya mereka (orang-orang kafir) pada hari kiamat benar-benar terhalang dari (melihat) Rabb mereka [al-Muthaffifin/83:15]

Imam asy-Syafi’i rahimahullah ketika menafsirkan ayat ini, beliau rahimahullah berkata, “Ketika Allâh Azza wa Jalla menghalangi orang-orang kafir (dari melihat-Nya) karena Dia murka (kepada mereka), maka ini menunjukkan bahwa orang-orang yang dicintai-Nya akan melihat-Nya karena Dia ridha (kepada mereka).”[14] 

Demikian pula dalil-dalil dari hadits-hadits Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menetapkan masalah ini sangat banyak bahkan mencapai derajat mutawatir (diriwayatkan dari banyak jalur sehingga tidak bisa ditolak).

Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “(Keyakinan bahwa) orang-orang yang beriman akan melihat (wajah) Allâh Subhanahu wa Ta’ala di akhirat nanti telah ditetapkan dalam hadits-hadits yang shahih, dari (banyak) jalur periwayatan yang (mencapai derajat) mutawatir, menurut para imam ahli hadits, sehingga mustahil untuk ditolak dan diingkari”[15] .

Di antara hadits-hadits tersebut adalah dua hadits yang sudah kami sebutkan di atas. Demikian pula hadits yang diriwayatkan oleh Jarir bin Abdullah z bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya), “Sesungguhnya kalian akan melihat Rabb kalian (Allâh Subhanahu wa Ta’ala pada hari kiamat nanti) sebagaimana kalian melihat bulan purnama (dengan jelas), dan kalian tidak akan berdesak-desakan dalam waktu melihat-Nya…”[16] 

KERANCUAN DAN JAWABANNYA
Demikian jelas dan gamblang keyakinan dan prinsip dasar Ahlus sunnah wal jama’ah ini, tapi bersamaan dengan itu beberapa kelompok sesat yang pemahamannya menyimpang, seperti Jahmiyah dan Mu’tazilah mengingkari keyakinan yang agung ini, dengan syubhat-syubhat (kerancuan) yang mereka sandarkan kepada dalil (argumentasi) dari al-Qur’an dan sunnah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , yang mereka selewengkan artinya sesuai dengan hawa nafsu mereka.

Namun, kalau kita renungkan dengan seksama, kita akan dapati bahwa semua dalil (argumentasi) dari al-Qur’an dan sunnah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mereka gunakan untuk membela kebatilan dan kesesatan mereka, pada hakikatnya justru merupakan dalil untuk menyanggah kebatilan mereka dan bukan untuk mendukungnya [17] . 

Di antara sybhat-syubhat mereka tersebut adalah:
1. Mereka berdalih dengan firman Allâh Azza wa Jalla:

وَلَمَّا جَاءَ مُوسَىٰ لِمِيقَاتِنَا وَكَلَّمَهُ رَبُّهُ قَالَ رَبِّ أَرِنِي أَنْظُرْ إِلَيْكَ ۚ قَالَ لَنْ تَرَانِي وَلَٰكِنِ انْظُرْ إِلَى الْجَبَلِ فَإِنِ اسْتَقَرَّ مَكَانَهُ فَسَوْفَ تَرَانِي ۚ فَلَمَّا تَجَلَّىٰ رَبُّهُ لِلْجَبَلِ جَعَلَهُ دَكًّا وَخَرَّ مُوسَىٰ صَعِقًا ۚ فَلَمَّا أَفَاقَ قَالَ سُبْحَانَكَ تُبْتُ إِلَيْكَ وَأَنَا أَوَّلُ الْمُؤْمِنِينَ

Dan tatkala Musa datang untuk (munajat dengan Kami) pada waktu yang telah Kami tentukan dan Rabb telah berfirman (langsung kepadanya), berkatalah Musa, "Ya Rabbku, nampakkanlah (diri-Mu) kepadaku agar aku dapat melihat-Mu". Allâh Azza wa Jallaberfirman, "Kamu sekali-kali tak sanggup untuk melihat-Ku, tapi lihatlah ke bukit itu, maka jika ia tetap ditempatnya (seperti sediakala) niscaya kamu dapat melihat-Ku". Tatkala Rabbnya menampakkan diri kepada gunung itu, dijadikannya gunung itu hancur luluh dan Musapun jatuh pingsan. Maka setelah Musa sadar kembali, dia berkata, "Maha Suci Engkau, aku bertaubat kepada Engkau dan aku orang pertama-tama beriman" [al-A’râf/7:143]

Mereka mengatakan bahwa dalam ayat ini Allâh Azza wa Jalla menolak permintaan nabi Musa Alaihissallam untuk melihat-Nya dengan menggunakan kata “lan” yang berarti penafian selama-lamanya, ini menunjukkan bahwa Allâh Azza wa Jallatidak akan mungkin bisa dilihat selama-lamanya [18] .

Jawaban Terhadap Syubhat Ini :
a. Ucapan mereka bahwa kata “lan” berarti penafian selama-lamanya, adalah pengakuan tanpa dalil dan bukti, karena ini bertentangan dengan penjelasan para Ulama ahli bahasa arab.

Ibnu Malik, salah seorang Ulama ahli tata bahasa Arab, berkata dalam syairnya :

Barangsiapa yang beranggapan bahwa (kata) “lan” berarti penafian selama-lamanya
Maka tolaklah pendapat ini dan ambillah pendapat selainnya [19]

Maka makna yang benar dari ayat ini adalah bahwa Allâh Azza wa Jalla menolak permintaan nabi Musa Alaihissallam tersebut sewaktu di dunia, karena memang tidak ada seorangpun yang bisa melihat-Nya di dunia. Adapun di akhirat nanti maka Allâh Azza wa Jalla akan memudahkan hal itu bagi orang-orang yang beriman [20] . Sebagaimana hal ini ditunjukkan dalam sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

تَعَلَّمُوا أَنَّهُ لَنْ يَرَى أَحَدٌ مِنْكُمْ رَبَّهُ عَزَّ وَجَلَّ حَتَّى يَمُوتَ 

Ketahuilah, tidak ada seorangpun di antara kamu yang (bisa) melihat Rabb-nya (Allâh) Azza wa Jalla sampai dia mati (di akhirat nanti)” [21] 

Ketika Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya oleh Abu Dzar Radhiyallahu anhu :

هَلْ رَأَيْتَ رَبَّكَ قَالَ نُورٌ أَنَّى أَرَاهُ

Apakah engkau telah melihat Rabb-mu (Allâh Azza wa Jalla) ? Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “(Dia terhalangi dengan hijab) cahaya, maka bagaimana aku (bisa) melihat-Nya ?”[22] . 

Oleh karena itulah, Ummul Mukminin Aisyah Radhiyallahu anhuma berkata, “Barangsiapa yang menyangka bahwa nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melihat Rabb-nya (Allâh Azza wa Jalla) maka sungguh dia telah melakukan kedustaan yang besar atas (nama) Allâh”[23] 

b. Permintaan nabi Musa Alaihissallam dalam ayat ini untuk melihat Allâh Azza wa Jalla justru menunjukkan bahwa Allâh Azza wa Jalla mungkin untuk dilihat. Karena tidak mungkin seorang hamba yang mulia dan shaleh seperti nabi Musa Alaihissallam meminta sesuatu yang mustahil terjadi dan melampaui batas, apalagi dalam hal yang berhubungan dengan hak Allâh Azza wa Jalla. Karena permintaan sesuatu yang mustahil dan melampaui batas, apalagi dalam hal yang berhubungan dengan hak Allâh Azza wa Jalla hanya dilakukan oleh orang yang bodoh dan tidak mengenal Rabb-nya. Sementara nabi Musa Alaihissallam terlalu mulia dan agung untuk disifati seperti itu, bahkan beliau Alaihisallam adalah termasuk nabi Allâh Azza wa Jalla yang mulia dan hamba-Nya yang paling mengenal-Nya[24] .

Maka jelaslah bahwa ayat yang mereka jadikan sandaran ini, pada hakikatnya jutru merupakan dalil untuk menyanggah kesesatan mereka dan bukan mendukungnya.

2. Mereka berdalih dengan firman Allâh Azza wa Jalla:

لَا تُدْرِكُهُ الْأَبْصَارُ وَهُوَ يُدْرِكُ الْأَبْصَارَ ۖ وَهُوَ اللَّطِيفُ الْخَبِيرُ 

Dia tidak dapat dicapai (diliputi) oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala penglihatan itu, dan Dialah Yang Maha Halus lagi Maha Mengetahui [al-An’âm/6:103]

Jawaban Atas Syubhat Ini:
a. Sebagian dari Ulama salaf ada yang menafsirkan ayat ini dengan, “Dia tidak dapat dicapai (diliputi) oleh penglihatan mata di dunia ini, sedangkan di akhirat nanti pandangan mata (orang-orang yang beriman) bisa melihatnya."[25] 

b. Dalam ayat ini Allâh Azza wa Jalla hanya menafikan al-idrâk yang berarti al-ihâthah (meliputi/melihat secara keseluruhan), sedangkan melihat tidak sama dengan meliputi[26] , bukankan manusia bisa melihat matahari di siang hari tapi dia tidak bisa mengetahuinya secara keseluruhan?[27] 

c. al-Idrâk (meliputi/melihat secara keseluruhan) artinya lebih khusus (spesifik) dibandingkan dengan kata ar-ru’yah (melihat), maka dengan dinafikannya al-idrâk menunjukkan adanya ar-ru’yah (melihat Allâh Azza wa Jalla), karena penafian sesuatu yang lebih khusus menunjukkan keberadaan sesuatu yang lebih umum [28] .

Sekali lagi ini membuktikan bahwa ayat yang mereka jadikan sandaran ini, pada hakikatnya jutru merupakan dalil untuk menyanggah kesesatan mereka dan bukan mendukungnya.

PENUTUP
Demikianlah penjelasan ringkas tentang salah satu keyakinan dan prinsip dasar Ahlus sunnah wal jama’ah yang agung, melihat wajah Allâh Subhanahu wa Ta’ala. Dengan memahami dan mengimani masalah ini dengan benar, maka peluang kita untuk mendapatkan anugrah dan kenikmatan tersebut akan semakin besar, dengan rahmat dan karunia-Nya.

Adapun orang-orang yang tidak memahaminya dengan benar, apalagi mengingkarinya, maka mereka sangat terancam untuk terhalangi dari mendapatkan kemuliaan dan anugrah tersebut, minimal akan berkurang kesempurnaannya, na’ûdzu billâhi min dzâlik.

Dalam hal ini salah seorang ulama salaf berkata, “Barangsiapa yang mendustakan (mengingkari) suatu kemuliaan, maka dia tidak akan mendapatkan kemuliaan tersebut.”[29]

Akhirnya kami berdoa kepada Allâh Azza wa Jalladengan doa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits di atas:

Aku meminta kepada-Mu (ya Allâh) kenikmatan memandang wajah-Mu (di akhirat nanti)

dan aku meminta kepada-Mu kerinduan untuk bertemu dengan-Mu (sewaktu di dunia)

وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 09/Tahun XV/1433H/2012M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Kitab Ushûlus Sunnah (hlm. 23, cet. Dârul Manâr, Arab Saudi).
[2]. Beliau adalah imam besar, ahli fikih dan murid senior imam asy-Syâfi’i (wafat 264 H). Biografi beliau dalam kitab Siyaru a’lâmin Nubalâ (12/493).
[3]. Kitab Syarhus Sunnah, al-Muzani (hlm. 82, cet. Maktabatul gurabaa’ al-atsariyyah, Madinah).
[4]. Beliau adalah Ahmad bin Muhammad bin Salâmah, imam besar dan penghafal hadits Rasûlullâh n (wafat 321 H). Biografi beliau dalam kitab Siyaru A’lâmin Nubalâ’” (27/15).
[5]. Kitab Syarhul Aqîdatith Thahâwiyyah (hlm. 188-189, cet. Ad-Daarul Islaami, Yordania).
[6]. Lihat keterangan syaikh al-‘Utsaimin rahimahullah dalam kitab Syarhul ‘Aqîdatil Wâshithiyyah (1/448).
[7]. Lihat keterangan syaikh Abdurrahman as-Sa’di dalam kitab Taisîrul Karîmir Rahmân (hlm. 899).
[8]. Lihat kitab Syarhul ‘Aqîdatil Wâshithiyyah (1/452).
[9]. HSR Muslim dalam Shahîh Muslim (no. 181).
[10]. Lihat kitab Syarhul ‘Aqîdatil Wâshithiyyah (1/453).
[11]. Kitab Tafsir Ibnu Katsir (4/262).
[12]. Mawâridul Amân, cet. Daar Ibnil Jauzi, Ad Dammaam, 1415 H, hlm. 70-71 dan 79 
[13]. HR an Nasa-i dalam as-Sunan (3/54 dan 3/55), Imam Ahmad dalam al-Musnad (4/264), Ibnu Hibbân dalam Shahîhnya (no. 1971) dan al-Hâkim dalam al-Mustadrak (no. 1900), dishahihkan oleh Ibnu Hibbân, al-Hakim, disepakati oleh adz-Dzahabi dan Syaikh al-Albani dalam Zhilâlul Jannah fii Takhrîjis Sunnah (no. 424).
[14]. Dinukil oleh Ibnul Qayyim dalam “Haadil arwaah” (hal. 201) dan Ibnu Katsir dalam tafsir beliau (8/351).
[15]. Kitab “Tafsir Ibnu Katsir” (8/279).
[16]. HSR al-Bukhari (no. 529) dan Muslim (no. 633).
[17]. Lihat keterangan syaikh al-‘Utsaimin dalam kitab Syarhul ‘Aqîdatil Wâshithiyyah (1/457).
[18]. Lihat kitab Tafsir Ibnu Katsir (3/469) dan Syarhul ‘Aqîdatil Wâshithiyyah (1/455).
[19]. Dinukil oleh syaikh al-‘Utsaimin kitab Syarhul ‘Aqîdatil Wâshithiyyah (1/456).
[20]. Lihat kitab Taisîrul Karîmir Rahmân (hlm. 302) dan Syarhul ‘Aqîdatil Wâshithiyyah (1/456).
[21]. HSR Muslim (no. 169).
[22]. HSR Muslim (no. 291).
[23]. HSR Muslim (no. 177).
[24]. Lihat kitab Syarhul ‘Aqîdatil Wâshithiyyah (1/457).
[25]. Tafsir Ibnu Katsir (3l310).
[26]. Lihat kitab Tafsir Ibnu Katsir (3l310).
[27]. Lihat kitab Syarhul ‘Aqîdatil Wâshithiyyah (1/457).
[28]. Ibid.
[29]. Dinukil oleh imam Ibnu Katsir dalam kitab an-Nihâyah fiil Fitani wal Malâhim (hlm. 127).